Hak Leniensi Kejaksaan Dikritisi, Fenomena “No Viral No Justice” Jadi Sorotan
Edwin Partogi Pasaribu. (Humas LPSK)
11:24
25 Januari 2025

Hak Leniensi Kejaksaan Dikritisi, Fenomena “No Viral No Justice” Jadi Sorotan

- Hak leniensi dalam Undang-Undang No. 11/2021 tentang Kejaksaan kembali mendapat sorotan dari masyarakat sipil. Hak yang memungkinkan kejaksaan untuk memberikan tuntutan ringan terhadap pelaku pidana ini dinilai rentan terhadap penyalahgunaan jika tidak memiliki batasan yang jelas.

Mantan Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu, menekankan pentingnya kejelasan parameter dalam penerapan hak leniensi kejaksaan. “Limitasinya perlu diperjelas karena menjadi rentan penyelewengan,” ujar Edwin dalam acara Dialog Publik: UU Kejaksaan antara Kewenangan dan Keadilan Masyarakat di Hotel Horison, Kamis (23/1).

Edwin menyoroti kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari sebagai contoh lemahnya komitmen dalam memberantas korupsi. Dalam kasus tersebut, Jaksa Pinangki hanya dituntut empat tahun penjara dan denda Rp 500 juta, meskipun terlibat dalam pertemuan dengan buronan kasus perbankan, Djoko Tjandra.

"Sulit dielakkan bahwa pertemuan itu ada restu pimpinan, setidaknya atas sepengetahuan mereka," tambahnya.

Fenomena “no viral no justice” juga menjadi perhatian. Edwin menyebutkan kasus Valencia alias Nensyl yang awalnya dituntut satu tahun penjara karena memarahi suaminya yang mabuk.

Setelah kasus ini viral, tuntutannya berubah menjadi bebas. Contoh lain adalah kasus pemelihara landak di Bali, yang baru mendapat perhatian setelah menjadi viral.

Dalam forum yang sama, pakar hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar, juga mengkritisi penerapan hak leniensi yang tidak memiliki parameter jelas.

“Pada dasarnya seorang jaksa bisa menggunakan hati nurani, tetapi jika parameternya tidak jelas, ini berpotensi untuk disalahgunakan,” tegas Zainal, yang akrab dipanggil Uceng.

Zainal menyoroti disparitas pertimbangan hukum dalam kasus Pinangki. “Bagaimana bisa alasan seperti status ibu dengan anak kecil menjadi pertimbangan hukuman ringan? Di kasus lain, pertimbangannya justru berbeda jauh,” tambahnya.

Ia menekankan bahwa parameter yang jelas diperlukan agar tidak muncul dugaan perlakuan istimewa. “Jangan sampai ada anggapan bahwa karena ini sesama jaksa, pertimbangannya dibuat sedemikian rupa hingga terlihat memihak,” jelas Zainal.

Para peserta diskusi sepakat bahwa hak leniensi membutuhkan batasan yang tegas untuk memastikan penerapannya adil dan tidak menjadi celah penyalahgunaan. Dengan kejelasan parameter, masyarakat dapat percaya bahwa hukum diterapkan secara merata tanpa memandang status atau posisi pelaku.

Editor: Dhimas Ginanjar

Tag:  #leniensi #kejaksaan #dikritisi #fenomena #viral #justice #jadi #sorotan

KOMENTAR