Saksi Korupsi di Basarnas Mengaku Jadi Tumbal Atasan, Dipaksa Akui Kelola Dana Komando
Ketua Kelompok Kerja (Pokja) pengadan rescue carrier vehicle (RCV) di Basarnasa tahun 2014, Kundori (kiri) diperiksa sebagai saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (16/1/2025).(KOMPAS.com/Syakirun Ni'am)
15:46
16 Januari 2025

Saksi Korupsi di Basarnas Mengaku Jadi Tumbal Atasan, Dipaksa Akui Kelola Dana Komando

- Analis Kepegawaian Ahli Madya Badan Sar Nasional (Basarnas), Kundori, mengaku dipaksa menjadi tumbal dengan mengaku mengelola dana komando (Dako) yang diketahui sebagai uang setoran dari perusahaan pemenang proyek.

Keterangan ini disampaikan Kundori ketika dihadirkan sebagai saksi dalam sidang dugaan korupsi pengadaan truk angkut personel 4WD dan rescue carrier vehicle (RCV) tahun anggaran 2014 di Basarnas.

Dalam persidangan, anggota Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Alfis Setiawan, mengonfirmasi keterangan Kundori yang tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) di tahap penyidikan.

Dalam keterangan itu, Kundori mengaku ditekan Sekretaris Utama (Sestama) Basarnas tahun 2015-2018, Dadang Arkuni, eks Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) Basarnas, Kamil, dan pejabat pembuat komitmen (PPK) Anjar Sulistiyono.

“Saya disuruh dan ditekan saudara Dadang Arkuni, saudara Kamil, dan saudara Anjar Sulistiyono untuk mengaku bahwa saya lah yang mengelola dana komando di Basarnas,” kata Hakim Alfis, membacakan BAP Kundori di ruang sidang, Kamis (16/1/2025).

“Pada pemeriksaan pertama dan tahap penyelidikan dalam perkara ini tanggal 6 Juni 2022, itu benar adanya kondisi seperti itu, saudara dipaksa oleh tiga orang itu?” lanjut Hakim Alfis.

Kundori pun membenarkan keterangannya dalam BAP tersebut. Ia mengaku pada 6 Juni 2022, atau ketika kasus korupsi ini masih disidik penyidik KPK, ia bertemu Dadang, Anjar, dan Kamil.

Ia dipaksa mengakui mengelola dana komando di lingkungan Basarnas kepada penyidik. Kundori mengeklaim tidak mengetahui persoalan dana komando.

“Jadi seolah-olah kayak ditumbalkan gitu,” ujar Kundori.

Hakim Alfis pun mengonfirmasi ulang kepada Kundori apakah ia betul tidak mengetahui dana komando. Dalam persidangan, banyak saksi memberikan keterangan terdapat dana komando di lingkungan Basarnas.

Besarannya 10 persen dari nilai proyek pengadaan. Hakim Alfis menilai pengakuan Kundori ganjil.

Sebab, pada umumnya seseorang akan bertanya kepada pihak tertentu yang memintanya melakukan hal yang tidak diketahui.

“Saat orang diminta melakukan sesuatu, kalau dalam pikirannya dia tidak mengerti, itu pasti dia akan bertanya. Maka saya tanyakan tadi, saudara diminta mengakui saudaralah yang mengelola, sementara tidak mengerti dana komando itu apa? Tidak saudara tanyakan apa itu dana komando?” tanya Hakim Alfis.

“Tidak sempat,” jawab Kundori.

Dalam persidangan, Anjar yang duduk sebagai terdakwa membantah memaksa Kundori mengaku mengelola dana komando.

“Tidak ada kepentingannya dengan saya,” ujar Anjar.

Dalam perkara ini, Basarnas membeli sekitar 30 truk angkut personel 4WD dengan pembiayaan Rp 42.558.895.000.

Padahal, dana yang sebenarnya digunakan untuk pembiayaan itu hanya Rp 32.503.515.000.

Artinya, terdapat selisih pembayaran sebesar Rp 10.055.380.000.

Sementara itu, pembayaran 75 rescue carrier vehicle sebesar Rp 43.549.312.500 dari nilai pembiayaan sebenarnya Rp 33.160.112.500.

Artinya, terdapat selisih Rp 10.389.200.000.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) kemudian memasukkan selisih itu sebagai kerugian negara dalam Laporan Hasil Perhitungan Investigatif.

Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Max memperkaya diri sendiri Rp 2,5 miliar, memperkaya Direktur CV Delima Mandiri sekaligus penerima manfaat PT Trikarya Abadi Prima, William Widarta, selaku pemenang lelang dalam proyek ini sebesar Rp 17.944.580.000.

Perbuatan mereka disebut merugikan keuangan atau perekonomian negara sebesar Rp 20.444.580.000.

Editor: Syakirun Ni'am

Tag:  #saksi #korupsi #basarnas #mengaku #jadi #tumbal #atasan #dipaksa #akui #kelola #dana #komando

KOMENTAR