Sajak: Cerita dari Penajam Paser Utara
ILUSTRASI (BUDIONO/JAWA POS)
10:20
14 Januari 2024

Sajak: Cerita dari Penajam Paser Utara

Cerita dari Penajam Paser Utara


Awal 2023, Menyu tiba kembali. Seorang perempuan tua menyambutnya
dengan satu beliung berkarat. Dan selembar papan lantai perahu.
"Hanya ini yang tersisa," kata si perempuan.
Dan Menyu tahu apa artinya: negara tak cukup meremukkannya lewat
pajak dan aturan, melainkan juga merampas masa lalunya.


Ia ingat, tentu saja. Dua puluh tahun lalu, ketika orang-orang Suku Balik
di kampung sebelah menyelenggarakan balian mulung yang terakhir,
ia tancapkan beliung itu di kebun belakang untuk
menandai tanah yang menyimpan tubuh bapak. Dan ia mengelus
papan perahu itu sebelum mengucap sampai jumpa.
"Aku akan kembali," katanya. "Untuk berlayar ke hulu Sungai Sepaku, memancing dan menanam sayur."

Sesungguhnya, ia tak ingin pergi, waktu itu. Tapi, ia harus. Sebab, utang sewaktu bapak sakit mesti dibayar. Dan di Malaysia, denting ringgit memanggil-manggil.


Dan ia kembali. Awal 2023. Untuk tahu bahwa tak ada lagi yang tersisa. "Siapa yang menduga?" perempuan itu berujar lemah. ’’Ibu kota negara dipindahkan dan kebun kita yang tua mesti menanggungnya. Sungai kita yang sederhana mesti dibendung dan dipecah. Lalu tak ada lagi perahu yang berlayar. Tak ada lagi ikan yang bisa dipancing. Tak ada lagi air bening yang bisa diangsu. Tak ada lagi..."

"Tak ada lagi makam leluhur yang bisa diziarahi," Menyu memotong. "Tak ada lagi masa lalu yang tersisa."

Ia masih ingin meratap sesungguhnya.
Tapi, ia menahan diri.


"Setelah tajuk sawit mengikis rimbun hutan,
setelah tambang batu bara menipiskan kulit tanah,
kenapa orang-orang dari Jawa masih juga merasa perlu menghabisi
sejarah kita?" isak si perempuan, mengatakan apa yang Menyu tahan.


Dan Menyu menatap Sungai Sepaku –sisa-sisa Sungai Sepaku.
"Bersabarlah, Mamak." Itu yang akhirnya ia ucapkan. "Bertahanlah."
Dan Menyu memejamkan mata. Ia berharap, ibu kota adalah cerita
yang tak pernah benar-benar nyata. Atau, cerita murung yang urung jadi.

Tak akan benar-benar jadi.

---

Pawang


Hari itu mungkin seorang turis melongok dari tepi jalan, dan
seorang busu yang optimis berkata dekat kupingnya, "Lihat, Mister,
lihat bagaimana keajaiban bekerja di sini. Di luar nalar dan
logikamu."

Tapi, mungkin saja tak ada turis dan tak ada busu yang optimis.

Tapi, memang orang ramai berkumpul sekian meter dari papan batang,
dan seorang pawang menyentuh permukaan sungai yang hangat.
"Kau bisa,"seseorang berteriak. Dan pawang itu, yang sedikit ragu, menjadi
semakin ragu. Ia tahu ia tak seharusnya ada di sana. Orang-orang mengenalnya
sebagai pawang kuda lumping –seorang transmigran Jawa yang diikuti jin-jin
pemakan beling dan ayam mentah. Dan sehari sebelumnya, seekor buaya muara
sepanjang 5 meter menyeret seorang bocah 6 tahun ke dalam sungai.


"Seharusnya kalian memanggil pawang buaya," katanya tadi pagi. Tapi, orang-
orang menggeleng. "Susah betul menemukan pawang buaya," kata mereka.
Dan ia tak mengerti bagaimana orang-orang yang hidup dari sungai,
yang memuja sungai, yang menyebut nenek untuk menghormati
buaya, mengalami kesulitan menemukan pawang buaya.


"Bagaimanapun kau juga pawang," kata orang-orang. Dan ia tahu ia tak mampu
berkelit. Maka di sinilah, ia memasukkan tungkainya yang gemetar ke dalam sungai.

Ia menggumamkan mantra singkat untuk memanggil jin-jin Jawa yang menyertainya
– yang biasa ia masukkan ke tubuh para pemain kuda lumping, yang kerap bertingkah
seolah mereka jin-jin paling kuat di seantero negeri.


"Bantu aku,” ia berbisik.


Dan si buaya kemudian muncul. Namun, bukan untuk mengembalikan si bocah
seperti yang diharapkan, melainkan untuk merengkuhnya ke kedalaman.


Dan orang-orang menjerit.
"Apakah ia akan kembali?” seseorang bertanya.
Namun, kemudian mereka lihat keruh sungai bercampur merah darah.
Dan mereka tahu apa artinya.
"Padahal, ia punya banyak jin,” seseorang menggumam.


Dan barangkali, jika turis itu benar-benar ada di kerumunan, si turis akan
berujar, "Seharusnya kalian menggunakan nalar dan memanggil tim SAR
dengan peralatan yang memadai."


Tapi, barangkali memang tak ada turis.

---

DADANG ARI MURTONO M, Lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Saat ini tinggal di Samarinda dan bekerja penuh waktu sebagai penulis serta terlibat dalam kelompok suka jalan. Beberapa bukunya Sapi dan Hantu (puisi/2022), Cerita dari Brang Wetan (cerpen/2022), serta Peta Orang Mati (cerpen/2023).

Editor: Ilham Safutra

Tag:  #sajak #cerita #dari #penajam #paser #utara

KOMENTAR