Gaji Hakim Vs Aparatur Non-Hakim: Kenaikan Memicu Kesenjangan
ilustrasi hakim(shutterstock)
13:12
16 Juni 2025

Gaji Hakim Vs Aparatur Non-Hakim: Kenaikan Memicu Kesenjangan

ERA Pemerintahan Joko Widodo selama 10 tahun, hanya tiga kali aparatur negara (ASN termasuk hakim, TNI, dan Polri) mengalami kenaikan gaji, yakni pada 2015 (sebesar 6 persen), 2019 (sebesar 5 persen), dan 2024 (sebesar 8 persen).

Sebelum pemerintahan Jokowi, setiap tahun gaji aparatur negara selalu dinaikkan untuk menyesuaikan dengan inflasi atau kenaikan harga yang terjadi setiap tahunnya.

Kenaikan gaji atau upah juga diterapkan pemerintah pada upah minimum bagi pekerja di sektor swasta. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan daya beli seiring inflasi yang terus terjadi.

Ketimpangan antara sektor swasta dengan sektor pemerintahan terjadi di era Jokowi. Sektor swasta setiap tahun menerima kenaikan gaji (upah minimum), sedangkan sektor pemerintahan hanya tiga kali menerima kenaikan gaji.

Kini, pemintahan Prabowo Subianto berencana menaikkan gaji hakim sebesar 280 persen, tapi tidak untuk aparatur nonhakim. Hal itu memunculkan polemik dan potensi kesenjangan internal aparatur negara.

Pemerintah harus mempertimbangan potensi kesenjangan eksternal aparatur negara, yaitu kesenjangan penghasilan dengan pekerja di sektor swasta.

Pemerintah mesti memperhatikan upah minimum serta benchmarking dengan penghasilan di sektor swasta. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan mengkaji secara seksama rencana kebijakan itu dengan mempertimbangkan potensi kesenjangan yang mungkin terjadi serta kebijakan efisiensi yang sedang diterapkan pemerintah.

Hakim saat ini, sesuai Perpres Nomor 44 Tahun 2024 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Junto Perpres Nomor 8 Tahun 2020 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya, telah mendapatkan tunjangan yang secara kumulatif bahkan melebihi tunjangan kinerja pejabat di Kementerian Keuangan (Non DJP).

Tunjangan kinerja Kementerian Keuangan (Non DJP) sesuai Perpres Nomor 156 Tahun 2014 menjadi acuan tertinggi (100 persen) bagi tunjangan kinerja kementerin/lembaga (termasuk TNI/Polri.

Tidak terdapat aparatur negara (selain hakim) yang mendapat tunjangan kinerja melebihi batas itu, kecuali ASN pada Direktorat Jenderal Pajak yang diatur tersendiri dengan Perpres Nomor 37 Tahun 2015 Juncto Perpres Nomor 96 Tahun 2017.

Hakim mendapat tiga komponen penghasilan, yaitu gaji, tunjangan jabatan hakim, dan tunjangan kinerja.

Selain tiga komponen penghasilan tersebut, hakim juga mendapatkan fasilitas jabatan hakim seperti rumah dinas pejabat negara (karena hakim berstatus pejabat negara), sekretaris, ajudan, dan juga kendaraan dinas jabatan.

Sedangkan aparatur selain hakim, baik ASN, TNI, maupun Polri, hanya mendapatkan dua komponen penghasilan, yaitu gaji dan tunjangan kinerja.

Sebagai contoh kita bandingkan penghasilan yang diterima pejabat pengawas (eselon IV) di Kementerian Keuangan (Non-DJP) dengan hakim madya pratama dengan pangkat yang sama, yaitu Penata Tingkat I (III/d) atau Mayor TNI di Pengadilan Tingkat Pertama Kelas II (Pengadilan dengan kelas terendah).

 

Penghasilan yang diterima pejabat pengawas (eselon IV) di Kementerian Keuangan (Non-DJP) dengan angka digenapkan atau menggunakan nilai tengah sesuai masa kerja sebesar Rp 4.500.000 (gaji) ditambah Rp 7.400.000 (tunjangan kinerja) maka total sebesar Rp11.900.000.

Sedangkan penghasilan saat ini (sebelum kenaikan 280 persen) yang diterima hakim madya pratama dengan pangkat yang sama, yaitu Penata Tingkat I (III/d) atau Mayor TNI di Pengadilan Tingkat Pertama Kelas II sebesar Rp 4.500.000 (gaji), ditambah Rp 15.600.000 (tunjangan jabatan hakim), dan ditambah Rp 6.400.000 (tunjangan kinerja) maka total sebesar Rp 26.500.000.

Take home pay hakim madya pratama di pengadilan tingkat pertama dengan kelas terendah sebesar Rp 26.500.000, jauh di atas take home pay pejabat pengawas (eselon IV) di Kementerian Keuangan (Non DJP) sebesar Rp 11.900.000.

Jika dibandingkan dengan aparatur negara di luar Kementerian Keuangan, selisih antara penghasilan hakim dengan ASN yang menjabat dalam jabatan di kementerian/lembaga lebih jauh lagi selisihnya. Pasalnya, belum semua kementerian/lembaga ditetapkan sebesar 100 persen dari Perpres Nomor 156 Tahun 2014.

Apalagi jika dibandingkan dengan ASN di Pemerintah Daerah, di mana tunjangan kinerja hanya diberikan menyesuaikan besaran pendapatan asli daerah yang diperoleh.

Sebagian besar ASN pada pemerintah daerah mendapatkan tunjangan kinerja atau tunjangan perbaikan penghasilan jauh di bawah yang diterima ASN pada kementerian/lembaga.

Bagaimana jika dibandingkan dengan pejabat setara di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan instansi/unit organisasi dengan remunerasi tertinggi?

Pejabat pengawas (eselon IV) dengan pangkat setara hakim madya pratama mendapatkan take home pay sebesar Rp 30.000.000 yang terdiri dari gaji sebesar Rp 4.500.000 dan tunjangan kinerja sebesar Rp 25.500.000.

Sehingga dengan take home pay hakim madya pratama di pengadilan kelas II sebesar Rp 26.500.000 telah mendekati take home pay pejabat setara di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebesar Rp 30.000.000.

Apabila pemerintah menaikkan penghasilan hakim sebesar 280 persen, maka hakim akan menerima take home pay dua kali lipat di atas ASN dengan penghasilan tertinggi (ASN di DJP).

Sehingga pemerintah mesti menjelaskan, komponen penghasilan apa yang akan dinaikkan sebesar 280 persen, apakah gaji pokok, tunjangan jabatan, atau tunjangan kinerja bagi hakim.

Kenaikan gaji bukanlah faktor tunggal untuk terbentuknya integritas dan profesionalitas hakim. Pembenahan sistem dan regulasi serta pembinaan sumber daya manusia adalah dua hal yang mesti secara simultan dilakukan.

Kasus korupsi masih terjadi pada kementerian/lembaga yang telah mendapat remunerasi (tunjangan kinerja) yang tertinggi. Hal itu menunjukkan bahwa remunerasi yang tinggi tidak menjadi faktor tunggal untuk perbaikan integritas.

Kenaikan gaji tidak menjadi jaminan hakim akan bertindak berintegritas. Mahkamah Agung harus mereformasi secara menyeluruh sistem administrasi birokrasinya, khususnya rekruitmen kepemimpinan dan pembinaan aparatur.

Kepemimpinan yang menjadi teladan, pembangunan karakter hakim mulai dari rekruitmen, pembentukan budaya aparatur dan organisasi yang baik, serta sistem pengawasan yang melekat adalah kunci tegaknya integritas hakim.

Last but not least, kebijakan kenaikan gaji harus mempertimbangkan prinsip keadilan dan potensi kesenjangan sosial, baik internal aparatur maupun eksternal aparatur. Kajian secara empiris harus dilakukan sebelum keputusan kenaikan gaji ditetapkan.

Tag:  #gaji #hakim #aparatur #hakim #kenaikan #memicu #kesenjangan

KOMENTAR