Pertarungan Emas Hijau Vs Nikel di Raja Ampat
Alat berat terparkir sejak PT Gag Nikel menghentikan kegiatan operasionalnya untuk sementara di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, Sabtu (7/6/2025). (ANTARA/Putu Indah Savitri)
11:28
11 Juni 2025

Pertarungan Emas Hijau Vs Nikel di Raja Ampat

RAJA Ampat, surga bawah laut yang termasyhur, kini di persimpangan jalan krusial. Keputusan pemerintah pada 10 Juni 2025, yang mencabut izin empat tambang nikel, tapi mempertahankan satu perusahaan, menghidupkan kembali perdebatan fundamental: meneruskan pariwisata lestari sebagai "emas hijau" atau terjerat janji keuntungan sesaat pertambangan nikel.

Ini bukan sekadar rupiah, melainkan pertaruhan visi jangka panjang tentang masa depan, kesejahteraan rakyat, dan kelestarian alam yang tak ternilai.

Narasi hilirisasi nikel kerap dibanggakan sebagai kunci pertumbuhan ekonomi. Terbukti dari lonjakan ekspor nikel olahan dari 4 miliar dollar AS pada 2017 menjadi 34 miliar dollar AS pada 2022, naik 750 persen.

Angka fantastis ini memang mendongkrak ekonomi regional. Namun, di balik gemerlap statistik, terdapat paradoks keuntungan negara.

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari royalti tambang nikel diragukan efektivitasnya. Ditambah insentif fiskal masif, seperti tax holiday hingga 25 tahun, pembebasan PPN, dan bebas bea ekspor untuk produk setengah jadi, potensi penerimaan pajak langsung bagi negara justru berkurang, bahkan menghilangkan pemasukan dari bea ekspor bijih nikel yang dulu dinikmati.

Surga terancam limbah

Kontroversi tambang nikel di Raja Ampat, khususnya di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, bukanlah isu baru. Ini akumulasi masalah lingkungan, hukum, dan tata kelola yang memicu kekhawatiran serius.

Dugaan kerusakan lingkungan parah menjadi pangkalnya; aktivitas pertambangan diduga telah membabat lebih dari 500 hektar hutan alami, menyebabkan sedimentasi pesisir yang mengancam terumbu karang.

Limbah tambang juga berpotensi mencemari perairan dengan logam berat seperti nikel, yang secara ilmiah jauh lebih beracun bagi ekosistem laut dibandingkan tembaga.

Tak hanya itu, pelanggaran hukum pun terbukti. KLHK menemukan empat perusahaan—PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Melia Raymond Perkasa, dan PT Nurham—terbukti melanggar UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. PT MRP, misalnya, beroperasi tanpa dokumen lingkungan.

Kondisi ini diperparah konflik kebijakan antar-kementerian. KLHK menemukan bukti pencemaran, tapi Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sempat menyatakan "tidak ada masalah" berdasarkan inspeksi visual di Pulau Gag (merujuk PT GAG Nikel).

Perbedaan pandangan ini memicu skeptisisme publik. Tak heran, tekanan aktivis dan masyarakat, seperti protes dengan tagar #SaveRajaAmpat, semakin gencar menuntut penghentian tambang yang mengancam "surga terakhir" keanekaragaman hayati laut dunia ini.

Kontroversi izin berlanjut

Raja Ampat.Dok. Kemenpar Raja Ampat.Pada 10 Juni 2025, pemerintah mengambil sikap yang mencampuradukkan ketegasan dan kompromi.

Setelah rapat terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto, Kementerian ESDM resmi mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat perusahaan.

Menteri Bahlil menjelaskan, keputusan ini didasari temuan pelanggaran lingkungan oleh KLHK, tumpang tindih kawasan konsesi dengan zona konservasi, serta pertimbangan masukan dari pemerintah daerah dan tokoh masyarakat.

Presiden Prabowo, menurut Bahlil, memiliki perhatian khusus menjadikan Raja Ampat wisata dunia.

Namun, keputusan ini tidak berlaku untuk PT GAG Nikel (GN), yang mengantongi izin operasi produksi sejak 2017.

Menteri Bahlil beralasan, peninjauan langsung di lapangan menunjukkan kegiatan tambang GN berjalan sesuai ketentuan, taat AMDAL, dan tidak menimbulkan dampak lingkungan berarti.

Ia menegaskan, "Karena juga adalah bagian daripada aset negara. Selama kita awasi betul arahan Bapak Presiden, kita harus awasi betul lingkungannya. Dan sampai dengan sekarang kami berpandangan tetap akan bisa berjalan."

Meskipun GN tetap beroperasi, Bahlil menegaskan pengawasan aktivitas perusahaan akan diperketat. Pelaksanaan AMDAL dan reklamasi harus disiplin agar tidak merusak terumbu karang.

 

Keputusan ini menarik, mengingat klaim Bahlil didasarkan pada "observasi visual" yang berbeda dengan temuan KLHK yang memerlukan uji laboratorium untuk memastikan pencemaran.

Apakah pengawasan ketat cukup menjamin kelestarian ekosistem rapuh vital bagi pariwisata dunia? Ini pertanyaan besar yang masih menggantung.

Emas hijau terancam

Terlepas dari dicabutnya izin empat perusahaan dan pembelaan terhadap PT GAG Nikel, kehadiran tambang nikel di Raja Ampat tetap menimbulkan ancaman serius bagi sektor pariwisata—penyumbang utama ekonomi lokal—serta kelestarian ekosistem.

Sedimentasi dari tambang secara langsung mengurangi kejernihan air, menyelimuti terumbu karang, dan merusak habitat biota laut.

Padahal, 75 persen spesies karang dunia ada di Raja Ampat, menjadikannya daya tarik utama penyelaman global.

Para ahli logam berat menegaskan bahwa pencemaran tidak dapat dinilai visual, melainkan melalui uji laboratorium, karena ion nikel sangat beracun bagi larva karang dan rantai makanan laut.

Dampak ekonomi langsung pun tak terhindarkan. Pelaku usaha pariwisata telah melaporkan penurunan omset hingga 40 persen akibat kabar kerusakan lingkungan. Pembatalan kunjungan mengancam mata pencarian masyarakat.

Di sisi jangka panjang, para pakar kelautan menjelaskan fenomena butterfly effect: pencemaran di pulau kecil seperti Gag dapat menyebar ke kawasan inti wisata seperti Piaynemo melalui arus laut.

Jika terus berlanjut, Raja Ampat berisiko kehilangan status UNESCO Global Geopark. Kontradiksi nilai ekonomi pun jelas, pariwisata Raja Ampat menyumbang sekitar Rp 150 miliar per tahun secara berkelanjutan, sementara pertambangan nikel berisiko merusak fondasi ekonomi tersebut.

Pilihan bagi Raja Ampat seharusnya sudah jelas: melestarikan keindahan alam lautnya yang tak tertandingi dan statusnya sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia.

Membiarkan aktivitas pertambangan, sekecil apa pun, masuk ke wilayah sensitif ini berpotensi membawa kerugian permanen yang tak dapat diperbaiki.

Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali bahwa potensi kerusakan lingkungan jangka panjang akan jauh melampaui keuntungan finansial semu dari tambang nikel.

Rakyat yang kini mungkin termakan janji keuntungan sesaat dari pertambangan nikel harus disadarkan bahwa kondisi ini berisiko terjebak dalam jebakan kemiskinan dan kerusakan lingkungan jangka panjang.

Pengalaman global menunjukkan, masyarakat yang terlalu bergantung pada tambang seringkali menghadapi "kota mati" dan hilangnya identitas ekonomi lokal setelah tambang ditutup.

Transisi dari potensi pertambangan ke pariwisata memerlukan kolaborasi strategis antara pemerintah, masyarakat, dan swasta.

Ini berarti pemerintah harus mengalihkan sumber daya dan fokus pada program perlindungan sosial bagi pekerja tambang terdampak, seperti Jerman yang memberi 80 persen gaji terakhir selama pelatihan ulang.

Pelatihan kompetensi pariwisata harus digalakkan masif, mencakup sertifikasi pemandu geowisata, pengelola homestay, atau teknisi ekowisata, meniru Belitung yang melatih mantan penambang timah menjadi pemandu Danau Kaolin.

Selain itu, negara perlu memimpin restorasi lingkungan dengan mengubah bekas tambang menjadi destinasi wisata, mencontoh Jerman yang menyulap lubang tambang menjadi Danau Senftenberg yang menarik 1,5 juta wisatawan per tahun.

Pembangunan fasilitas pendukung pariwisata dan insentif ekonomi seperti kredit UMKM berbunga rendah serta keringanan pajak PPh bagi usaha baru di sektor pariwisata juga krusial.

Masyarakat juga memiliki peran fundamental. Mantan penambang perlu beradaptasi keahliannya. Membangun kemitraan lokal seperti koperasi pariwisata dan terlibat dalam restorasi lingkungan adalah kunci.

Agar transisi berkeadilan, negara harus memberi jaminan hidup sementara, membuka akses pelatihan dan modal inklusif, serta melibatkan masyarakat dalam restorasi lingkungan berbasis kearifan lokal.

Masyarakat perlu keluar dari zona nyaman dengan mengonversi keahlian, membangun jejaring koperasi untuk kekuatan kolektif, dan memanfaatkan potensi lokal.

Kolaborasi ini menjamin transisi bukan hanya mengganti pekerjaan, tetapi menciptakan ekosistem ekonomi baru yang berkelanjutan.

Hentikan eksploitasi yang merusak, dan biarkan Raja Ampat menjadi simbol kemakmuran lestari dari pariwisata. Ini adalah pilihan bijak untuk masa depan Indonesia.

Tag:  #pertarungan #emas #hijau #nikel #raja #ampat

KOMENTAR