Adopsi Mobil Listrik RI Masih Dikuasai Early Adopter, Industri Belum Berani Tancap Gas
Pemaparan riset ID COMM, firma PR yang berjudul “Menuju Era Mobil Listrik: Sejauh Mana Indonesia Siap” pada Kamis (11/12) di Jakarta. (Nanda Prayoga/JawaPos.com)
15:00
11 Desember 2025

Adopsi Mobil Listrik RI Masih Dikuasai Early Adopter, Industri Belum Berani Tancap Gas

Pemanfaatan mobil listrik di Indonesia saat ini masih didorong terutama oleh kelompok early adopter dan sebagian early majority, yakni konsumen yang berani menjadi pengguna pertama dan siap menanggung risiko atas teknologi baru. Situasi ini menunjukkan bahwa penerimaan oleh masyarakat luas masih rendah dan membutuhkan dukungan lebih kuat agar pasar dapat tumbuh lebih besar.

Temuan tersebut disampaikan dalam riset ID COMM, firma PR yang berjudul “Menuju Era Mobil Listrik: Sejauh Mana Indonesia Siap”. Hasil riset itu dipublikasikan pada Kamis (11/12) di Jakarta.

“Transisi ini lebih menunjukkan pergeseran perilaku daripada perluasan pasar baru. Informasi ini penting untuk diketahui berbagai pihak terkait sektor otomotif,” menurut Asti Putri, Co-Founder dan Director ID COMM, sekaligus pemimpin riset ini.

Sebelumnya, pemerintah telah menargetkan populasi mobil listrik sebanyak 2 juta unit pada 2030 sebagai bagian dari upaya transisi energi nasional. Dan tren pasar menunjukkan akselerasi meski masih ada ruang untuk pengembangan. 

Mengutip data GAIKINDO, jumlah Battery Electric Vehicle (BEV) naik dari 15.318 unit pada 2023 menjadi 43.188 unit pada 2024, lalu mencapai 51.191 unit hanya dalam delapan bulan pertama 2025.

Kebijakan kendaraan listrik di Indonesia telah berkembang sejak 2019, bergerak dari fase inisiasi menuju tahap penguatan ekosistem. Perpres No. 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai menjadi landasan awal bagi percepatan adopsi kendaraan listrik, yang kemudian diperjelas dan didukung oleh sejumlah regulasi turunan di tingkat kementerian hingga pemerintah daerah.

Secara garis besar, kebijakan tersebut dirumuskan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil dan menekan emisi gas rumah kaca. Untuk memahami arah kebijakan secara menyeluruh, tim riset turut memetakan aturan-aturan yang mengatur seluruh rantai pasok industri mobil listrik, mulai dari proses penambangan bahan baku hingga pengelolaan dan daur ulang komponen.

 

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumen dalam Membeli Mobil Listrik

Ada sejumlah aspek yang memengaruhi keputusan konsumen dalam membeli mobil listrik. Berdasarkan hasil riset ini, faktor paling dominan adalah pertimbangan ekonomi karena biaya operasional mobil listrik jauh lebih rendah, terutama bagi pengguna dengan intensitas perjalanan tinggi. Insentif pajak juga menjadi pendorong kuat, mengingat tarif pajak tahunan kendaraan listrik hanya sekitar Rp 150.000.

Di luar aspek finansial, faktor psikologis turut berperan. Para pemilik mobil listrik dalam riset ini merasakan kebanggaan sebagai early adopter, menikmati posisi sebagai pembuka tren dan identik dengan gaya hidup modern. Sementara itu, alasan lingkungan masih dianggap sebagai nilai tambahan, bukan motivasi utama.

Proses menentukan pembelian mobil listrik sejatinya tidak jauh berbeda dengan pembelian mobil berbahan bakar fosil. Konsumen umumnya dipengaruhi lingkungan terdekat, sementara media sosial dan influencer otomotif digunakan sebagai sumber informasi awal, mulai dari ulasan produk hingga perbandingan antar merek.

Riset ini juga menemukan bahwa seluruh pemilik mobil listrik yang menjadi responden sudah memiliki mobil konvensional sebelumnya. Dengan rentang harga pembelian antara Rp189 juta hingga Rp1,58 miliar, terlihat bahwa mobil listrik bukan kendaraan pertama mereka, sekaligus mengindikasikan bahwa pasar pengguna mobil listrik masih didominasi kelompok menengah atas.

Dari sisi demografi usia, terdapat tiga kelompok besar: usia 25–35 tahun yang sedang membangun karier; usia 36–50 tahun yang telah stabil secara pekerjaan dan keluarga; serta usia 50 tahun ke atas yang menginginkan mobilitas nyaman dengan biaya operasional rendah, terutama menjelang masa pensiun.

 

Persaingan Industri Mobil Listrik Indonesia Masih Didominasi Sikap Wait and See

Industri otomotif sebenarnya cepat menangkap peluang, namun tetap berhati-hati dalam menanamkan investasi. Pelaku industri menunggu kejelasan proyeksi permintaan dari pemerintah sebelum menetapkan arah strategis jangka panjang di Indonesia.

Dari hasil pengumpulan data, mayoritas pelaku industri masih berada dalam posisi “wait and see”. Sikap ini dipicu oleh perubahan kebijakan yang fluktuatif, perang harga yang semakin ketat, serta ketidakpastian arah pasar.

Dua tahun awal pertumbuhan mobil listrik lebih menyerupai fase bertahan hidup dan proses belajar bersama, bukan masa stabilisasi. Meski industri mengikuti tren global dengan cepat, pasar domestik belum mampu beradaptasi secepat itu.

Saat ini, kompetisi berada pada fase price, performance war, dipimpin produsen Tiongkok yang unggul dalam efisiensi rantai pasok dan strategi harga agresif. 

Di sisi lain, pabrikan harus menghadapi tekanan margin yang menyempit, siklus penyegaran model yang makin singkat, serta ketidakpastian insentif pemerintah.

Pasar yang masih terpusat di kawasan urban dan didominasi konsumen kelas menengah atas menunjukkan bahwa industri masih berada dalam periode penyesuaian, bukan pertumbuhan yang merata.

Selama tiga tahun pertama, peningkatan penjualan mobil listrik lebih merefleksikan perpindahan konsumen, bukan ekspansi pasar. Penjualan EV meningkat justru ketika total penjualan mobil nasional turun, menandakan adanya kanibalisasi, konsumen berpindah dari mobil ICE ke mobil listrik tanpa menambah jumlah pembeli baru. (*)

 

 

 

Editor: Dinarsa Kurniawan

Tag:  #adopsi #mobil #listrik #masih #dikuasai #early #adopter #industri #belum #berani #tancap

KOMENTAR