Gibran Dinilai Tak Paham Soal Reforma Agraria
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai calon wakil presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka tidak paham soal esensi dari reforma agraria.
Seperti diketahui, dalam Debat Cawapres 2024, yang digelar pada Minggu (21/1/2024) di JCC Senayan, Gibran mendapatkan pertanyaan dari panelis soal strategi untuk mengembalikan tujuan reforma agraria sesuai amanat konstitusi.
Dalam kesempatan tersebut, Gibran memaparkan sejumlah program untuk mendukung agenda reforma agraria.
Misalnya saja, program Pemetaan tanah sistematis lengkap (PTSL), redistribusi tanah, serta one map policy.
“Program reforma agraria yang sekarang akan kami sempurnakan. Sudah ada program Pemetaan tanah sistematis lengkap (PTSL) yang sudah berhasil membagikan sekitar 11 juta sertifikat,” papar Gibran.
Namun demikian, Sekretaris Jenderal KPA Dewi Sartika menilai apa yang dipaparkan oleh Gibran tidak sesuai dengan konsep reforma agraria yang semestinya.
“Memang saya bisa menyimpulkan Gibran ini tidak paham reforma agraria. Blas gak paham. Ada banyak statement yang menurut saya kontroversial dan kontra reforma agraria,” ungkap Dewi saat dihubungi Kompas.com, Senin (22/1/2023).
Menurut Dewi, dalam agenda reforma agraria, ada ada tiga tujuan utama yang harus dilakukan. Pertama, soal penataan ulang struktur penguasaan tanah yang berkeadilan.
Kedua, menuntaskan konflik-konflik agraria yang bersifat struktural. Ketiga, mensejahterakan atau membebaskan masyarakat dari situasi kemiskinan akut.
“Pertama dari statement soal reforma agraria adalah terkait kota-kota yang mendapatkan predikat kota lengkap, itu bukan reforma agraria. Lagi-lagi dia membayangkan reforma agraria itu sebagai penyertifikatan tanah,” papar Dewi.
“Yang membutuhkan reforma agraria itu masyarakat yang ada di desa. Bukan mereka yang ada di kota,” lanjutnya.
Jika Gibran masih berbicara soal pembuatan sertifikat, maka Dewi menilai, konsep reforma agraria hanya akan mengulang cerita dan terjadi seperti yang berlangsung pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Pemerintahan SBY dan Jokowi sama-sama berjanji soal reforma agraria tapi disempitkan jadi sekadar pembuatan sertifikat tanah. Kalau pada era SBY namanya Prona. Sementara era jokowi itu namanya PTSL,” jelasnya.
Dikatakan, ukuran reforma agraria bukanlah sebanyak-banyaknya jumlah tanah yang sudah disertifikat tapi soal berapa besar rasio ketimpangan tanah yang sudah berhasil dikoreksi.
Selain itu, harus juga dipaparkan soal berapa jumlah konflik agraria yang berhasil dituntaskan terutama yang bersifat struktural.
“Harusnya yang ingin kita dengar adalah bahwa berbasiskan evaluasi fakta lapangan reforma agraria itu belum terjadi. Karena tidak ada data capaian pemerintah yang bisa ditunjukan ke publik berapa sih ketimpangan penguasaan tanah kita sudah dipulihkan?,” tegas Dewi.
Ia menambahkan, reforma agraria jangan hanya dikerdilkan soal hak atas tanah saja apalagi hanya sekedar sertifikasi tanah saja.
Dewi menegaskan, reforma agraria dalam prakteknya mengandung banyak hal termasuk hak atas tanah beserta teknologi tepat guna pupuk, benih bagi rakyat pasar yang diproteksi, hingga moda kelembagaan yang dibentuk oleh petani nelayan.
“Jadi reforma agraria merupakan satu paket lengkap dan harus dikerjakan secara sistemik terstruktur dan nasional,” tandas Dewi.