Menuju 100 Hari Prabowo-Gibran: Kinerja TNI-Polri Disorot dan Munculnya Fenomena ''No Viral No Justice''
- Kinerja aparat penegak hukum di Indonesia menjadi sorotan publik, terutama menjelang 100 hari kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Sejumlah kasus yang melibatkan anggota Polri dan TNI muncul ke permukaan, menimbulkan pertanyaan tentang keberpihakan aparat terhadap masyarakat sipil.
Beragam konotasi hadir di tengah aduan dan proses hukum yang berjalan. Merespons langkah yang diambil aparat, masyarakat seakan mengambil jalannya sendiri melalui tagar “No Viral No Justice”.
Ulah oknum
Dalam tiga bulan terakhir, ada sejumlah kasus yang membakar emosi masyarakat.
Sebab, ada sejumlah anggota dari institusi seperti Polri dan TNI yang dinilai tidak berpihak pada warga.
Bahkan, beberapa di antara mereka justru tega menghilangkan nyawa manusia hingga mempermalukan nama bangsa di kancah internasional.
Pemerasan DWP
Pertengahan Desember 2024, khalayak ramai dihebohkan dengan ulah 18 oknum polisi yang memeras para penonton konser Djakarta Warehouse Project (DWP).
Mereka menarget warga negara asing (WNA) seperti penonton dari Malaysia, bahkan juga warga negara Indonesia (WNI).
Saat musik tengah meraung keras, satu per satu penonton konser ditarik ke belakang dan dibawa ke suatu tempat.
Di sana, mereka dipaksa melakukan tes urine karena diduga mengonsumsi zat-zat ilegal. Sambil menunggu hasil tes, paspor para WNA ditahan oleh polisi.
Bahkan, ada yang sempat dibawa ke Polsek dan Polda untuk diperiksa lebih lanjut. Ujungnya, mereka yang ditahan ini diperas dan diminta uang tebusan.
Ratusan orang diperas dan diduga total kerugian mencapai puluhan miliar. Namun, berdasarkan penelusuran polisi, barang bukti yang ada justru hanya Rp 2,5 miliar.
Akibat dari peristiwa ini, sejumlah anggota polisi diberhentikan secara tidak hormat, salah satunya Mantan Direktur Reserse Polda Metro Jaya Kombes Donald Parlaungan Simanjuntak.
Namun, proses sidang etik para oknum ini masih berlangsung, dan jumlah anggota yang diduga terlibat dalam pemerasan terus meningkat. Terakhir, ada lebih dari 20 anggota polisi yang terbukti melakukan pemerasan.
Pembunuhan bos rental mobil
Ilyas Abdurahman (48) tewas ditembak saat hendak mengambil kembali mobil rentalnya yang dibawa pergi orang tidak dikenal.
Ketika menghampiri mobilnya yang dibawa lari, Ilyas justru diberondong dengan peluru oleh oknum anggota TNI.
Awal tahun 2025 yang seharusnya menjadi semangat baru justru menjadi duka bagi keluarga yang ditinggalkan.
Anak Ilyas, Agam, memutar kembali memorinya dan mempertanyakan alasan Polsek Cinangka, Tangerang, yang menolak untuk menemani pihak rental saat menghampiri mobil di rest area KM 45 itu.
Kapolsek Cinangka, AKP Asep Iwan Kurniawan, dan dua anggotanya tengah diperiksa oleh Propam Polda Banten buntut kejadian itu.
Sementara, tiga personel TNI AL, yaitu Sertu AA, Kelasi Kepala BA, dan Sertu RH, tengah menjalani proses hukum di Oditur Militer.
Gamma tewas di tangan polisi
Siswa SMKN 4 Semarang, Gamma (17), tewas usai ditembak Aipda Robig Zaenudin, Minggu (24/11/2024).
Kasus ini mendulang kemarahan masyarakat Indonesia karena skenario yang dimainkan oleh atasan-atasan Robig.
Awalnya, Polrestabes Semarang menyebutkan Gamma dan teman-temannya terlibat dalam tawuran sehingga dilerai oleh anggota kepolisian.
Namun, konferensi pers yang diadakan pada Kamis (28/11/2024), menuai kecaman dan menimbulkan tanda tanya besar.
Dalam foto yang beredar, para petinggi polisi itu terlihat tidak memakai sarung tangan saat memegang sejumlah senjata tajam yang menjadi barang bukti.
Kejanggalan ini marak dibicarakan dan menjadi viral di media sosial. Rakyat meminta keadilan untuk Gamma, dan seruan ini belum berhenti meski tahun sudah berganti.
Saat ini, Aipda Robig sudah diberhentikan secara tidak hormat dari kepolisian. Dia juga telah menyandang status tersangka dalam kasus penembakan ini.
Namun, keluarga almarhum Gamma melaporkan bahwa rumah mereka kerap didatangi oleh orang tidak dikenal. Sekitar tanggal 17 Januari 2025, beberapa orang terlihat mengambil foto dan video di sekitar rumah keluarga Gamma.
Kasus kematian Darso
Kematian Darso (43), warga Semarang, masih menjadi misteri hingga saat ini. Darso yang diketahui sempat terlibat kecelakaan pada 12 Juli 2024.
Kemudian, pada 21 September 2024, Darso dijemput oleh sejumlah anggota polisi unit gakkum Satlantas Polresta Yogyakarta.
Selang beberapa jam, pihak keluarga mendapat laporan bahwa Darso tengah berada di rumah sakit. Hari itu juga, Darso dinyatakan meninggal dunia.
Istri Darso, Poniyem, mengaku melihat tanda-tanda kekerasan pada jenazah Darso. Padahal, sebelum dibawa pergi oleh polisi, Darso masih dalam keadaan sehat.
Kini, enam anggota Polresta Yogyakarta tengah diperiksa oleh Propam Polda Yogyakarta untuk mendalami perkara yang menewaskan Darso.
Polisi tembak polisi
Selain kasus polisi versus sipil, pengujung 2024 juga diwarnai dengan kasus polisi menembak sesama anggotanya.
Hal ini terjadi pada 22 November 2024. Selain menewaskan Ulil, Dadang sempat mengancam untuk membunuh anggota lain.
Bahkan, Dadang sempat menembaki rumah dinas Kapolres Solok Selatan. Saat itu, Kapolres AKBP Arief Mukti berada di dalam rumah dinas saat penembakan terjadi.
Beruntung, tembakan Dadang tidak mengenai anggota lain sehingga menambah korban jiwa.
Hasil penyelidikan mengungkap bahwa penembakan dilakukan lantaran Dadang tidak suka dengan Ulil yang menangkap pengusaha tambang ilegal di Solok.
Usai dipecat secara tidak hormat, Dadang juga akan diproses secara hukum atas perbuatannya yang menewaskan Ulil.
Ketidakpercayaan publik
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai kinerja Polri dalam 100 hari pertama Prabowo-Gibran tidak memiliki perubahan yang signifikan.
“Memang ada beberapa kasus yang menjadi sorotan publik yang kemudian ditangani dengan lebih baik, misalnya judul yang mengejar bandar melalui TPPU, tapi masih terlalu kecil dibanding transaksi judolnya,” ujar Bambang saat dimintai pendapatnya pada Jumat (17/1/2025).
Polri menurutnya perlu melakukan penguatan kinerja ke dalam dan menyelesaikan pengaduan dari masyarakat yang belum terselesaikan.
“Tagar ‘No Viral No Justice’, tagar ‘Percuma Lapor Polisi’ bukan hanya indikasi ketidakpercayaan pada kepolisian, tetapi lebih jauh lagi adalah ketidakpercayaan publik pada negara untuk bisa melindungi masyarakat, Tanah Air, dan seluruh tumpah darah negeri,” kata Bambang.
Maraknya tagar “No Viral No Justice” ini dinilai menjadi indikasi anarkisme mulai meluas, bukan hanya kekerasan sesaat, tetapi sebagai suatu konsep di mana hukum tidak lagi diindahkan.
“Indikasinya adalah makin banyaknya aksi main hakim sendiri, dalam bentuk lebih soft di era medsos saat ini adalah ‘memviralkan’. Sementara negara juga tak bergegas segera membuat saluran yang layak untuk dipercaya,” ujar Bambang.
Jumlah anggota polisi yang di-propam dinilai belum cukup untuk memperbaiki kepercayaan publik pada institusi Polri dan penegak hukum lainnya.
Bambang menilai penyegaran di tubuh Polri sangat dibutuhkan karena problem yang ada saat ini sudah sistemik, baik dari level bawah hingga ke atas.
“Negaralah yang harus memulai melakukan pembenahan pada Polri, dan itu dibutuhkan good will dan political will Presiden Prabowo. Apakah akan melakukan pembenahan pada Polri seperti pidatonya di acara retret kabinet 25 Oktober 2024 lalu di Magelang tersebut dengan segera membuang yang busuk atau membiarkan semuanya jadi busuk,” tutur Bambang.
Komisioner Kompolnas Gufron Mabruri menilai, dalam 2-3 bulan terakhir, kinerja Polri sudah cukup baik dalam hal menangani kasus yang melibatkan anggotanya sendiri, terutama kasus-kasus yang mendapatkan atensi dari publik.
Kendati demikian, Gufron mengatakan, kinerja Polri masih perlu dibenahi imbas dari maraknya tagar “No Viral No Justice”.
“Kalimat No Viral No Justice perlu dilihat sebagai bentuk kritik yang positif masyarakat agar pelayanan di kepolisian lebih baik lagi dalam menjalankan fungsi dan tugasnya,” ujar Gufron, saat dihubungi Jumat.
Dia menilai penanganan polisi terhadap aduan dan laporan masyarakat menjadi kunci penting dalam menjawab tantangan dari tagar viral ini.
Dia juga mengapresiasi langkah Propam yang cepat dalam memproses hukum anggota polisi yang bermasalah.
Menurut Gufron, ke depan, pengawasan ini perlu terus dilakukan.
Jika perlu, pengawasan juga dilakukan dari luar badan kepolisian.
“Kalimat No Viral No Justice perlu dilihat sebagai bentuk kritik yang positif masyarakat agar pelayanan di kepolisian lebih baik lagi dalam menjalankan fungsi dan tugasnya,” lanjut dia.
Dukung reformasi internal
Anggota Komisi III DPR RI Hinca Panjaitan menilai, sepanjang 2024, Polri seakan diuji dalam badai opini publik.
Dia mengakui menyimpan kekecewaan kepada personel Polri.
Dan, beberapa kali DPR memanggil tokoh-tokoh ini dalam rapat dengar pendapat.
“Data yang disampaikan Kapolri sendiri menunjukkan sekitar 46 persen interaksi publik bernada negatif. Memang, saya tak menampik adanya kekecewaan terhadap personel tertentu,” kata Hinca, Jumat.
Jika melihat 100 hari pertama Prabowo-Gibran secara spesifik, Hinca menilai Polri berusaha melakukan beberapa gerak cepat melalui pembentukan sejumlah satuan tugas (satgas).
Langkah ini dinilai cukup berhasil. Misalnya, satgas judul yang dinilai bisa mengungkap skandal keterlibatan pegawai komdigi yang membekingi sejumlah situs judi.
“Artinya, di tengah kritik yang berembus, Polri tetap menunjukkan ketanggapan. Kita dukung terus, tentu dengan catatan agar reformasi internal dapat terus diawasi,” lanjutnya.
Menurut Hinca, dalam menghadapi informasi yang cepat beredar di media sosial saat ini, Polri tidak cukup hanya mengandalkan humas saja. Tapi, perlu sejumlah juru bicara di beberapa media sosial yang ramai digunakan.
“Usul saya, Polri perlu menempatkan multiple spokespersons di seluruh platform media sosial, entah itu di Twitter (sekarang X), Instagram, Facebook, atau kanal lain,” kata Hinca.
Dia menilai, para juru bicara ini penting untuk cepat merespons laporan yang ada jika dibiarkan terlalu lama.
“Publik bisa kehilangan kepercayaan jika laporan mereka didiamkan berjam-jam, apalagi berhari-hari. Bayangkan, satu aduan lewat Direct Message (DM) bisa menjadi bola salju jika tak segera ditindaklanjuti,” lanjutnya.
Hinca mengatakan, para jubir ini patut mencontoh Ahrie Sonta Nasution yang kini menjabat sebagai ajudan Presiden dan dulu menjadi sekretaris pribadi Kapolri.
Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil juga menilai, selama tiga bulan terakhir, kinerja Polri sudah sangat baik. Tapi, ada beberapa kasus dan peristiwa yang mencederai prestasi yang dicapai.
“Gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Masih adanya anggota polisi yang melakukan praktik menyimpang karena tuntutan gaya hidup dan perilaku pimpinan yang belum sepenuhnya menjadi teladan,” ujar Nasir saat dihubungi Jumat.
Dia menilai, tagar “No Viral No Justice” muncul karena belum optimalnya pengawasan dan pembinaan di internal kepolisian. Unit pengawasan di Polri disebut masih tebang pilih dalam mengusut kasus yang menimpa institusinya.
“No Viral No Justice adalah bentuk pengawasan masyarakat yang ingin mencari keadilan. Bukan bentuk ketidakpercayaan kepada polisi,” katanya.
Nasir menyebutkan, jumlah kasus yang “dipendam” dan kemudian terbuka serta diproses hukum setelah viral, sebenarnya tidak banyak.
Maraknya sorotan kepada Polri disebabkan oleh kedekatan antara polisi dengan masyarakat, terutama dalam hal pelayanan dan penegakan hukum.
Nasir menilai maraknya polisi yang di-propam beberapa waktu terakhir merupakan cara pimpinan Polri untuk membersihkan institusi dari polisi yang berperilaku buruk.
Dia menyoroti agar proses rekrutmen, pendidikan, dan pengembangan karier polisi harus sejalan dengan aturan main yang dibuat.
“Konsistensi penegakan aturan kode etik dan disiplin serta sanksi yang setimpal sangat membantu polisi merebut kembali kepercayaan masyarakat,” kata Nasir lagi.
Komitmen Polri untuk berbenah
Pada 31 Desember 2024 lalu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sempat menyatakan komitmennya untuk terus melakukan evaluasi kinerja imbas banyaknya sentimen negatif yang diperoleh di media sosial.
Sigit menyebutkan, dari 7 juta interaksi terkait Polri di berbagai platform media sosial, 46 persen di antaranya bersentimen negatif, sedangkan 37 persen sentimen positif dan 18 persen sentimen netral.
“Sentimen negatif ini menjadi bagian yang terus kita lakukan perbaikan. Sehingga sentimen-sentimen tersebut tentunya bisa kita kurangi,” kata Sigit, dalam acara Rilis Akhir Tahun Polri, Selasa (31/12/2024).
Sigit menuturkan, sentimen negatif terkait Polri yang muncul di media sosial seringkali berkaitan dengan dinamika peristiwa yang terjadi setiap bulannya.
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya respons cepat dan tindakan nyata dalam menangani isu-isu yang beredar di masyarakat.
“Kami terus menekankan kepada seluruh personel Polri agar terus melakukan pembenahan, melakukan tindakan yang cepat, melakukan responsif yang cepat tanpa harus menunggu hal tersebut menjadi viral,” ujar Sigit.
Tag: #menuju #hari #prabowo #gibran #kinerja #polri #disorot #munculnya #fenomena #viral #justice