



Mengurai Dilema Pengembangan Kapasitas Industri Baja Nasional
DI TENGAH gonjang-ganjing rencana penerapan kenaikan tarif baja baru hingga 50 persen oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, industri baja nasional juga menghadapi tantangan tidak ringan.
Industri baja Indonesia kini berada dalam dilema kebijakan yang kompleks, di mana paradoks pengembangan kapasitas menjadi tantangan nyata yang harus dihadapi.
Paradoks pertama, saat ini Indonesia menghadapi kelebihan kapasitas di beberapa segmen produk baja. Namun, untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 justru dibutuhkan tambahan kapasitas yang sangat signifikan.
Paradoks kedua, Indonesia membutuhkan penambahan kapasitas baja untuk memenuhi permintaan domestik yang terus meningkat. Namun, secara global dan regional justru terjadi kelebihan kapasitas yang sangat besar.
Paradoks inilah yang menjadi dilema dan tantangan utama bagi pemerintah dan pelaku industri dalam merumuskan kebijakan investasi baja yang tepat dan berkelanjutan.
Proyeksi kebutuhan baja untuk Indonesia Emas 2045
Pada awal 2025, Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan RPJMN 2025–2029 sebagai pedoman pembangunan nasional dalam lima tahun ke depan.
Dokumen ini memuat berbagai proyek strategis nasional yang akan mendorong percepatan pembangunan di berbagai sektor dan menjadi salah satu pendorong utama permintaan baja nasional dalam jangka menengah, mengingat baja merupakan bahan baku penting dalam pembangunan infrastruktur dan industri.
Beberapa proyek ikonik yang akan membutuhkan baja dalam jumlah besar antara lain pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), Giant Sea Walls di Pantai Utara Jawa, proyek Kereta Cepat Jakarta–Surabaya.
Lalu pengembangan tol laut dan pelabuhan internasional, pembangunan kawasan industri strategis di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, serta berbagai proyek pembangunan infrastruktur lainnya seperti jalan tol, rel kereta api, dan jaringan transportasi perkotaan yang masif.
RPJMN ini merupakan tahap awal menuju visi besar Indonesia Emas 2045— cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara maju dengan industri yang kokoh dan berdaya saing tinggi.
Hampir seluruh sektor strategis pembangunan akan membutuhkan baja dalam jumlah besar, baik untuk mendukung konektivitas wilayah, pembangunan kawasan industri, maupun pemantapan ketahanan nasional.
Baja juga menjadi fondasi pembangunan sektor strategis seperti energi, maritim, pertanian, kendaraan listrik, hingga infrastruktur sosial seperti sekolah, rumah sakit, dan pusat riset.
Dengan demikian, permintaan baja nasional dipastikan akan meningkat signifikan, diperkirakan mencapai lebih dari 100 juta ton per tahun pada 2045.
Hal ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah dan pelaku industri untuk memastikan tersedianya kapasitas produksi yang memadai dan berdaya saing.
Tantangan kelebihan kapasitas industri baja nasional
Di tengah proyeksi kebutuhan baja nasional yang sangat tinggi untuk mendukung pembangunan menuju Indonesia Emas 2045, industri baja Indonesia saat ini justru menghadapi tantangan serius berupa kelebihan kapasitas produksi pada beberapa segmen produk baja tertentu, terutama pada long products.
Fenomena ini muncul akibat derasnya arus investasi baru dalam bentuk relokasi pabrik dan pembangunan fasilitas produksi, terutama yang dilakukan oleh produsen baja asal China yang menghadapi kelebihan kapasitas sangat besar di negara mereka sendiri.
Relokasi dan investasi baru tersebut kerap kali tidak selaras dengan pertumbuhan permintaan domestik, sehingga menimbulkan kelebihan pasokan baja di pasar dalam negeri.
Kondisi ini semakin memperlebar ketidakseimbangan antara kapasitas produksi dan permintaan, menciptakan ketidakpastian pasar, dan pada akhirnya melemahkan daya saing industri baja nasional.
Kapasitas terpasang industri baja nasional untuk baja kasar (crude steel) saat ini diperkirakan mencapai sekitar 20 juta ton per tahun. Sementara kapasitas untuk produk jadi (finished products) mencapai sekitar 30 juta ton per tahun.
Namun demikian, permintaan baja dalam negeri untuk produk jadi baru berkisar antara 18 hingga 19 juta ton per tahun. Sementara porsi impor produk baja di pasar domestik masih relatif tinggi, yaitu sekitar 40 persen dari total konsumsi baja nasional.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa utilisasi industri baja nasional pada beberapa segmen masih berada di bawah 60 persen.
Utilisasi yang rendah ini menimbulkan masalah serius bagi keberlanjutan industri baja nasional, karena berdampak langsung pada turunnya efisiensi produksi, meningkatnya biaya tetap per ton, serta menurunnya daya saing produk baja Indonesia baik di pasar domestik maupun global.
Masalah kelebihan kapasitas produksi baja bukan hanya menjadi persoalan di Indonesia, melainkan juga menjadi tantangan besar di tingkat regional dan global.
Laporan terbaru dari OECD menyebutkan bahwa kapasitas produksi baja global telah mencapai lebih dari 2,4 miliar ton per tahun, sedangkan permintaan aktual dunia hanya berkisar 1,9 miliar ton per tahun.
Hal ini memicu kelebihan kapasitas global yang sangat besar—diperkirakan melebihi 500 juta ton per tahun—yang menekan harga baja dunia dan memicu praktik perdagangan tidak adil, termasuk praktik dumping yang berdampak langsung pada industri baja domestik di banyak negara, termasuk Indonesia.
Di kawasan ASEAN, berdasarkan data SEAISI, kapasitas produksi baja di enam negara utama (ASEAN-6) diperkirakan akan melonjak drastis dari sekitar 78 juta ton pada 2022 menjadi lebih dari 147 juta ton pada 2026.
Namun, permintaan domestik di kawasan ini hanya berkisar antara 75 hingga 78 juta ton, sehingga menciptakan potensi kelebihan kapasitas yang signifikan.
Negara-negara seperti Malaysia dan Thailand bahkan telah mengambil langkah tegas dengan menerapkan kebijakan moratorium investasi baja sebagai bentuk mitigasi agar tidak memperparah ketidakseimbangan pasar baja di negaranya.
Kebijakan moratorium tersebut bersifat sementara dan diberlakukan hingga permintaan domestik menunjukkan pertumbuhan yang cukup untuk mendukung utilisasi pabrik secara sehat.
Selain itu, secara global telah dibentuk forum Global Forum on Steel Excess Capacity (GFSEC) yang diinisiasi oleh G20 dan difasilitasi OECD sebagai wadah bagi negara-negara produsen baja untuk menangani masalah kelebihan kapasitas produksi baja yang telah menjadi persoalan serius di banyak negara.
Namun demikian, forum ini belum berjalan secara efektif karena berbagai kepentingan nasional yang berbeda, termasuk keluarnya China pada 2019, sehingga upaya pembatasan kapasitas di tingkat global masih menghadapi tantangan yang besar.
Indonesia berada dalam posisi unik. Di satu sisi harus mengantisipasi dampak overcapacity global dan regional yang menekan harga baja, tetapi di sisi lain masih membutuhkan pembangunan kapasitas baru untuk memenuhi permintaan baja nasional yang diperkirakan akan terus meningkat dalam rangka mendukung pembangunan menuju Indonesia Emas 2045.
Moratorium investasi dan roadmap industri baja terintegrasi
Dalam menghadapi tantangan kelebihan kapasitas dan kebutuhan pembangunan baja nasional yang tinggi, Indonesia perlu segera menetapkan kebijakan yang seimbang dan berorientasi jangka panjang.
Salah satu langkah strategis yang perlu dipertimbangkan adalah penerapan kebijakan moratorium investasi pada segmen-segmen produk baja yang sudah mengalami kelebihan kapasitas.
Moratorium ini penting agar pembangunan kapasitas baru tidak dilakukan secara sporadis dan tanpa kajian mendalam yang justru berpotensi memperburuk ketidakseimbangan pasar baja nasional.
Dengan demikian, kebijakan moratorium investasi ini harus dirancang secara selektif, tepat sasaran, dan bersifat sementara hingga permintaan domestik mampu mendukung utilisasi industri yang sehat.
Namun demikian, kebijakan moratorium saja tidak cukup. Pemerintah Indonesia juga perlu segera menyusun Roadmap Industri Baja Nasional yang komprehensif dengan menggunakan pendekatan Neraca Komoditas.
Roadmap ini harus mampu memetakan kebutuhan baja nasional secara detail, baik dari sisi jenis produk, spesifikasi mutu, maupun kebutuhan masing-masing sektor pengguna baja.
Dengan demikian, pembangunan kapasitas industri baja ke depan dapat dilakukan secara lebih terarah, menghindari tumpang tindih investasi, dan memastikan setiap tambahan kapasitas benar-benar mendukung pembangunan industri baja nasional yang kokoh, berdaya saing, dan berkelanjutan.
Selain itu, roadmap ini harus mengintegrasikan strategi perlindungan industri nasional dari praktik perdagangan tidak adil serta kebijakan proteksionisme yang semakin meningkat, sebagaimana tercermin dalam kebijakan tarif baja yang pernah diberlakukan oleh Trump.
Dengan demikian, industri baja Indonesia akan lebih siap menghadapi tantangan global, termasuk tren dekarbonisasi industri dan penerapan kebijakan-kebijakan hijau yang kini menjadi perhatian internasional.
Dengan kebijakan investasi yang tepat dan roadmap industri baja nasional yang terintegrasi, Indonesia akan mampu mengatasi dilema pengembangan kapasitas industri baja dan memastikan pembangunan industri baja yang selaras dengan kebutuhan nasional.
Kebijakan ini akan menjadi fondasi penting dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 yang membutuhkan industri baja yang kokoh sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional.
Tag: #mengurai #dilema #pengembangan #kapasitas #industri #baja #nasional