



Lepas IndiHome, Telkom Limbung
JEJAK BUMN PT Telkom “agak buram”, usai RUPST (rapat umum pemegang saham tahunan) Mei lalu. Acara itu menjelaskan dengan gamblang betapa PT Telkom tidak memiliki kebijaksanaan kaderisasi seperti wajarnya satu entitas bisnis besar, yang kapitalisasi pasarnya konon sampai Rp 287 triliun.
Lemahnya kaderisasi memaksa Telkom mengambil dari luar direktur utama dan satu dari delapan direktur.
Direktur Utama Telkom, Dian Siswarini, belum lama menyelesaikan nyaris 10 tahunnya sebagai Presiden Direktur dan CEO (Chief Executive Officer) XL Axiata – kemudian merger dengan Smartfren menjadi XL Smart.
Seno Soemadji, memang bukan orang sembarangan di “langit persilatan” telko, menjadi direktur strategic portofolio Telkom, diangkat bareng Dian.
Sebelumnya ia menjabat sebagai EVP (executive vice president) dan Head of TechCo di Indosat Ooredoo Hutchison (IOH).
Kedua tokoh kunci di BOD (board of directors – dewan direksi) Telkom ini mantan pesaing berat Telkom.
Dian memang bukan perempuan pertama di Indonesia yang jadi pimpinan tertinggi operator telko, karena Dirut Telkomsel pertama juga perempuan, Koesmarihati, meski hanya menjabat 3 tahun (1995 – 1998).
Dian Siswarini bos operator telko yang handal, mampu membawa XL Axiata meraih keuntungan triliunan rupiah beberapa tahun terakhir. Ini membuat posisi XL Axiata sangat tinggi ketika terjadi proses merger dengan Smartfren, 78:22.
Dian juga pejuang gigih memajukan kaum perempuan, dan 30 persen dari jajaran pimpinan manajamen XL Axiata adalah perempuan.
Ia juga memajukan perempuan pemilik UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah). Dian yang membuat mereka tumbuh pesat dengan bimbingan tentang pemahaman dan penerapan digitalisari dari Sisternet dalam menjalankan bisnis UMKM.
Sementara Seno Soemadji “dilamar” Menteri BUMN sebagai pemilik PT Telkom, karena rekam jejaknya yang solid dan handal di dunia telekomunikasi nasional.
Ia punya pengalaman panjang dalam transformasi teknologi dan manajemen inovasi digital. Ia diharapkan bisa mengakselerasi inisiatif bisnis digital dan penguatan posisi pasar Telkom.
Telkom tidak hanya punya masalah kaderisasi, tetapi lebih jauh lagi, masalah pengelolaan yang dianggap kurang memadai, walau sudah bergabung di Danantara.
Performansi Telkom makin menurun, dari semula menjadi BUMN terbaik kedua setelah Pertamina, kini kalah dari Bank Mandiri, BRI, bahkan kalah dari PLN yang sekian lama selalu rugi.
Pendapatan Telkom tahun 2024 mencapai Rp 149,9 triliun, naik 0,5 persen tahun 2023 yang Rp 149,2 triliun, sebesar Rp 113,5 triliun di antaranya didapat dari Telkomsel.
Tahun 2023 pendapatan Telkomsel Rp 102,4 triliun, turun dari tahun 2022 yang Rp 113,3 triliun.
Telkomsel mendapat tambahan pendapatan dari pengelolaan IndiHome tahun 2024 lebih dari Rp 26,3 trilun dari 10,8 juta pelanggannya. Sementara jumlah pelangan Telkomsel 159,9 juta.
ARPU (average revenue per user – pendapatan rata-rata dari tiap pelanggan) Telkomsel Rp 45.000, sementara ARPU IndiHome Rp 233.000.
Telkom juga tidak punya lagi direktur consumer, karena tidak punya pelanggan setelah bisnis IndiHome-nya diserahkan ke Telkomsel 1 Juli 2023.
Sejak penyerahan IndiHome, harga saham Telkom merosot. Data menyebutkan, pada 27 April 2023, harga saham PT Telkom di angka Rp 4.300, langsung merosot menjadi Rp 2.740 pada Juli 2024, berlanjut menurun jadi Rp 2.660 pada 11 Juni 2025.
Itu sebabnya salah satu tugas BOD Telkom saat ini adalah menaikkan harga saham ke Rp 5.000.
Lepasnya IndiHome membuat Telkom seolah lumpuh dan membutuhkan darah segar dari luar untuk menguatkan manajemennya.
Padahal, menurut pendiri dan mantan direktur Telkomsel, Garuda Sugardo, Telkom punya 200-an anak dan cucu perusahaan.
Mitratel untung
Telkom menjadi anggota Danantara, sementara Telkomsel tidak karena bukan BUMN. Ada isu santer, Telkomsel akan dimasukkan ke Danantara dan menyelenggarakan IPO (initial public offering – penjualan saham perdana sebagai perusahaan publik).
Telkom sejak lama menolak ide melepaskan Telkomsel dan kini memiliki 69,9 persen saham dari semula 65 persen, sisanya 30,1 persen milik SingTel, usai integrasi IndiHome ke Telkomsel.
Operator Singapura ini dengan senang hati diturunkan jumlah sahamnya dari 35 persen, bahkan ditambah uang tunai Rp 2,71 triliun karena sadar akan kekuatan besar IndiHome. Saat integrasi, nilai IndiHome diperkirakan mencapai Rp 58,1 triliun (5,1 miliar dollar AS).
Sementara pascapenyerahan IndiHome pada 2023, Telkom fokus pada tugas sebagai penyedia jasa B2B (business to business) dan Telkomsel sebagai penyedia jasa B2C (business to consumer), layanan produk telekomuniukasi kepada pelanggan rumah tangga.
Selepas IndiHome, Telkom menjalankan strategi Five Bold Moves (lima strategi utama) untuk memaksimalkan peluang pertumbuhan dan memenuhi kebutuhan pasar.
Strategi ini dilakukan untuk membangun keunggulan kompetitif di pilar bisnis digitalnya, connectivity, digital platform dan digital services.
Sebenarnya ada anak perusahaan PT Telkom yang sudah dilepas dan melakukan IPO, PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel), pemilik dan pengelola lebih dari 39.259 menara yang disewakan, selain 39.714 km serat optic (FO – fibre optic).
Setahun setelah IPO, Mitratel meraih pendapatan Rp 9,31 triliun dan laba jumbo, Rp 2,11 triliun.
Telkomsel menjadikan Telkom sebagai “raja” di industri telekomunikasi dengan pangsa pasar Telkomsel 75 persen di industri dan laba 75,6 persen dari jumlah laba semua operator, Telkomsel, IOH dan XL Smart Telecom.