Amnesty Internastional Kritik 100 Hari Kerja Prabowo-Gibran Kondisi HAM Masih Memprihatinkan
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid . (Haritsah/Jawa Pos)
19:08
24 Januari 2025

Amnesty Internastional Kritik 100 Hari Kerja Prabowo-Gibran Kondisi HAM Masih Memprihatinkan

        - Kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) pada 100 hari pertama Pemerintahan Prabowo-Gibran cenderung mengkhawatirkan. Sebab, tidak mengalami kemajuan berarti dan melanjutkan kemunduran sebelumnya.   Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menjelaskan, salah satu bentuk pelanggaran HAM yang dominan terlihat pada pemerintahan baru adalah kekerasan dan pembunuhan di luar hukum oleh aparat. Menurutnya, tren ini merupakan kelanjutan dari kasus-kasus yang terjadi pada 2024, saat kekerasan aparat dan impunitasnya mencapai level endemik di institusi seperti Polri dan TNI.    Berdasarkan catatan Amnesty International Indonesia, dari 21 Oktober hingga 30 Desember 2024, terdapat setidaknya 17 kasus pembunuhan di luar hukum oleh aparat Polri maupun TNI dengan jumlah korban 17 orang warga sipil.    “Munculnya kasus-kasus pembunuhan di luar hukum menunjukkan pemerintahan baru tidak memiliki niat yang serius untuk memutus rantai kekerasan aparat dan enggan untuk memutus mata rantai impunitas di tubuh kepolisian dan TNI,” kata Usman dalam keterangannya, Jumat (24/1).   Usman menyebut, data ini termasuk sekelompok personel TNI AD yang menyerang warga pada sebuah desa di Deli Serdang, Sumatra Utara, yang menewaskan seorang warga sipil dan melukai beberapa orang lainnya pada November lalu.    Di bulan yang sama, di Kota Semarang, Jawa Tengah, lanjut Usman, seorang polisi menembak pelajar hingga tewas dan dua temannya luka-luka. Kepolisian di Semarang pun sempat membuat narasi palsu bahwa korban adalah anggota geng tawuran.       Pembunuhan di luar hukum oleh aparat terus terjadi pada 2025. Bahkan, pada awal Januari lalu, seorang pengusaha rental mobil di Tol Tangerang-Merak ditembak mati oleh anggota TNI. Sebanyak tiga anggota TNI diduga terlibat dalam kasus pembunuhan tersebut.      “Tahun 2025 diawali kombinasi mematikan kelalaian polisi melindungi warga dari aksi penyalahgunaan senjata api oleh aparat TNI yang berujung pembunuhan di luar hukum. Itu hanya satu dari rangkaian pembunuhan di luar hukum yang terjadi tiap tahun. Ini menegaskan awal buruk penegakan HAM bagi pemerintahan baru,” ungkap Usman.    Insiden-insiden ini menimbulkan ketakutan dan trauma mendalam di kalangan warga. Apalagi tanpa transparansi dan akuntabilitas yang memadai dari mekanisme hukum.     “Pelaku harus diadili melalui proses hukum yang obyektif dan memenuhi rasa keadilan lewat mekanisme peradilan umum,” cetus Usman.   Usman juga menyesalkan, institusi Polri dan TNI selalu memakai istilah oknum jika anggotanya terlibat kasus-kasus pidana atau pelanggaran HAM. Ia menyebut, istilah oknum cenderung dipakai untuk menghindari tanggung jawab institusi.    Seharusnya, institusi memiliki tanggung jawab atas segala tindakan yang dilakukan oleh anggotanya di lapangan, terlebih jika mereka menggunakan senjata api untuk melakukan tindak pidana pembunuhan atau pelanggaran HAM lainnya.    Parahnya, dalam kasus penembakan bos rental, TNI terkesan membela anggotanya yang jelas melanggar HAM dengan mengatakan anggotanya terpaksa membela diri dengan menembak karena dikeroyok tanpa didukung bukti. Rekonstruksi perkara oleh kepolisian tidak menemukan ada pengeroyokan sebelum penembakan.    “Jelas penembakan tersebut di luar tugas kedinasan anggota TNI AL. Upaya membela anggota yang terlibat adalah pelanggengan impunitas yang mengakar di institusi TNI. Pimpinan TNI juga menolak seruan agar anggotanya diadili di peradilan umum meski terlibat tindak pidana umum. Ini memperkuat budaya impunitas di TNI,” urai Usman.   Tak hanya itu, kata Usman, Pemerintah Prabowo-Gibran juga masih melakukan kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi. Mirip periode pemerintahan Jokowi, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dipakai untuk kriminalisasi suara kritis.    Usman juga menyinggung program pemerintah Makan Bergizi Gratis (MBG) yang bermasalah, justru diatasi dengan mengekang kebebasan berekspresi untuk memastikan orang-orang yang mengkritisi program tersebut mendapatkan efek jera.    Ia menyebut, petugas di Lombok Timur merampas kamera milik jurnalis TV yang hendak meliput di Unit Dapur MBG Desa Rumbuk pada 15 Januari 2025 dan menghapus video liputan. Peristiwa serupa juga terjadi terhadap jurnalis media daring dilarang meliput kegiatan MBG di Sekolah Menengah Pertama di Kota Ternate, Maluku Utara, 7 Januari lalu.  

  Bahkan, seorang pelajar di Kota Bogor juga dipanggil sekolah dan terpaksa membuat video permintaan maaf, karena merekam porsi MBG milik temannya yang baginya tidak layak dan telah viral di media sosial.    Lebih parahnya lagi, pelanggaran-pelanggaran ini senada dengan komentar-komentar pejabat pemerintah maupun pendengung yang menghardik suara kritis yang menyoroti masalah yang ada di program MBG. Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan, misalnya, melabeli pihak-pihak yang mengkritik MBG 'sok tahu' dan berkata bahwa ketika menjadi pejabat mereka berpotensi 'menjadi maling juga'.   Usman menyesalkan pendengung pro pemerintah yang berkomentar sinis menanggapi keluhan murid sekolah lewat video bahwa menu ayam MBG yang dia terima kurang enak, dengan melontarkan kekerasan verbal kepada siswa yang kritis, yang berpotensi menimbulkan kekerasan psikis terhadap anak. Hal ini jelas melanggar UU Perlindungan Anak Tahun 2014 yang menjamin anak untuk menggunakan haknya dalam menyampaikan pendapat.    “Komentar-komentar pejabat publik semacam inilah yang membuat petugas-petugas di lapangan merasa mendapatkan angin segar untuk membungkam kebebasan berekspresi karena menganggap perilaku mereka diwajarkan, bahkan oleh pejabat tinggi,” pungkas Usman.   

Editor: Kuswandi

Tag:  #amnesty #internastional #kritik #hari #kerja #prabowo #gibran #kondisi #masih #memprihatinkan

KOMENTAR