Pameran Abstract Perspective, Menegaskan Kekuatan Abstrak dalam Seni Rupa
Enam pelukis menunjukkan kekuatan lukisan abstrak. Tidak sekadar asal gores di kanvas. Bahkan, dalam sejarahnya, seni abstrak ”menyelamatkan” sang seniman ketika kamera hadir dua abad lalu.
”LUKISAN abstrak bukan sekadar coret-coret. Setiap goresan, warna, dan komposisi mewakili perasaan,” ujar Wilian Robin, pendiri Vice & Virtue Gallery, Jakarta.
Enam seniman menunjukkan pentingnya lukisan abstrak dalam seni rupa. Enam seniman itu adalah Elka Alva, Frisky Jayantoro, Gogor Purwoko, Qimin, Via, dan Wopskin. Pameran kolektif mereka bertajuk Abstract Perspective dan berlangsung sejak 16 Maret hingga bulan ini.
Wilian menuturkan, pameran ini memang ingin menunjukkan kepada masyarakat umum bahwa abstrak itu merupakan seni. ”Terkadang orang melihat abstrak itu gini doang. Ah, saya juga bisa bikin,” ujarnya.
Padahal, pemilihan garis, warna, dan komposisi dalam lukisan abstrak mewakili perasaan. Bisa jadi, masyarakat belum tentu kepikiran komposisi, warna, dan goresan semacam itu. ”Itu yang mahal dari lukisan abstrak,” ungkap Wilian.
Lukisan abstrak ini ”menyelamatkan” seniman saat kemunculan kamera pada 200 tahun lalu. Ketika kamera mampu merekam objek lebih baik ketimbang lukisan. Lukisan abstrak menangkap yang tak terekam kamera. ”Warna abstrak itu (yang tak ditangkap kamera, Red) juga feeling-nya,” jelas Wilian.
Kurator memilih para seniman yang berpartisipasi dari beragam latar belakang. Ada yang berasal dari Jawa Timur hingga Jakarta. ”Pendidikan, asal daerah, dan sebagainya dipilih yang berbeda. Hal itu memengaruhi kepribadian yang kemudian ditampilkan dalam karya seninya,” terang Wilian.
UNGKAPAN DIRI: Tiga karya Elka Alva berjudul I Can't Wait (kiri), Apa Kamu Benar-Benar Menangis? (tengah, dan Ucapan Selamat Malam Terbaik dipajang di Vice and Virtue Gallery, Jakarta. (SALMAN TOYIBI/JAWA POS)
Misalnya, lukisan dari Elka Alva yang berjudul Apa Kamu Benar-Benar Menangis?, I Can’t Wait, dan Ucapan Selamat Malam Terbaik. Jawa Pos merasakan ada kesedihan sekaligus keceriaan dalam karya berjudul Apa Kamu Benar-Benar Menangis?, baik dari goresannya maupun pemilihan warnanya.
Rasa itu campur aduk, tetapi estetis. Dan, siapa sangka ternyata pembuatan ketiga lukisan juga benar-benar unik. Wilian mengungkapkan, dalam tiga karya tersebut Elka Alva membubuhkan tanah dari depan rumahnya di Lumajang.
Mungkin orang lantas bertanya dan kebingungan tentang alasan memakai tanah. Yang banyak orang menganggapnya kotor. ”Karya seni itu tidak harus bersih, cantik. Elka ini memperlihatkan sesuatu yang kotor itu bisa indah,” ujar Wilian.
Wilian mendengar dari Elka. ”Kalau karya-karya ini ke mana-mana, ada tanah kampungnya yang berjasa dalam karyanya. Elka memasukkan unsur kampungnya menjadi elemen dalam lukisan,” kata Wilian.
Beda lagi dengan lukisan karya Via yang berjudul Cracks, Make It Gold. Sebuah lukisan yang sebagian besar berwarna merah dengan warna emas yang seakan membanjiri. Lalu, terdapat tiga goresan seperti bekas cakar. Entah bagaimana, terlihat warna emas justru mendominasi. Goresan itu juga mencuri perhatian. ”Via ini menunjukkan ketidaksempurnaan yang diperlihatkan secara sempurna,” jelas Wilian.
Dia menyatakan, warna merah itu menunjukkan kekurangan manusia. Lalu, warna emas itu digunakan untuk menutupi kekurangan manusia. ”Seperti perkotaan yang terlihat indah dan cantik, tapi sebenarnya ada kekurangannya,” paparnya.
Lukisan yang juga menarik merupakan karya Gogor Purwoko dengan judul Jaga Nyala dan Spiritual Hunger. Lukisan Jaga Nyala ini memiliki keunikan karena bukan dalam satu kanvas, melainkan tiga kanvas yang menjadi satu padu. Dengan bentuk api yang menyala dan di samping kanan-kiri seakan ada sayapnya.
Gogor menjelaskan, maksud lukisan Jaga Nyala sebenarnya merupakan semangat untuk terus berkarya. Arti itu yang paling mudah untuk diketahui dalam lukisan. ”Walau sebenarnya artinya berlapis, karya ini menggunakan interpretasi dalam,” urainya.
Lewat lukisan berjudul Spiritual Hunger, dia ingin menyampaikan sebuah kritik yang tidak frontal. Kritik terhadap ketergantungan dalam kemudahan berteknologi. Namun, memang teknologi itu dibutuhkan. ”Walau sebenarnya penting untuk menjaga keseimbangan, khususnya spiritual,” jelasnya kepada Jawa Pos pekan lalu (12/4).
Gogor menuturkan, untuk melihat karya lukisannya, setiap orang bebas memberikan tafsir. Karya memiliki bahasa sendiri. ”Penerjemahan bebas ini yang mungkin bisa dilakukan dalam membaca karya abstrak,” tegasnya. (idr/c14/dra)
Tag: #pameran #abstract #perspective #menegaskan #kekuatan #abstrak #dalam #seni #rupa