Hambali dan Kontroversi Kewarganegaraan
Salah satu otak serangan Bom Bali 2002, Encep Nurjaman alias Hambali, mulai disidangkan di Pangkalan Militer AS di Kuba, Senin (30/8/2021).(ABC INDONESIA)
09:32
22 Januari 2025

Hambali dan Kontroversi Kewarganegaraan

PENANGANAN terorisme di Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun global, masih menyisakan banyak tantangan yang memerlukan perhatian mendalam.

Dalam langkah yang mengejutkan, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra mengemukakan wacana untuk memulangkan Encep Nurjaman alias Hambali, seorang tokoh militan yang dikenal "sang pejuang" di Jamaah Islamiyah yang saat ini dipenjara di fasilitas militer Amerika Serikat di Guantanamo, Kuba.

Wacana ini muncul di tengah situasi yang belum sepenuhnya tuntas terkait penanganan Jamaah Islamiyah di Indonesia.

Terlebih lagi, ada potensi pemberian wadah organisasi bagi mereka yang telah meninggalkan struktur lama patut dicermati secara seksama.

Pendekatan ini, jika tidak dikelola dengan hati-hati, dapat memberikan ruang bagi transformasi ideologi lama menjadi bentuk baru yang lebih adaptif dan terorganisasi.

Keputusan ini bukan sekadar perkara hukum, melainkan medan pertarungan ideologis yang bisa mengubah wajah ancaman terorisme di masa depan.

Pada 2024, terjadi dua deklarasi pembubaran Jamaah Islamiyah di kawasan Bogor pada 30 Juni dan di Solo pada 21 Desember.

Sementara itu, di luar negeri, Hay'at Tahrir al-Sham (HTS) berhasil menguasai wilayah Suriah, memaksa Indonesia untuk menghadapi pilihan politik yang semakin rumit, tanpa adanya sikap resmi yang jelas.

Di lapangan, terdapat fakta bahwa beberapa WNI yang awalnya terdaftar sebagai peserta Sasana Jamaah Islamiyah di Suriah, setelah tiba di Idlib, malah bergabung dengan HTS yang hingga saat ini masih digolongkan sebagai kelompok teroris.

Perlu diingat, prioritas Indonesia bukanlah memulangkan warga yang terlibat dengan HTS, tetapi memfokuskan repatriasi pada kelompok rentan seperti perempuan dan anak, sambil menunggu proses transisi di Suriah, atau mungkin mengambil sikap yang serupa seperti di Afghanistan.

Hambali, sosok yang menjadi figur sentral dalam jaringan terorisme global, khususnya terkait dengan Jamaah Islamiyah dan al-Qaeda, memainkan peran penting dalam merancang serangkaian serangan besar, termasuk Bom Bali 2002 dan serangan lainnya di Indonesia.

Ia juga diduga terlibat dalam pendanaan serta pelatihan kelompok teroris di kawasan-kawasan konflik seperti Ambon dan Poso.

Penangkapannya dalam operasi gabungan CIA dan Thailand di Ayutthaya pada 14 Agustus 2003, menjadi salah satu momen signifikan dalam upaya internasional untuk memerangi terorisme.

Meski tim penyidik dari kepolisian dan Badan Intelijen Negara (BIN) sempat diberikan izin untuk memeriksanya di Guantanamo, Hambali tetap tidak dibawa kembali ke Indonesia.

Namun, pertanyaan besar masih menggantung: apakah bahaya yang ditimbulkan oleh pemulangannya lebih besar daripada manfaatnya? Atau justru kita sedang bermain api dengan membuka pintu bagi ideologi teroris yang lebih canggih dan licin?

Lebih menarik lagi, paspor yang dimiliki oleh Hambali pada saat penangkapannya mencantumkan namanya dan fotonya, namun paspor tersebut bukan dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia.

Paspor tersebut tercatat sebagai paspor Spanyol. Berarti negara yang berhak memberikan perlindungan kepadanya adalah Spanyol, bukan Indonesia, meskipun Hambali dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat, pada 1964.

Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, ada sejumlah pertimbangan hukum yang perlu diperhatikan dalam kasus seperti yang dialami oleh Encep Nurjaman alias Hambali.

Menurut peraturan tersebut, seorang Warga Negara Indonesia (WNI) dapat kehilangan kewarganegaraannya jika secara sukarela memperoleh kewarganegaraan negara lain.

Mengingat paspor yang dipegang oleh Hambali diterbitkan oleh Spanyol, hal ini menunjukkan bahwa ia telah memperoleh kewarganegaraan negara lain, yang memunculkan pertanyaan tentang status kewarganegaraannya menurut hukum Indonesia.

Oleh karena itu, keputusan untuk memulangkan Hambali atau tidak harus mempertimbangkan lebih jauh dari sekadar persoalan kemanusiaan, melainkan juga kebijakan keamanan nasional serta komitmen Indonesia dalam perjuangan global melawan terorisme.

Satu keputusan keliru saja dapat menjadi preseden buruk, menciptakan celah bagi lahirnya ancaman baru yang lebih berbahaya dan terorganisasi.

Sebagai negara yang masih terbelenggu oleh ancaman terorisme dalam berbagai bentuknya, kita perlu merenung pada kisah Abu Bakar Ba'asyir, yang juga merupakan sahabat dekat Hambali.

Setelah dibebaskan, tanda-tanda ketidaksetiaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mulai terlihat.

Pada 7 Januari 2024, ABB bersama Said Sungkar—adik dari almarhum Abdullah Sungkar yang pernah menjadi mitra strategis ABB dalam mendirikan jaringan Islam radikal di Asia Tenggara—serta Afif Abdul Majid, tokoh senior Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), mengajukan permintaan fatwa yang mengandung ideologi kuat: Kewajiban Menegakkan Daulah Islamiyah.

Pertanyaan mengenai apakah semangat ideologis Hambali masih tetap utuh setelah sekian lama ataukah telah mengalami perubahan, menjadi sangat krusial dalam menentukan langkah-langkah selanjutnya.

Ideologi yang telah membentuk setiap tindakan dan keputusannya di masa lalu berpotensi tetap mengakar kuat, terutama dalam konteks terorisme yang sering kali mengandalkan doktrin-doktrin ideologis yang tahan lama dan sulit dipadamkan.

Jika semangat ideologis Hambali tetap tak tergoyahkan, ancaman yang ia bawa, bersama kelompok-kelompok yang pernah ia pimpin, bisa saja muncul kembali, meskipun dalam bentuk berbeda, dengan dinamika yang lebih kompleks.

Kita juga tidak bisa serta merta menyamakan kasus terorisme dengan kasus-kasus pidana lainnya, seperti yang ditangani oleh Menko Kumham Imipas.

Misalnya, dalam kasus terpidana mati narkoba seperti Mary Jane di Filipina atau lima terpidana Bali Nine di Australia. Begitu pula dalam hal pemindahan terpidana mati narkotika berkebangsaan Perancis, Serge Areski Atlaoui.

Kasus-kasus ini umumnya lebih terkait dengan aspek pidana yang lebih berfokus pada hukum positif dan prosedural.

Sementara terorisme melibatkan aspek ideologi yang jauh lebih mendalam dan berpotensi membahayakan keamanan jangka panjang.

Dalam konteks hukum Indonesia, salah satu argumen yang sering diajukan adalah kedaluwarsa penuntutan, mengingat bahwa tindak pidana Hambali terjadi lebih dari dua dekade yang lalu.

Berdasarkan Pasal 78 ayat (1) KUHP, ada ketentuan mengenai preskripsi penuntutan pidana yang berlaku setelah jangka waktu tertentu, yang bervariasi sesuai dengan beratnya tindak pidana.

Dalam hal ini, masa kedaluwarsa penuntutan adalah 20 tahun atau lebih. Namun, perlu dicatat bahwa dalam praktiknya, jika ada perubahan hukum atau ketentuan khusus, masa kedaluwarsa bisa diperpanjang atau ada pengecualian untuk kasus-kasus tertentu, seperti halnya dengan kasus terorisme yang melibatkan ancaman terhadap keamanan negara.

Aspek hukum bukanlah satu-satunya faktor yang harus dipertimbangkan dalam kasus Hambali. Aspek ideologi harus tetap mendapat perhatian serius.

Dalam dunia terorisme, ada doktrin “perjuangan terus-menerus” (al-jihâd al-mustamir), yang menanamkan keyakinan bahwa perlawanan harus terus berlangsung tanpa henti, bahkan setelah mereka bebas.

Ini juga terbukti dalam kasus ABB, yang meski telah dibebaskan, tetap menunjukkan semangat ideologis yang tak kunjung padam.

Meskipun ada narapidana terorisme yang, setelah dibebaskan melalui mekanisme hukum, bertaubat dan berkontribusi dalam proses deradikalisasi, seperti berpartisipasi dalam kegiatan sosial atau memberikan pemahaman tentang kontra-radikalisasi, mereka semua menjalani proses multi-assessment yang ketat.

Proses multi-assessment ini, yang dinilai bukan hanya faktor psikologis dan sosial, tetapi juga aspek ideologis, yang mana harus diterapkan pada Hambali jika ia dipulangkan.

Walaupun, seperti yang kita ketahui, meskipun seseorang menjalani evaluasi mendalam, tidak ada jaminan bahwa ideologi terorisme yang pernah dipegang akan benar-benar luntur.

Oleh karena itu, penanganan terhadap Hambali memerlukan pendekatan komprehensif, yang tidak hanya mengandalkan logika hukum semata, tetapi juga mempertimbangkan aspek ideologis yang berpotensi membahayakan keamanan nasional.

Tag:  #hambali #kontroversi #kewarganegaraan

KOMENTAR