



Daya Beli Melemah: Saatnya Pajak Pro-Kelas Menengah
DI TENGAH perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, ada sekelompok masyarakat yang diam-diam menanggung beban semakin berat—kelas menengah.
Mereka membayar pajak, mencicil rumah, membiayai sekolah anak, menabung untuk masa depan, dan tetap menjadi roda utama konsumsi nasional.
Namun kini, roda itu mulai berderit. Pendapatan riil mereka stagnan, sementara harga kebutuhan pokok, pendidikan, dan kesehatan terus naik.
Ironisnya, kebijakan negara cenderung lebih vokal dalam melindungi kelompok bawah dan menagih dari kelompok atas, tapi nyaris sunyi ketika menyentuh nasib kelas menengah.
Apakah negara lupa bahwa kekuatan ekonomi nasional sesungguhnya terletak di tangan mereka yang berada di tengah?
Tekanan biaya dan kebijakan yang tak ramah
Pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi melambat menjadi 4,7 persen pada 2025 dan 4,8 persen pada 2026, seiring melemahnya daya beli rumah tangga dan ketidakpastian global (World Bank, 2024).
Kelas menengah yang selama ini menjadi penyangga utama konsumsi nasional kini menghadapi tekanan biaya hidup yang meningkat dan kebijakan fiskal yang kurang berpihak.
Biaya pendidikan mengalami inflasi 2,6 persen per tahun, sementara inflasi kelompok transportasi dan makanan mencapai 3,1 persen dan 4,3 persen secara berturut-turut pada 2024 (BPS, 2025).
Pada saat yang sama, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDB justru menurun dari 54,4 persen pada 2022 menjadi 53,2 persen pada 2024 (Bank Indonesia, 2025).
Struktur pajak saat ini juga semakin membebani. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) hanya sebesar Rp 54 juta per tahun atau Rp 4,5 juta per bulan.
Artinya, mereka yang baru sedikit di atas ambang batas itu langsung dikenakan tarif pajak, meski sebagian besar penghasilannya digunakan untuk kebutuhan pokok.
Tidak ada pengurangan untuk biaya pendidikan anak atau premi kesehatan, yang justru menjadi beban terbesar keluarga kelas menengah.
Beban pajak menjadi makin tidak proporsional ketika tidak diiringi dengan perlindungan sosial yang cukup.
Solusi fiskal: Pajak pro-kelas menengah dan insentif sosial
Sudah waktunya negara memberikan napas fiskal bagi kelas menengah melalui reformasi pajak yang lebih adil.
Salah satunya adalah menaikkan ambang PTKP menjadi Rp 72 juta per tahun bagi individu, dan Rp 144 juta per tahun bagi keluarga dengan dua anak (Kemenkeu, 2025).
Di samping itu, pengeluaran pendidikan dan kesehatan yang selama ini tidak diperhitungkan dalam sistem perpajakan, seharusnya dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak hingga Rp 3 juta per bulan. Ini akan meringankan beban rumah tangga secara nyata.
Tarif PPh 21 juga perlu disesuaikan untuk segmen penghasilan Rp 5–15 juta per bulan, dengan tarif lebih ringan 2–5 persen agar sistem perpajakan lebih progresif dan berpihak.
Untuk meningkatkan kepatuhan, negara bisa menerapkan skema Poin Pajak, di mana wajib pajak kelas menengah yang rutin dan patuh mendapatkan pengembalian (refund) lebih cepat atau insentif berupa e-voucher kebutuhan pokok.
Namun fiskal saja tidak cukup. Pemerintah perlu memperkuat daya beli melalui insentif produktif. Misalnya, program UMKM Sahabat Menengah yang menjadikan kelas menengah sebagai konsumen utama dan investor mikro bagi UMKM lokal.
Program pelatihan keterampilan baru seperti Re-skilling Menengah Naik Kelas juga penting untuk meningkatkan pendapatan dan mobilitas vertikal kelas menengah agar tak stagnan di jebakan pendapatan menengah (middle-income trap).
Memberi ruang fiskal dan produktif bagi kelas menengah bukan hanya soal keadilan, tapi soal keberlanjutan ekonomi nasional.
Estimasi Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 persen pendapatan kelas menengah dapat mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 0,7 persen (Kemenkeu, 2024).
Efek berantai dari konsumsi akan dirasakan di sektor ritel, properti, pendidikan, dan bahkan ekspor berbasis UMKM.
Di sisi fiskal, pengurangan pajak kelas menengah tidak harus membuat negara kehilangan pendapatan. Kerugiannya bisa dikompensasi dengan optimalisasi pajak digital, perluasan basis pajak, serta pengenaan pajak kekayaan bagi kelompok superkaya.
Yang lebih penting, ketika kelas menengah merasa sistem fiskal adil dan memberi manfaat langsung, maka kepercayaan publik terhadap negara akan meningkat. Kepercayaan inilah yang menjadi modal sosial penting dalam menjaga stabilitas jangka panjang.
Masyarakat kelas menengah adalah jembatan antara ekonomi rakyat dan ekonomi korporasi. Mereka menggerakkan konsumsi, membayar pajak, menyekolahkan anak, dan menabung untuk masa depan.
Ketika daya beli mereka melemah, seluruh sendi ekonomi akan ikut goyah. Maka, reformasi pajak yang berpihak serta program sosial-ekonomi inklusif bukan sekadar opsi, tetapi keharusan.
Sudah saatnya negara berpihak lebih nyata kepada mereka yang selama ini menopang pertumbuhan dari tengah.
Jika pemerintah sungguh ingin menjaga stabilitas ekonomi dan sosial, maka sudah waktunya berpihak secara nyata kepada mereka yang telah lama menopang pembangunan dari balik layar.
Kelas menengah tak meminta dikasihani, mereka hanya ingin diberi ruang bernapas. Saatnya negara turun tangan—sebelum yang menopang justru tumbang.