Residivisme Teroris dan Ancaman Kombatan Pulang
DALAM dua tahun terakhir, Indonesia berhasil menekan laju tindak pidana terorisme hingga tidak terjadi serangan teroris sama sekali (zero terrorist attack). Hal ini tercermin dalam Global Terrorism Index Indonesia 2024 yang mencatat peningkatan signifikan.
Posisi Indonesia naik dari peringkat ke-24 pada 2022 dan 2023 (kategori dampak sedang terhadap terorisme) menjadi peringkat ke-31 pada 2024 (kategori dampak rendah terhadap terorisme).
Namun, data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada tahun yang sama mengungkap dinamika lain di bawah permukaan.
Peningkatan konsolidasi sel-sel teror dan proses radikalisasi pada kelompok generasi muda—termasuk perempuan, anak, dan remaja—menjadi perhatian serius.
Tren ini juga disertai perubahan pola serangan dari pendekatan keras (hard approach) menuju pendekatan lunak (soft approach) dalam aksi terorisme.
Perkembangan sel-sel teror bukan hanya menjadi tantangan domestik, tetapi juga fenomena global yang telah dirancang jauh sebelum era kepemimpinan Osama bin Laden di Al-Qaidah.
Dalam buku penulis yang berjudul "Api Pemikiran Abdullah Azzam" (2024), ditegaskan bahwa Abdullah Azzam, salah satu ideolog utama kelompok tersebut, memperkenalkan konsep "jihad fardiyah" (jihad individu).
Konsep ini berevolusi melalui pemikiran Abu Mus'ab al-Suri menjadi tiga pilar utama: desentralisasi (al-lâ markaziyyah), jihad tanpa pimpinan (al-jihâd bilâ qiyâdah), dan operasi sel kecil (‘amaliyât al-khalâyâ al-saghîrah).
Ketiga konsep ini kini menjadi strategi utama berbagai kelompok teror, baik di tingkat nasional maupun global.
Fenomena terkini menunjukkan bahwa konsep desentralisasi telah dipraktikkan secara nyata oleh kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS) di Suriah.
Di Indonesia, selain tiga konsep utama yang berkembang, juga diadopsi strategi operasi mandiri (‘amaliyyah mustaqillah), yang merupakan warisan taktik Al-Qaidah dan semakin relevan, terutama setelah dipraktikkan dalam lingkup internal ISIS atau JAD.
Penerapan konsep-konsep ini oleh berbagai faksi teror mempertegas kebutuhan mendesak akan sistem penanggulangan terorisme yang lebih matang, terintegrasi, dan adaptif, guna menghadapi ancaman yang terus berkembang dan semakin sulit diprediksi.
Residivisme Teroris
Meski Indonesia berhasil menekan angka serangan teroris hingga mencapai "zero terrorist attack", ancaman nyata pertama yang masih membayangi adalah residivisme teroris (al-‘awdu ilâ al-ijrâm).
Salah satu tantangan utama adalah keberadaan eks-narapidana teroris (napiter) bebas murni, yaitu individu yang telah menyelesaikan masa hukumannya tanpa kewajiban menandatangani ikrar kesetiaan kepada NKRI. Pada 2023, tercatat sekitar 180 eks-napiter dalam kategori ini.
Fenomena ini tak lepas dari doktrin dalam dunia terorisme yang mengajarkan “perjuangan terus menerus” (al-jihâd al-mustamir), yang menanamkan keyakinan bahwa perlawanan harus berlangsung tanpa henti, bahkan setelah mereka bebas.
Keberadaan mereka tentu menjadi kekhawatiran serius, mengingat sebagian besar masih memegang teguh ideologi ekstrem yang sebelumnya mendorong mereka terlibat dalam tindak pidana terorisme.
Meskipun strategi desentralisasi dan operasi mandiri terus berkembang secara global, ancaman lokal seperti residivisme tetap menjadi titik rawan dalam menjaga stabilitas keamanan nasional.
Kasus kelompok Abu Omar menggambarkan dengan jelas potensi bahaya dari eks-napiter bebas murni.
Sejak Oktober 2023, pihak keamanan menangkap 51 anggota kelompok ini, dengan 15 orang di antaranya adalah residivis terorisme, dan 13 orang di antaranya merupakan eks-napiter bebas murni yang tidak terikat oleh ikrar kesetiaan kepada NKRI.
Abu Omar, pemimpin kelompok ini, adalah residivis yang dibebaskan pada 2019 setelah menjalani hukuman 10 tahun penjara.
Pascabebas, ia aktif mengadakan kajian keagamaan sebagai medium untuk menyebarkan kembali ideologi ekstrem.
Aktivitas ini mencerminkan bagaimana celah dalam sistem rehabilitasi dan reintegrasi eks-napiter dapat dimanfaatkan untuk memperbaharui konsolidasi kelompok teror.
Kombatan dan repatriasi
Ancaman nyata kedua yang perlu diwaspadai adalah kembalinya para kombatan terorisme ke Indonesia dari Suriah.
Seperti halnya residivisme, kedatangan para kombatan ini menjadi tantangan besar bagi negara. Mereka tidak hanya membawa pengalaman tempur di medan jihad, tetapi juga ideologi ekstrem yang telah dipertajam melalui pelatihan dan pertempuran.
Kehadiran mereka berpotensi memperburuk ancaman terorisme domestik.
Para kombatan ini juga berisiko menghidupkan kembali sel-sel teror yang telah ada, atau bahkan membentuk kelompok baru yang lebih sulit terdeteksi.
Ditambah lagi dengan ideologi ekstrem yang sudah tertanam kuat dalam diri mereka, yang sejalan dengan doktrin “perjuangan terus menerus” (al-jihâd al-mustamir), sama seperti yang diterapkan oleh para residivis.
Penting untuk dipahami bahwa urgensitas Indonesia dalam memulangkan kombatan dari Suriah belum berada di tahap yang mendesak.
Mengapa demikian? Pertama, gejolak yang terjadi di Suriah, khususnya sejak wilayah tersebut dikuasai oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS), menyisakan beragam persoalan geopolitik.
Termasuk belum adanya sikap politik Indonesia untuk bergabung dalam dinamika tersebut, sebagaimana Indonesia juga absen memberikan dukungan terhadap Afghanistan pascapengambilalihan oleh Taliban.
Individu-individu yang direncanakan untuk dipulangkan memiliki keterkaitan erat dengan kelompok Hay'at Tahrir al-Sham (HTS), yang hingga kini masih terdaftar dalam United Nations Sanctions List.
Sebelumnya, mereka merupakan bagian dari program Sasana Jamaah Islamiyah (JI), dan setelah berpindah ke Idlib, mereka bergabung dengan HTS. Hingga saat ini, mereka tidak tinggal di kamp pengungsian di Suriah.
Kedua, kerangka hukum terkait pemulangan ini harus diperjelas lebih lanjut. Perlu dicatat bahwa pada 2021, UN Human Rights Office of The High Commissioner mengirimkan surat kepada 57 negara, menekankan bahwa pekerjaan rumah yang harus diselesaikan adalah repatriasi terhadap perempuan dan anak-anak, khususnya mereka yang berada di kamp-kamp pengungsian.
Ini juga diperkuat dengan adanya Risalah Arahan Presiden yang dikeluarkan pada 8 Juli 2024, yang menekankan kebijakan repatriasi terhadap perempuan dan anak-anak.
Pemulangan ini harus dilengkapi dengan penjaminan di dalam negeri dan menjaga prioritas pada keamanan domestik.
Melihat tingkat urgensinya, WNI yang tergolong kombatan belum sepenuhnya berada dalam kerangka hukum yang diatur oleh Risalah Arahan 2024, yang hingga kini belum memiliki pengganti resmi.
Selain itu, petunjuk hukum yang digunakan masih mengacu pada risalah tersebut. Meskipun nantinya, ada keinginan untuk menjadikan mereka sebagai proyek percontohan terkait Foreign Terrorist Fighters (FTF), mekanisme pemulangan ini sebaiknya disusun dengan lebih matang agar tidak terkesan tergesa-gesa.
Saat ini, prioritas yang diperlukan mencakup WNI yang tidak terasosiasi dengan FTF, seperti pekerja migran, pelajar, dan mahasiswa, serta WNI yang terasosiasi dengan FTF, namun dinilai memungkinkan untuk dipulangkan sesuai Risalah Arahan 2024.
Jika pun pemulangan kombatan hendak dilakukan, mereka yang dipilih harus melalui proses asesmen yang cermat untuk memastikan langkah tersebut tepat dan aman.
Selain itu, pemerintah perlu menyiapkan strategi reintegrasi sosial yang komprehensif, termasuk rehabilitasi psikologis dan pengawasan ketat pasca-pemulangan, guna meminimalkan risiko terjadinya penyebaran ideologi ekstrem yang dapat mengancam stabilitas nasional.
Indonesia harus mengacu pada Asta Cita yang mengedepankan keamanan negara sebagai prioritas utama, daripada tergesa-gesa dalam menyelesaikan pekerjaan rumah yang ada, tapi berisiko kehilangan kontrol jangka panjang.
Keamanan domestik harus tetap menjadi pertimbangan utama dalam setiap kebijakan, terutama berkaitan dengan kombatan, agar langkah-langkah yang diambil tidak justru membuka celah bagi ancaman yang lebih besar di masa depan.
Pendekatan yang hati-hati dan terukur akan memastikan bahwa keputusan-keputusan yang diambil tidak hanya menyelesaikan masalah sementara, tetapi juga menciptakan solusi yang berkelanjutan bagi stabilitas nasional.