



100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran dan Pengejawantahan Politik Bebas Aktif dalam Keanggotaan BRICS
- Kebijakan politik luar negeri yang diterapkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka termasuk yang menjadi sorotan utama.
Dalam masa 100 hari kepemimpinannya, Prabowo menunjukkan komitmen terhadap politik bebas aktif dan gerakan non-blok, yang telah menjadi bagian dari identitas Indonesia sejak era demokrasi terpimpin hingga reformasi.
Hal ini bisa terlihat dengan sejumlah manuver Prabowo di dunia internasional, mulai dari kunjungan kenegaraan, menghadiri beragam konferensi tingkat tinggi, dan bergabung ke aliansi ekonomi BRICS.
Politik bebas aktif Indonesia
Dalam buku yang ditulis Nur Iman Subono, dkk., yang berjudul "Politik Luar Negeri di Indonesia di Bawah Soeharto", politik bebas aktif memiliki sejarah panjang hingga saat ini.
Konsep ini pertama kali dicetuskan oleh Wakil Presiden Pertama RI, Mohammad Hatta.
Politik bebas aktif ini dicetuskan saat berpidato dengan tajuk "Mendayung di antara Dua Karang," pada 2 September 1948.
Sikap ini sebagai respons terhadap kegaduhan kondisi global pasca Perang Dunia Kedua, yang saat itu sedang terjadi Perang Dingin.
Dunia terbagi menjadi dua, blok barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dengan liberal kapitalis, sedangkan blok timur dinahkodai oleh Uni Soviet dengan ideologi paham komunis dan sosialis.
Para pendiri bangsa yang resah dengan dua gajah yang berseteru akan menginjak-injak negara-negara yang baru saja tumbuh mulai mencetuskan ide brilian untuk mengatasi hal tersebut.
Mohammad Hatta menilai, politik bebas aktif yang akan diterapkan Indonesia memberikan kesempatan untuk menentukan sikap dan kebijakan sendiri dalam menghadapi permasalahan internasional tanpa ikut serta dengan blok barat maupun blok timur.
Ada tiga tujuan utama yang awalnya menjadi dasar politik bebas aktif di Indonesia.
Pertama, menjaga kedaulatan negara dan mempertahankan kemerdekaan. Kedua, menjaga netralitas Indonesia di kancah global dan terakhir, menjadi jembatan persaudaraan antarbangsa.
Seiring berubahnya rezim politik dalam negeri dari demokrasi terpimpin menuju Orde Baru, kebijakan ini juga bergeser.
Semula menjadi upaya menjembatani perdamaian dunia, kemudian difokuskan pada anti-imperialisme dan kolonialisme serta mengabdi pada kepentingan nasional.
Kini, di era reformasi, politik bebas aktif difokuskan pada upaya pembangunan dan menjalin kerja sama di bidang ekonomi dengan dunia internasional.
BRICS
Implementasi politik bebas aktif ini langsung diterapkan oleh Prabowo dengan cara mengambil kebijakan agar Indonesia bergabung dalam salah satu aliansi ekonomi yang diinisiasi oleh Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS).
Prabowo mengutus Menteri Luar Negeri RI, Sugiono, untuk mengikuti secara langsung Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS Plus pada 23 Oktober 2024.
Dalam acara tersebut, Indonesia tak hanya jadi tamu, tetapi juga mendaftarkan diri sebagai anggota tetap forum internasional tersebut.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Roy Soemirat, mengatakan, bergabungnya Indonesia ke BRICS tentu menjadi kebijakan yang diterjemahkan dari semangat politik bebas aktif.
"Ini merupakan pengejawantahan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif," kata Roy, Sabtu (26/10/2024).
Dia menyebut, upaya Indonesia menjadi anggota BRICS Plus untuk memperkuat posisi bebas aktif yang memungkinkan Indonesia tidak berpihak pada kubu mana pun, tetapi tetap aktif berpartisipasi dalam berbagai forum internasional.
Selain itu, keinginan bergabung dalam BRICS juga didasari keselarasan prioritas BRICS dengan fokus Indonesia saat ini, khususnya dalam upaya ketahanan pangan.
“Dan diharapkan lewat partisipasinya di BRICS, Indonesia juga ingin mengangkat kepentingan bersama negara-negara berkembang atau global south di masa mendatang,” tambah Roy.
Hal ini tentu selaras dengan maksud Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 yang melandasi politik bebas aktif Indonesia di era reformasi.
Perkuat posisi diplomatik
Selain menjadi wujud implementasi politik bebas aktif, bergabungnya Indonesia dalam BRICS dinilai sebagai bentuk penguatan posisi diplomatik luar negeri.
Pakar Hukum Internasional dari Fisipol Universitas Gadjah Mada, Poppy Sulistyaning Winanti, mengatakan, BRICS menjadi kelompok penting untuk membahas isu strategis global.
Setelah Indonesia diakui dan menjadi anggota resmi BRICS, otomatis nilai tawar akan meningkat, khususnya di dunia barat.
"Saya kira ini sebagai upaya Indonesia menaikkan posisi bargaining dengan negara barat," terang Poppy.
Upaya bergabung ke dalam BRICS juga dinilai sebagai bentuk antisipasi terhadap presiden Amerika Serikat yang baru, Donald Trump, yang sering membuat kebijakan ekonomi yang cukup sulit bagi lawan politiknya.
"Dunia barat di bawah bayang-bayang Amerika Serikat penuh ketidakpastian lagi dari sisi konteks global, apalagi di bawah periode kedua kepemimpinan Donald Trump," ungkap dia.
Apa untungnya?
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai keanggotaan tetap Indonesia dalam BRICS sebagai hal yang menguntungkan.
Menurut dia, keanggotaan BRICS adalah langkah strategis yang dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia di kancah global, khususnya di Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
OECD adalah organisasi antarpemerintah yang mempromosikan pertumbuhan ekonomi, kemakmuran, dan pembangunan berkelanjutan.
“Keputusan menjadi anggota BRICS tepat sepanjang kita juga tetap mendorong proses membership OECD. Indonesia adalah kekuatan ekonomi potensial di dunia ini. Potensi itu harus di-unlock dengan lebih berani mengambil sikap," tuturnya, Selasa (7/1/2025).
Wijayanto menuturkan, keanggotaan Indonesia di BRICS memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk ikut menentukan arah dan cetak biru organisasi tersebut ke depan.
Dia menekankan, keanggotaan ini untuk membuka peluang kerja sama di berbagai bidang, seperti teknologi, ketahanan pangan, dan perubahan iklim antara Indonesia dan negara-negara BRICS.
“Indonesia perlu mengurangi ketergantungan terhadap dollar AS dengan lebih banyak menggunakan mata uang lokal untuk ekspor-impor dengan negara lain," lanjutnya.
"Kendati demikian, kita tidak perlu menjadikan dedolarisasi sebagai gerakan ekonomi-politik. Ini akan kontraproduktif dan di luar kepentingan kita,” kata Wijayanto.
Bukan tanpa risiko
Namun, bicara tentang BRICS bukan berarti tak memiliki risiko apapun untuk posisi Indonesia di dunia internasional.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menilai, masuknya Indonesia sebagai anggota penuh BRICS bisa saja membawa sentimen anti-negara barat.
Menurut dia, status anggota penuh BRICS juga cukup menunjukkan Indonesia bersikap menjauh dari pengaruh negara-negara barat seperti Amerika Serikat.
"Apakah ini merupakan strategi yang tepat bagi Indonesia bergabung ke BRICS? Ya, ini merupakan strategi yang sebenarnya kurang begitu tepat," ujar Bhima, saat dihubungi Kompas.com, Selasa.
Dia menuturkan, BRICS yang ingin menjauh dari dominasi dollar AS dibentuk oleh negara-negara rival Amerika Serikat seperti Rusia dan China.
Indonesia sendiri dilihat memiliki hubungan baik dengan kedua pelopor BRICS itu.
Jumlah ekspor produk dari dalam negeri cukup banyak, sementara Rusia menjalin kerja sama militer dengan Indonesia.
Bergabungnya Indonesia ke BRICS, lanjut Bhima, makin menekankan Indonesia pro-China dan Rusia dalam kondisi geopolitik.
Padahal, AS tidak akan menjalin kerja sama terhadap mitra-mitra yang dianggap memiliki kedekatan spesifik dengan Rusia maupun China.
Dia pun menyebut, AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump kemungkinan besar akan fokus berinvestasi di dalam negaranya.
Baru setelah itu, AS mungkin akan berinvestasi ke luar negeri.
"Bergabungnya Indonesia ke BRICS membuat AS mungkin akan menganggap Indonesia bukan destinasi investasi utama," ujar Bhima.
Hal ini kontradiktif dengan kondisi Indonesia saat ini yang sedang butuh suntikan investasi dari negara-negara barat untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri.
Bhima menduga Indonesia juga bisa dikeluarkan dari Generalized System of Preferences (GSP).
Program ini memberikan tarif rendah kepada negara berkembang untuk ekspor produk-produk tertentu ke negara-negara maju.
Menurutnya, pendanaan untuk proyek kerja sama antara Indonesia dan AS juga bisa terhambat karena bergabung dengan BRICS.
Tag: #hari #pemerintahan #prabowo #gibran #pengejawantahan #politik #bebas #aktif #dalam #keanggotaan #brics