



Mengapa Warga Jogja Jalan Kaki Keliling Keraton Saat Malam 1 Suro?
Tanggal 1 Suro dalam kalender Jawa, bertepatan dengan tanggal 1 Muharam dalam kalender Hijriah. Di daerah Jawa, khususnya di Yogyakarta terdapat tradisi yang digelar untuk menyambut Tahun Baru Islam.
Adapun tradisi malam 1 Suro di Yogyakarta yang masih dilestarikan hingga sekarang yaitu upacara Mubeng Beteng.
Apa yang dimaksud Mubeng Beteng?
Dikutip dari buku "Perayaan 1 Suro di Pulau Jawa" karya Julie Indah Rini (2010), Mubeng Beteng merupakan upacara kirab sambil mengitari Beteng Keraton Hadiningrat dan Beteng Puropakualaman.
Menambahkan dari laman resmi Dinas Kebudayaan Yogyakarta, upacara Mubeng Beteng merupakan bagian dari tirakat lampah ratri, yaitu munajat atau madrawa ke hadirat Allah SWT dengan berjalan mengikuti lintasan tertentu.
Di Yogyakarta ada beberapa lintasan yang digunakan lampah ratri, di antaranya di lintasan dari pojok beteng wetan Karaton sampai ke pantai Parangkusumo Bantul.
Kemudian, di lintasan mengikuti kontur kelima masjid pathok nigari Karaton Yogyakarta. Lalu, di lintasan jagan njaban peninggalan Karaton Kotagedhe
Ada juga yang melaksanakan lampah ratri dengan keliling desa atau kampung. Namun, yang paling popular adalah lampah ratri dengan mengelilingi beteng Karaton Yogyakarta.
Warga berjalan kaki dalam keheningan mengelilingi kompleks Keraton Yogyakarta, Yogyakarta, saat mengikuti tradisi Tapa Bisu Lampah Mubeng Beteng, Selasa (4/11/2013) dini hari.
Kapan Mubeng Beteng Keraton Jogja?
Upacaya Mubeng Beteng dahulunya merupakan upacara resmi dari Karaton atau upacara kenegaraan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dilaksanakan atas perintah dalem Sri Sultan Hamengkubuwana yang bertahta dan dilaksanakan oleh para abdi dalem.
Seiring waktu, Mubeng Beteng dilaksanakan oleh masyarakat dan komunitas abdi dalem. Prosesi Mubeng Benteng Karaton Jogja terinspirasi oleh perjalanan suci hijrah dari Mekkah-Madinah oleh rombongan Nabi Muhammad SAW.
Perjalanan yang penuh keprihatinan dan penderitaan melintasi lautan pasir yang sangat panas tanpa menggunakan alas kaki.
Di samping itu, pelaksanaan lampah ratri tersebut juga dilaksanakan dengan tapa bisu (tanpa berbicara) dan juga tanpa menggunakan alas kaki.
Sehingga menciptakan suasana yang khidmat, senyap dan keramat untuk merefleksikan diri selama satu tahun sebelumnya.
Sebelum pelaksanaan lampah ratri, dilaksanakan terlebih dahulu pembacaan doa akhir tahun, doa awal tahun, dan doa bulan Suro.
Kemudian, dilanjutkan dengan prosesi pemberian restu dari ulama petinggi karaton Kanjeng Kyahi Penghulu. Lalu dimulai dengan pembacaan doa yang berisi permohonan kemakmuran dan perlindungan ke hadirat Allah SWT.
Adapun Mubeng Beteng Keraton Yogyakarta dilakukan setiap malam 1 Suro. Pada 2025, malam 1 Suro jatuh pada Kamis (26/6/2025).
Apa saja prosesi Mubeng Beteng?
Prosesi Macapatan sebelum Mubeng Beteng di Keben Keraton Yogyakarta, Rabu (19/7/2023) malam.
Saat prosesi Mubeng Beteng, Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan biasanya akan dipadati ribuan orang.
Dalam upacara ini, para peserta akan melakukan topo mbisu, mereka mengelilingi benteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sepanjang 6 kilometer tanpa berbicara, makan, minum, dan merokok. Kegiatan ini semacam kirab yang akan dimulai tepat pukul 00.00 WIB.
Barisan terdepan dalam upacara ini ialah rombongan abdi dalem yang mengenakan busana adat Jawa Peranakan berwarna biru tua, tanpa membawa keris dan tidak beralas kaki.
Mereka membawa bendera merah putih dan delapan panji serta umbul-umbul Keraton Yogyakarta.
Abdi dalem dari Kota Yogyakarta membawa Panji Bangun Tolak, Abdi dalem Kulonpropgi membawa Panji Pare Adnom, abdi dalem GunungKidul membawa panjiPodang Ngisep Sari, dan abdi dalam Bantul membawa Panji Pandan Binetot.
Lalu, abdi dalem Slemen membawa Panci Mega Ngampak, serta abdi dalam Kraton Yogyakarta membawa panci Gula Klapa.
Setelahnya, di belakang barisan abdi dalam mengekor rombongan masyarakat umum sepanjang 500 meter.
Peserta upacara ini terdiri dari orang tua dan remaja. Mereka berjalan melewati Jalan Rotowijayan, Kauman, Agus Salim, dan Wahid Hasyim.
Kemudian, melewati pojok Benteng Barat, Jalan MT Haryono, Pojok Benteng Timur, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, dan berakhir di alun-alun utara.
Sebagai informasi, tradisi ini sudah berlangsung sejak zaman Mataram Kuno. Dalam sejarahnya, ritual ini bertujuan untuk mengusir wabah ataupun bencana.
Tag: #mengapa #warga #jogja #jalan #kaki #keliling #keraton #saat #malam #suro