Tugas Berat Mengubah Wajah dan Mentalitas Buruk Politik
POLITIK di tangan orang-orang yang tidak berpolitik atas panggilan moral adalah kesempatan untuk mencuri, peluang untuk memperkaya diri sekaligus memperkaya sanak famili, dan sering kali peluang emas untuk berlagak tuli tanpa empati atas aspirasi dan penderitaan orang banyak. Sayangnya, itulah pemandangan politik kita hari ini.
Jika sesekali muncul pemandangan sebaliknya, biasanya berkedok pencitraan, tidak lebih.
Karena teknologi dan media sosial di tangan orang-orang semacam ini tidak lebih sebagai alat untuk bermunafik ria mencari pujian, bukan sebagai sumber kemajuan peradaban yang bermanfaat buat orang banyak.
Ruang politik yang diisi oleh orang-orang seperti ini, diakui atau tidak, adalah sumber dari keterbelakangan ekonomi bangsa, asal-muasal ketidakmajuan, dan awal perkara dari memburuknya tingkat kesejahteraan masyarakat banyak.
Pasalnya, orang-orang semacam itu akan memperlakukan politik sebagai “kapal keruk” untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya keuntungan pribadi, materil maupun nonmateril, tanpa memikirkan nasib rakyat banyak yang sebelumnya telah menitipkan mandat kepada mereka.
Apapun yang bisa mereka jual atas nama kekuasaan untuk dibarter dengan segala macam keuntungan dan keberlimpahan, akan mereka jual.
Apapun yang bisa mereka gadaikan dari kekuasaan akan mereka gadaikan, tanpa memikirkan sedikitpun bahwa kekuasaan yang mereka pegang adalah titipan dari rakyat banyak.
Bayangkan, laut saja bisa dipatok dan dikavling-kavling dengan mudahnya, apalagi hanya sebatas mempertunjukkan arogansi di balik seragam patwal yang mengawal mereka atau prestise yang dilebih-lebihkan di balik jabatan yang telah dititipkan oleh pemimpin terpilih.
Perilaku-perilaku politisi demikan yang memicu banyak sinisme dan kekesalan publik kepada dunia politik kita.
Narasi bahwa negara kita kaya, berlimpah sumber daya, berlimpah potensi, sudah tak mampu lagi membendung kemunafikan yang bersembunyi di balik watak dan mentalitas buruk elite politisi kita.
Karena kekayaan sebanyak itu ternyata hanya berguna untuk ditukar dan dibarter dengan segelintir “kenikmatan” yang juga dinikmati oleh “segelintir” elite.
Sementara rakyat cukup menonton dengan iri, sembari berharap mendapatkan makanan gratis di ujung ceritanya, tanpa mengetahui kemana kekayaan negara yang banyak tersebut berlabuh.
“Instead of politicians, let the monkeys govern the countries, at least they will steal only the bananas!”, tulis Mehmet Murat Ildan, seniman dan penulis naskah drama dari Turkiye.
Sesinis pernyataan Murat Ildan itulah kira-kira padangan publik kita kepada politisi-politisi beserta pihak-pihak yang berlindung di balik politisi-politisi besar di negeri ini hari ini, sampai-sampai perbandingannya pun sudah bukan lagi dengan politisi baik, tapi sedemikian marahnya hingga dibandingkan dengan binatang yang kualitas moral dan intelektualnya berada di bawah manusia.
Risikonya, ruang politik yang diisi oleh politisi buruk akan melahirkan pemerintahan yang buruk.
Padahal tidak semua elite politik layak dikategorikan buruk, meskipun selama ini terbukti mayoritas politisi memang buruk.
Namun ulah dari sebagian besar politisi buruk ini telah mencoreng semua sisi dan semua wajah pemerintahan yang ada.
Walhasil, “History, in general, only informs us of what bad government is”, kata Thomas Jefferson. Ulah para politisi buruk ini merusak reputasi pemerintahan sepanjang sejarah.
Hanya karena perilaku patwal staf khusus presiden saja, misalnya, mencoreng nama pemerintahan secara keseluruhan, termasuk nama Presiden Prabowo Subianto.
Tak terkecuali ucapan kasar seorang ustad kepada penjual teh, yang mungkin niatnya bercanda, justru berimbas langsung kepada reputasi Prabowo sebagai seorang presiden yang telah terlanjur melimpahinya sekelumit kuasa atas sesuatu.
Bahkan hanya karena warisan buruk satu orang, yang menyebabkan lautan bisa dipatok-patok bambu sedemikian rupa, justru mengacaukan ruang politik sejagat raya nusantara, tak hanya pemerintahan.
Mengapa demikian? Karena pengkhianatan atas kekuasaan yang telah dititipkan oleh rakyat akan melukai rasa keadilan seluruh rakyat yang telah menitipkan kekuasaan tersebut.
Pasalnya, sebagaimana dikatakan Patricia Cornwell, “I believe the root of all evil is abuse of power”.
Awal mula dari perpolitikan yang buruk dan pemerintahan yang buruk adalah penyalahgunaan kekuasaan (misuses of power). Dan itulah makna korupsi yang sebenarnya.
Karena di satu sisi, akan sangat sulit memang untuk membuktikan bahwa seorang penguasa sudah menggarong uang rakyat, karena penguasa rata-rata bukanlah orang bodoh yang akan mencuri di tengah lampu sorot, sehingga dengan mudah bisa diteriaki “maling”.
Di sisi lain, akan terasa dengan mudah di saat kekuasaan yang dipegang oleh penguasa dan jabatan turunannya sudah disalahgunakan.
Karena di lapangan terlihat dengan jelas bahwa hutan lindung bisa berubah menjadi hutan produksi, tanah adat bisa berubah menjadi lahan konsesi, bahkan laut pun bisa dipatok dan dikavling dengan mudah, apalagi hanya sekadar jual beli jabatan atau transaksi materil atas bangku pendidikan kedinasan, misalnya.
Atau pertanda faktual lainnya, misalnya, di mana rakyat kecil harus menjual tanah dan aset-asetnya hanya untuk membiayai anaknya agar bisa diterima sebagai aparat negara atau pegawai negeri sipil, yang jumlahnya tidak sedikit, bisa ratusan juta untuk satu anak.
Sistem yang sudah buruk dan kotor memang sulit untuk dibenahi. Harus dimulai dari kepemimpinan atau pucuk pimpinan tertinggi. Jika tidak demikian, maka sistem yang buruk akan terus memburuk.
Bahkan seorang tokoh agama pun, jika mendekat ke arena politik yang sedari awal sudah buruk tersebut, akan berubah menjadi tokoh agama yang bermental pejabat.
Arogansinya bisa mendadak bertambah 300 persen, hanya karena merasa telah “ketempelan” kekuasaan yang sebenarnya tak pernah dititipkan oleh rakyat kepadanya, hanya diturunkan dari kekuasaan yang dititipkan rakyat kepada salah satu pejabat terpilih.
Apalagi selebritas yang sebelumnya memang telah bergelimang ketenaran dan harta. Mendekat ke arena politik sudah bukan untuk memanusiawikan wajahnya lagi, tapi justru untuk melipatgandakan keduanya, baik ketenaran maupun kekayaannya.
Hal itu bisa terjadi karena arena politik yang sudah terlanjur kotor akibat terlalu lama dihuni oleh politisi-politisi buruk dan bermental korup.
Sehingga siapapun yang mendekat, akan tertular mentalitas yang sama, mulai dari mentalitas arogan, tak tahu diri, tak tahu malu, dan korup.
Arena politik seperti ini mengubah orang baik menjadi buruk, menyebabkan orang baik lainnya menjadi enggan untuk berdekatan dengan dunia politik.
Dan potensi arena politik yang buruk ini untuk “menjebloskan” Prabowo Subianto ke dalam jurang yang tak baik sangatlah besar.
Secara pribadi, tentu kita semua boleh saja bersepakat bahwa Prabowo Subianto adalah orang baik sekaligus orang terpilih yang mentalnya telah teruji nyaris di segala medan dan situasi.
Bukankah pada awalnya hampir semua orang Indonesia juga memegang asumsi yang sama terhadap Jokowi?
Hanya saja ada pengecualian. Berada pada posisi seorang presiden adalah situasi baru bagi Prabowo. Mentalitas baja dan moralitas yang tinggi dari seorang Prabowo, mau tak mau, harus berhadapan dengan arena yang sudah terlanjur buruk ini.
Toh keluhan Prabowo pada berbagai macam situasi buruk di dalam dunia politik kita sudah tak terhitung kalinya.
Dalam pidatonya di sana sini, Prabowo boleh saja menggugat segala macam ketidakberesan yang ada di dunia politik kita, tapi dalam praktiknya sampai hari ini ketika beliau sudah menjadi presiden, pidato tersebut masih sebatas berbentuk pidato.
Bahkan tidak menutup kemungkinan, ada kesengajaan dari oknum-oknum tertentu di dalam lingkaran kekuasaan untuk terus memberikan panggung kepada Prabowo Subianto berpidato, sampai Prabowo pun berpotensi untuk terlena, bahkan kecanduan, dengan panggung-panggung yang telah diberikan, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Sehingga ujungnya secara perlahan Prabowo berpotensi tercerabut dari fakta-fakta yang ada dan ‘termabukkan’ oleh mentalitas asal bapak senang dari pada jajarannya.
Artinya, Prabowo boleh saja berpidato lantang bahwa makan siang gratis adalah program boombastis nasional yang akan membantu banyak anak Indonesia keluar dari ancaman stunting, sebagian besar publik pun mungkin setuju.
Namun Prabowo juga tak boleh terlena dengan narasi tersebut. Di balik program boombastis tersebut, terselubung peluang-peluang moral hazard di semua level, mulai dari pengadaan ikan sampai pengadaan nampan, mulai dari desa sampai ke sisi-sisi istana, dan mulai dari pejabat terjauh sampai kepada pejabat terdekat kepala negara, potensi penyalahgunaan kekuasaan sedang menyebar seluas sebaran kebijakan tersebut.
Mengapa? Karena apalagi yang bisa ditawarkan oleh arena ekonomi politiknya yang memang sedari dulu sudah buruk dan selalu dihinggapi oleh politisi-politisi buruk bermental tak patriotis, jika bukan peluang-peluang penyalahgunaan kuasa dan wewenang.
Ditambah lagi dengan kemenangan Prabowo pada pemilihan presiden tempo hari, tak sepenuhnya didukung oleh pihak-pihak yang memang menginginkan Prabowo menang atas nama program dan rencana kebijakan yang ditawarkan oleh Prabowo sedari pertama kali menginjakkan kaki di dalam arena politik nasional.
Namun juga didukung oleh para pihak yang ingin mencari selamat atas berakhirnya sebuah pemerintahan yang telah digantikan oleh Prabowo hari ini.
Para pihak ini kemudian menjadi “political liabilities” bagi Prabowo, yang membuatnya terlihat agak gagap saat berhadapan dengan isu-isu tertentu.
Meluruskan keterkaitan ekonomi politik dengan para pihak yang berusaha mencari selamat di bawah pemerintahan baru dengan menanam jasa terlebih dahulu di dalam proses kemenangan Prabowo akan menjadi perkara sulit bagi pemerintahan Prabowo ke depan.
Berlatar kepribadian yang penuh dengan empati, Prabowo tidak saja berpotensi berempati kepada anak-anak bangsa dan kelompok masyarakat yang menderita secara ekonomi sejak lama, tapi juga kepada para pihak yang telah menabur jasa atas kemenangannya tempo hari.
Ibarat orang baik, potensi Prabowo untuk dimanfaatkan dan dimanipulasi sangatlah besar, bahkan dimanipulasi dari rencana-rencana kebijakan yang sebenarnya baik.
Apalagi parlemen kita sudah tak bertenaga lagi untuk memberikan kontrol signifikan kepada pemerintahan, karena nyaris semua kekuatan politik yang ada di dalam parlemen terserap ke dalam koalisi pendukung penguasa, formal ataupun tidak formal.
Hal ini semakin memperbesar peluang penyalahgunaan kuasa dan wewenang terjadi di dalam pemerintahan, termasuk pada kedua institusi tinggi negara tersebut, pemerintah dan parlemen, yang sejatinya harus berinteraksi secara kritis ini. Pun pada konteks ini pula sebenarnya oposisi sangat diperlukan.
Oleh karena itu, membersihkan arena politik kita dari politisi-politisi dan aparat-aparat yang bermentalitas buruk serta korup harus pula menjadi agenda utama Presiden Prabowo Subianto, bahkan paling utama, selain mengupayakan untuk mendapatkan anggaran untuk membiayai program-program andalannya.
Jika itu tidak dilakukan, maka Prabowo akan berpotensi menjadi sumber kesejahteraan dan keberlimpahan bagi pihak-pihak yang salah setelah berjuang setengah mati untuk mendapatkan anggaran.
Untuk itu, jalan terbaik bagi Prabowo adalah memantau sejeli mungkin arena politik dan pemerintahan.
Barang siapa yang terindikasi bermain-main dengan kekuasaan, harus segera dikeluarkan dari arena atau diproses secara hukum jika terbukti bersalah, tidak perlu berbelit-belit membela mereka dengan berbagai macam skenario halus, karena itu berpotensi membuat Prabowo berbalik terbawa arus.
Jika itu bisa dilakukan, maka pelan-pelan wajah buruk dan mentalitas jahat perpolitikan kita akan segera bisa dibenahi secara bertahap.
Tag: #tugas #berat #mengubah #wajah #mentalitas #buruk #politik