



Mengukur Kemiskinan dengan Hati
INDONESIA kerap merayakan pencapaian pertumbuhan ekonominya dan mengklaim kemajuan dalam upaya penanggulangan kemiskinan, sebagaimana tercermin dalam data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat penurunan tingkat kemiskinan menjadi 8,57 persen, atau sekitar 24,06 juta jiwa pada September 2024.
Namun, laporan terbaru Bank Dunia pada Juni 2025, mengungkapkan kenyataan lain yang mengguncang: angka penduduk miskin Indonesia melonjak drastis menjadi 68,25 persen atau sekitar 194,67 juta jiwa.
Angka itu berdasarkan standar garis kemiskinan baru yang disesuaikan dengan purchasing power parity (PPP) 2021 dan batas untuk negara berpendapatan menengah atas sebesar 8,30 dollar AS per orang per hari.
Perbedaan mencolok ini bukan sekadar kesenjangan statistik, tetapi mencerminkan dua pendekatan teoritis yang berbeda.
Bank Dunia menggunakan pendekatan global berbasis PPP dan standar hidup minimum berdasarkan daya beli global, yang secara teoritis mendasarkan diri pada basic needs theory (ILO, 1976) dan capability theory oleh Amartya Sen (1999).
Sementara itu, BPS masih menggunakan pendekatan Cost of Basic Needs (CBN)—menghitung kebutuhan makanan dan non-makanan diukur dari pengeluaran aktual rumah tangga.
Cermin baru untuk dunia lama
Perubahan besar dari PPP 2017 ke PPP 2021 menjadi pusat sorotan global. Perhitungan ulang ini tidak hanya menaikkan ambang garis kemiskinan, tetapi juga mengungkap “kemiskinan yang tersembunyi” di negara-negara berkembang.
Dalam konteks ini, PPP bukan sekadar metode teknis. Ia mencerminkan prinsip dari theory of real income yang diperkenalkan oleh Paul Samuelson dan Milton Friedman—bahwa kesejahteraan tidak ditentukan oleh pendapatan nominal, tetapi oleh kemampuan nyata dalam mengakses barang dan jasa.
Oleh karena itu, pembaruan PPP oleh International Comparison Program pada Mei 2024, memberikan dasar lebih kuat bagi Bank Dunia untuk menyesuaikan realitas garis kemiskinan global.
Teori kemiskinan telah berkembang jauh dari sekadar ukuran konsumsi. Pendekatan capability dari Sen menekankan bahwa seseorang disebut miskin ketika ia tidak memiliki kebebasan dan kemampuan dasar untuk menjalani kehidupan yang ia nilai penting (Sen, 1999).
Inilah yang melandasi lahirnya Multidimensional Poverty Index (MPI) oleh UNDP dan Oxford, yang digunakan untuk mengukur kemiskinan berdasarkan akses terhadap pendidikan, kesehatan, air bersih, dan perumahan.
Namun di Indonesia, pengukuran masih sangat bergantung pada pengeluaran makanan dan non-makanan, tanpa memperhitungkan akses terhadap layanan dan kualitas hidup.
Bahkan garis kemiskinan yang berbeda antar-provinsi seperti Jakarta (Rp 4,23 juta per rumah tangga) dan Lampung (Rp 2,82 juta) menunjukkan bahwa standar hidup dan harga sangat beragam, tetapi belum dijawab oleh pendekatan pengukuran kemiskinan nasional yang lebih adaptif.
Penggunaan batas baru 8,30 dollar AS untuk negara menengah atas mengacu pada prinsip relative poverty theory yang menekankan pentingnya menyesuaikan garis kemiskinan dengan standar hidup dan ekspektasi sosial dalam suatu masyarakat (Townsend, 1979).
Ketika Indonesia telah masuk kategori negara berpendapatan menengah atas, maka standar pengukuran kemiskinan pun harus naik kelas.
Ukuran yang lebih manusiawi dan berkeadilan
Dengan naiknya garis kemiskinan internasional untuk Indonesia, tantangan nyata yang dihadapi bukan hanya bagaimana menyesuaikan definisi nasional, tetapi juga bagaimana menyusun ulang kerangka perlindungan sosial.
Jika mayoritas rakyat Indonesia kini secara internasional tergolong miskin, maka program bantuan, subsidi, dan perlindungan harus meluas cakupannya.
Dalam konteks inilah pendekatan vulnerability to poverty menjadi relevan. Teori ini, sebagaimana dijelaskan oleh Chaudhuri et al. (2002), menyatakan bahwa individu atau rumah tangga yang berada sedikit di atas garis kemiskinan sangat rentan jatuh miskin ketika menghadapi kejutan ekonomi, seperti PHK, inflasi, atau bencana.
Pendekatan ini menyarankan agar negara memperluas bantuan tidak hanya kepada "miskin resmi", tetapi juga kepada kelompok “hampir miskin”.
Selain itu, tantangan lain adalah ketimpangan informasi antara pendekatan internasional dan nasional. Ketika Bank Dunia mencatat 194 juta orang miskin di Indonesia, sementara BPS hanya mencatat 24 juta, maka terjadi disonansi publik.
Oleh karena itu, sinergi metodologis antara Bank Dunia dan BPS perlu segera dibangun, bukan untuk menyeragamkan angka, tetapi untuk memperkaya pemahaman dan kebijakan.
Mengukur dengan hati, bertindak dengan empati
Mengukur kemiskinan tidak lagi bisa dilakukan dengan pendekatan minimalis. Dalam era keterbukaan dan standar global yang makin ketat, Indonesia tidak bisa berpaling dari kenyataan.
Data bukan sekadar angka, melainkan cermin keadilan sosial. Jika kita hanya berfokus pada kemiskinan yang “terlihat” oleh statistik nasional, maka kita telah mengabaikan jutaan rakyat yang tidak punya suara dalam angka-angka itu.
Mengukur kemiskinan bukanlah sekadar urusan data atau metodologi, melainkan menyangkut nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.
Bank Dunia mengubah garis kemiskinan bukan untuk mempermalukan negara-negara berkembang, tetapi untuk mendorong kejujuran dan keberanian dalam mengakui tantangan pembangunan.
Kini, saatnya Indonesia mengukur dengan hati, bukan sekadar kepala. Bukan hanya untuk mengejar citra makroekonomi, tetapi untuk memastikan bahwa kebijakan benar-benar menjangkau yang paling membutuhkan.
Tantangan baru ini bukan sekadar tekanan internasional, tetapi juga kesempatan untuk memperbaiki paradigma pembangunan nasional.
Dunia telah berubah. Ukuran telah disesuaikan. Kini giliran kita—apakah kita akan menyesuaikan kebijakan dengan kenyataan, atau terus bersembunyi di balik angka yang menenangkan?
Tag: #mengukur #kemiskinan #dengan #hati