Kepemimpinan Politik Kabinet Merah Putih: Tantangan Teknokrasi Vs Ancaman Kakistokrasi
Suasana Sidang Kabinet Paripurna (SKP) yang dipimpin Presiden Republik Indonesia (RI) Prabowo Subianto, di Istana Negara, Jakarta Pusat, Rabu (6/11/2024)(DOK. Kemenpan-RB)
16:48
22 Januari 2025

Kepemimpinan Politik Kabinet Merah Putih: Tantangan Teknokrasi Vs Ancaman Kakistokrasi

DALAM pembentukan pemerintahan baru, selalu muncul perdebatan-perdebatan tentang pentingnya mengisi posisi menteri dengan sosok-sosok yang berkompeten.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ketika salah satu kandidat memenangi kontestasi pemilihan umum (Pemilu), kandidat perlu menjaga stabilitas politik. Alhasil, ada upaya untuk mengakomodasi pihak-pihak yang telah membantu kandidat tersebut.

Sikap tersebut lazim dalam dunia politik, tidak hanya di Indonesia. Terlepas dari pro dan kontranya, pertanyaannya adalah apakah sosok yang dipilih memiliki rekam jejak yang baik?

Ada kekhawatiran bahwa kabinet yang dibentuk untuk mengakomodasi berbagai pihak, justru memunculkan potensi kakistokrasi.

Kakistokrasi dan dampaknya terhadap Pemerintahan

Kakistokrasi merupakan istilah lama, namun baru muncul kembali akhir-akhir ini. Istilah ini muncul pada abad ke-17.

Menyadur ilmuwan politik, Norman Ornstein dalam tulisannya di The Atlantic, kata tersebut berasal dari Yunani, yang artinya pemerintahan oleh orang-orang yang paling buruk dan paling tidak bermoral.

Dalam bahasa pemerintah, kakistokrasi berarti pemerintahan yang paling korup dan tidak kompeten.

Abadijan (2010), dalam risetnya tentang era pasca-Soviet, mendefinisikan kakistokrasi sebagai penggabungan antara struktur negara dengan elemen oligarki sebagai akibat dari penjarahan sistematis aset negara dalam slogan-slogan demokrasi dan ekonomi pasar.

John Martineau, dalam publikasi berjudul Letters from Australia yang terbit pada 1869, mendokumentasikan buruknya kualitas pelayanan publik di Australia. Dia pun juga menggambarkan politisi di Australia egois dan perdebatan politik yang kasar.

Dengan demikian, kakistokrasi bisa diartikan sebagai pemerintahan yang dikuasai oleh orang yang tidak berkompeten.

Orang yang tidak berkompeten tersebut menjadi bagian dari oligarki pemerintah. Kakistokrasi membuat lembaga negara menjadi eksklusif untuk kepentingan golongan tertentu.

Kakistokrasi muncul tidak dalam ruang hampa. Kondisi ekonomi yang kurang baik menjadi peluang bagi munculnya figur yang populis.

Figur yang populis “mengaku” mengatasnamakan rakyat dan menantang status quo. Mereka popular dihadapan pemilihnya yang mendambakan perubahan. Sayangnya, kepopuleran tersebut membuat figur populis dapat melakukan apapun atas nama perubahan.

Donald Trump, presiden Amerika Serikat (AS) merupakan perwujudan nyatanya. Semenjak dia terpilih kembali, istilah kakistokrasi menjadi sering digunakan, hingga akhirnya menjadi word of the year 2024 versi The Economist. Banyak anggapan bahwa kabinet pemerintahan Trump tidak kompeten.

Misalnya, penunjukkan Kristi Noem sebagai Sekretaris Keamanan Dalam Negeri. Kristi Noem memiliki reputasi yang dipertanyakan, bahkan dia dilarang masuk lebih dari 16 persen negaranya sendiri setelah ia menyarankan para pemimpin suku Indian Amerika melayani kartel narkoba.

Pemerintahan yang kakistokrasi memiliki konsekuensi yang besar dalam banyak hal. Misalnya adalah kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, maraknya korupsi, inefisiensi dalam pemerintahan, serta ketidakadilan dalam implementasi kebijakan hukum dan ekonomi.

Kebijakan publik pun hanya dibuat untuk menguntungkan sebagian kecil masyarakat.

Kabinet Zaken solusi mengatasi Kakistokrasi

Pada akhirnya, pemerintahan yang baik harus diisi oleh orang-orang yang memang ahli di bidangnya.

Rakyat menginginkan kebijakan yang berdampak baik bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kebijakan yang baik dapat dibuat apabila posisi kementerian diemban oleh orang yang tepat. Oleh karena itulah kabinet Zaken muncul sebagai solusi.

Sudah banyak yang membahas kabinet Zaken ini. Sederhananya, kabinet Zaken adalah pemerintahan yang terdiri dari para ahli yang profesional, bukan politisi.

Menteri di kabinetnya dipilih berdasarkan kemampuan dan pengalaman. Hal ini memungkinkan kabinet untuk fokus pada pemecahan masalah-masalah, serta mengurangi pengaruh politik.

Di dalam tulisan Handi Risza di Kompas.id, ada tiga contoh kabinet Zaken yang telah terbentuk, yaitu Kabinet Djuanda (9 April 1957-10 Juli 1959), Kabinet Natsir (6 September 1950-21 Maret 1951) dan Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953).

Salah satu keunggulan utama dari kabinet Zaken adalah kemampuannya untuk mengambil keputusan yang lebih cepat dan efisien.

Dalam situasi krisis, seperti bencana alam atau pandemi, keputusan yang tepat waktu sangat penting untuk meminimalkan dampak negatif.

Pandemi COVID-19 bisa menjadi tolok ukur dari dampak kabinet Zaken. Taiwan menjadi negara yang sangat efektif menangani pandemi COVID-19. Mereka belajar dari krisis SARS 2003, sehingga pemerintahnya cepat tanggap ketika pandemi COVID-19 melanda dunia.

Sepanjang 16 bulan pertama, Taiwan menjadi negara yang kasusnya paling sedikit, yaitu 1.057 kasus terkonfirmasi dan 11 orang meninggal.

Singapura menjadi negara yang patut kita pelajari lebih lanjut. Pada saat memimpin Singapura, Lee Kuan Yew telah mendidik calon-calon penerus tampuk kepemimpinan Singapura.

Menurut Mauzy (1993), upaya tersebut telah dilakukan sejak tahun 1960-an. Kemudian, meninggalnya Menteri Keuangan Singapura Hon Sui Sen pada tahun 1983 menjadi pemicu untuk segera mempercepat penempaan generasi penerus.

Dalam beberapa kesempatan, kementerian di Indonesia diisi oleh orang-orang yang berpengalaman di bidangnya.

Misalnya, Retno Marsudi yang 10 tahun menjadi Menteri Luar Negeri. Rekam jejaknya juga sangat baik. Berkat keahliannya, Indonesia mampu meraih banyak pencapaian, di antaranya menjadi ketua G20.

Kabinet Zaken memang krusial untuk menghadapi beragam tantangan-tantangan yang semakin kompleks.

Menurut surveyi dari LSI Denny JA 2024, sebanyak 65 persen masyarakat semakin sulit mendapat pekerjaan dan 64 persen mengatakan bahwa bahan pokok semakin sulit didapatkan.

Pada level global, menurut Global Risk Report 2025, ada empat risiko politik global, yaitu konflik antar negara (23 persen), cuaca ekstrem (14 persen), konfrontasi geoekonomi (8 persen), serta misinformasi dan disinformasi (7 persen).

Dalam 10 tahun kedepan, dunia akan menghadapi empat masalah yang terkait lingkungan, yaitu cuaca ekstrem, hilangnya keanekaragaman hayati dan hancurnya ekosistem, perubahan kritis pada sistem Bumi, dan kekurangan sumber daya.

Mengingat dunia kita semakin tidak pasti dan penuh dengan tantangan, kita membutuhkan semakin banyak orang yang ahli untuk berada di posisi yang tepat. Alhasil, kebijakan-kebijakan publik yang dihasilkan tepat sasaran.

Tantangan dan peluang wujudkan Kabinet Zaken

Namun, mewujudkan Kabinet Zaken tidaklah mudah. Iklim politik saat ini masih belum mendukung sepenuhnya pembentukan Kabinet Zaken.

Banyaknya koalisi politik dalam satu kandidat menjadi pedang bermata dua ketika dihadapkan pada realita dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan. Ada stabilitas politik yang harus dijaga agar tidak menghambat dalam memajukan negara.

Kedua adalah kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya kabinet berbasis kompetensi. Masih banyak yang menyamakan popularitas sama dengan kepakaran.

Di satu sisi, jika popularitasnya sebanding dengan kepakarannya, hal itu akan sangat membantu kabinet. Namun, apabila kita hanya melihat popularitas dan penampilan, kita membuka pintu untuk kabinet yang kakistokrasi.

Namun, di tengah tantangan tersebut, terdapat peluang yang dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan kabinet zaken di Indonesia.

Menurut studi global Ipsos yang berjudul Global Trustworthiness Index 2024, ilmuwan menjadi salah satu profesi yang paling dipercaya, yakni 70 persen.

Angka tersebut menunjukkan tren positif bahwa masyarakat Indonesia mempercayai profesi ilmuwan. Ini bisa mendorong terwujudnya kabinet Zaken karena premis kabinet ini adalah meletakkan kepercayaan kepada orang yang ahli dan kompeten. Penempatan ahli di posisi strategis dapat menciptakan kebijakan yang inovatif.

Potensi lain adalah keberadaan media digital. Media digital ampuh sebagai media untuk mengkritisi kebijakan yang kurang tepat.

Masyarakat bisa merespons secara real-time di akun media sosial pemerintah, sehingga bisa memberi masukan konstruktif kepada pihak kementerian terkait.

Terlebih, menurut survei Jakpat 2024, sebanyak 89 persen masyarakat Indonesia mendapatkan informasi dari media sosial. Fakta ini membuat masyarakat bisa terlibat aktif dalam proses pengawasan dan memberikan masukan terhadap kebijakan publik.

Peluang dan tantangan memang akan bermunculan ketika membicarakan Kabinet Zaken. Namun, penulis berkeyakinan bahwa Indonesia di masa depan perlu memiliki kabinet yang semua menteri dan jajarannya adalah orang yang berkompeten, berpendidikan, dan profesional.

Oleh karena itu, ada lima hal yang bisa menjadi masukkan bagi Indonesia.

Pertama, reformasi sistem rekrutmen pemimpin. Mereka yang ingin menjadi pemimpin harus berintegritas, berprestasi, dan memiliki visi jangka panjang.

Misalnya, jika ingin merekrut ahli ekonomi atau ahli kesehatan, dia memiliki banyak artikel ilmiah di level internasional, telah menulis buku, serta terjun ke masyarakat melalui pengabdian masyarakat jangka panjang.

Pengalaman dan pengetahuan tersebut akan menjadi senjata dalam merumuskan kebijakan berbasis data.

Edukasi tentang pentingnya pejabat yang kompeten juga perlu digiatkan. Media memiliki peran yang krusial di sini.

Jurnalis merupakan pilar keempat demokrasi yang berfungsi menjadi kritikus dan pendidik yang konstruktif melalui liputan dan analisisnya.

Kabar baiknya adalah, jurnalis merupakan profesi yang tingkat kepercayaannya tinggi. Menurut Ipsos 2024, sebanyak 51 persen responden Indonesia mempercayai jurnalis.

Alhasil, ini bisa memudahkan jurnalis untuk melakukan kerja-kerja baiknya dalam menyampaikan informasi yang akurat.

Pemerintah bisa membuat instruksi agar mewajibkan para menterinya membuat laporan kinerja secara berkala.

Kita hanya mengetahui kinerja menteri dari liputan media maupun pernyataan menteri. Rakyat berhak untuk mengetahui apa yang menteri kelautan, menteri energi, ataupun menteri pertanian lakukan dalam memaksimalkan sumber daya Indonesia untuk kesejahteraan rakyat.

Selain itu, kolaborasi antara akademisi, swasta, dan pemerintah harus didorong semaksimal mungkin.

Misalnya, akademisi dapat memberikan masukan berbasis data dan pihak swasta dapat membantu pendanaan untuk pembangunan proyek-proyek vital. Pola pikirnya adalah bahwa apa yang dilakukan semata-mata untuk kesejahteraan rakyat.

Kakistokrasi adalah ancaman nyata di banyak negara. Oleh karena itu, mewujudkan kabinet Zaken menjadi sangat krusial.

Menurut Busroh & Khairoh (2023), kabinet Zaken memiliki dua keunggulan komparatif, yaitu menjadi lompatan signifikan menuju meritokrasi dan mengurangi kelumpuhan kebijakan.

Mewujudkan kabinet Zaken bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan seluruh elemen masyarakat.

Kita perlu melakukan peran kita masing-masing dalam mencegah terbentuknya pemerintahan kakistokrasi.

Oleh karena itu, kita semua perlu berkontribusi, bekerja sama membangun masa depan Indonesia yang lebih sejahtera. Bersama mewujudkan Indonesia Emas 2045 dan terhindari dari meningkatnya generasi cemas Indonesia.

Tag:  #kepemimpinan #politik #kabinet #merah #putih #tantangan #teknokrasi #ancaman #kakistokrasi

KOMENTAR