Mahasiswa Berdaya: Soft Skill dan Kepemimpinan
Soft skills, yang seringkali dianggap sepele, ternyata menjadi pembeda utama dalam era ketatnya persaingan masuk dunia kerja.
Para mahasiswa yang saat ini masuk golongan Generasi Z (1997-2012) perlu mempersiapkan dengan baik bekal mereka berkarier di masa mendatang.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, pengamat pendidikan, aktivis mahasiswa, hingga organisasi filantropi Tanoto Foundation menaruh perhatian terkait pentingnya pembentukan soft skills dan kemampuan kepemimpinan sebagai bekal masuk dunia kerja.
Akar Masalah Menurut DPR
Anggota DPR RI Komisi X, dr Gamal Albinsaid menyoroti akar masalah yang membuat Gen Z tidak siap memasuki dunia kerja bahkan minim soft skills.
Termasuk proses pendidikan di Indonesia saat ini yang akhirnya melahirkan generasi-generasi seperti saat ini.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengungkapkan, penilaian yang dilakukan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dalam Programme for International Student Assessment (PISA) 2022, skor Indonesia masih rendah.
Termasuk terlihat dalam konteks membaca, skor literasi Indonesia pada 2022 mengalami penurunan bila dibandingkan 2018.
"Juga juga dalam konteks growth mindset, jadi ada satu penelitian, mereka bertanya kepada anak-anak muda di Indonesia 'Apakah kalian setuju atau tidak setuju bahwa kecerdasan tidak bisa diubah?' ternyata 71 persen lebih Gen Z itu mengatakan setuju bahwa kecerdasan itu tidak bisa diubah," ujar Gamal dalam talkshow Tribunnews bertema Mahasiswa Berdaya: Soft Skill dan Kepemimpinan, Kamis (21/11/2024).
Anggota Komisi X DPR RI, dr Gamal Albinsaid (Dokumentasi PKS)Hal itu disebut fixed mindset dan menurutnya akan mengantarkan pada sebuah pola pikir kecerdasan yang statis dan justru menghantarkan pada kepribadian yang akan menghambat pengembangan diri ke depan.
Menjawab tantangan besar para Gen Z dalam memasuki dunia kerja, dr Gamal pun menerangkan soal upaya yang dilakukan DPR RI.
"Kami sudah memasukkan di program legislasi nasional (prolegnas) revisi undang-undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan undang-undang kepemudaan sebagai usulan DPR RI Komisi X," lanjutnya.
Hal tersebut dianggap sangat penting, karena menurut dr Gamal, melalui perbaikan regulasi, menjadi jalan untuk melahirkan sebuah desain pendidikan yang relevan, kompatibel dan tentunya bisa menjawab tantangan anak muda hari ini.
Pihaknya juga mendorong pemimpin-pemimpin pengambil keputusan untuk meletakkan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai sebuah prioritas dan itu diterjemahkan dalam alokasi SDM yang signifikan.
"Kenapa itu penting? Karena negara maju itu dari SDM yang unggul dan SDM unggul itu menurut banyak penelitian berdampak pada pertumbuhan dan ketahanan ekonomi sebuah negara," ungkap dr Gamal.
Pentingnya Kepemimpinan dan Pengalaman Berorganisasi
Pada kesempatan yang sama, Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) 2022, Kaharuddin menilai kepemimpinan atau leadership menjadi hal yang perlu dimiliki setiap mahasiswa sebagai bekal menyongsong masa depan.
Sejumlah soft skills di dalam kepemimpinan seperti komunikasi, empati, hingga kemampuan kolaborasi dinilai tidak bisa secara optimal diperoleh melalui pembelajaran di kelas saja.
Kompetensi kepemimpinan bisa didapatkan melalui kegiatan di luar kelas, seperti aktif dalam organisasi, mengikuti pelatihan, hingga proyek kolaborasi.
Menurut Kahar, sapaan akrabnya, di tengah tantangan keterbatasan waktu, tekanan akademis, dan minimnya pengalaman, mahasiswa perlu membekali diri dengan soft skills dan kemampuan kepemimpinan.
Kaharuddin menekankan bahwa mahasiswa memiliki peran strategis sebagai agen perubahan, baik di lingkungan kampus maupun masyarakat.
Ia menyarankan, agar mahasiswa memaksimalkan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi dengan turut berorganisasi maupun mengikuti kegiatan di luar kelas yang bermanfaat.
“Organisasi kampus menyediakan banyak pilihan, mulai dari himpunan mahasiswa tingkat jurusan, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) tingkat fakultas hingga tingkat universitas. Mahasiswa dapat memilih wadah yang sesuai untuk mengembangkan kemampuan mereka,” ungkap Kahar.
Koordinator BEM SI 2022, Kaharuddin dalam program talkshow Overview Tribunnews, Kamis (21/11/2024). (Tribunnews)Menurut Kahar, karakter kepemimpinan mahasiswa harus mencakup visi jangka panjang, keberanian mengambil risiko, dan kemampuan menggerakkan orang lain untuk bertindak.
“Empati dan kepekaan terhadap sekitar menjadi dasar kepemimpinan. Anak muda harus berani berinovasi, berkreasi, dan mengambil risiko."
"Kita harus mampu melihat potensi jangka panjang dan menjadi inspirasi bagi orang lain,” tambahnya.
Masih Ada Daya Juang
Sementara itu Pengamat Pendidikan, Doni Koesoema, memberikan tanggapan terkait Generasi Z (1997-2012) yang dinilai lembek dan sulit mendapatkan pekerjaan.
Seperti survei ResumeBuilder tahun 2023 menemukan bahwa 49 persen pemimpin dan manajer bisnis menganggap Gen Z sulit diajak bekerja sama. Mayoritas juga setuju Gen Z kurang memiliki keterampilan komunikasi yang efektif, motivasi, usaha, dan bahkan keterampilan teknologi dalam beberapa kasus.
Doni menilai, hasil riset tidak bisa digeneralisasi. Generasi muda masih memiliki semangat juang asal bisa arahkan dengan baik.
"Saya masih menjumpai para mahasiswa dari kelompok usia ini yang tetap memiliki daya juang tinggi," ungkapnya.
"Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa resiliensi, daya tahan, dan sikap lembek itu juga ada di kalangan generasi yang sekarang ini," imbuhnya.
Pengamat Pendidikan, Doni Koesoema dalam siniar Overview Tribunnews dengan tema Mahasiswa Berdaya: Soft Skill dan Kepemimpinan, Kamis (21/11/2024). (Tribunnews.com)Doni mengungkapkan sejumlah faktor yang bisa saja menjadi penyebab sikap Gen Z yang dinilai memiliki kekurangan.
Terutama, banyak Gen Z yang dimanjakan oleh orang tua.
"Mungkin ya karena mereka itu hidup di dalam keluarga yang sejahtera, generasi anak-anak sekarang ini kan dididik oleh generasi milenial yang orang tuanya bekerja keras untuk mendidik generasi milenial agar sukses."
"Dan ketika generasi milenial ini sukses, mereka tidak ingin anak-anaknya itu hidup sengsara seperti mereka," ungkap Doni.
"Sehingga terjadilah apa yang disebut dengan strawberry generation, anak yang lembek, kurang daya juang, tetapi ini tidak dapat dipukul rata, karena memang tergantung dari pola asuh dan pendidikan orang tua," imbuhnya.
Peran Tanoto Foundation
Dari sisi lain, lembaga filantropi Tanoto Foundation turut andil dalam mempersiapkan mahasiswa berdaya melalui pengembangan soft skills dan kemampuan kepemimpinan sebagai bekal masuk dunia kerja.
Head of Leadership Development and Scholarship (LDS) Tanoto Foundation, Michael Susanto, mengungkapkan kepada Tribunnews langkahnya yakni melalui beasiswa, pelatihan, program magang, dan pengembangan kewirausahaan.
Tanoto Foundation memberikan berbagai kesempatan yang dapat memperkaya pengalaman dan keterampilan para generasi muda.
Dengan pendekatan yang berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan keterampilan praktis, Michael menyebut, Tanoto Foundation membantu menciptakan generasi Z yang siap menghadapi tantangan dan meraih sukses di dunia kerja.
Program Tanoto Foundation salah satunya berfokus pada pendidikan tinggi, dan dalam hal ini bermitra dengan 10 universitas di Indonesia.
10 universitas mitra tersebut yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Brawijaya (UB), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Mulawarman (Unmul), Universitas Riau (Unri), dan Universitas Sumatera Utara (USU).
"Kami mulai program beasiswa itu sejak 2006. Kemudian pada tahun 2017 yang menyadari bahwa survei dari Kemendikbudristek pada waktu itu melihat bahwa lulusan perguruan tinggi itu tidak mendapat pekerjaan secara cepat dan tidak cepat dipromosikan menjadi manajer, tidak menjadi pemimpin sebuah perusahaan," ungkap Michael.
"Lalu kami bertanya waktu itu apa edukasi yang dapat dilakukan di pendidikan tinggi sehingga mendorong kesuksesan lulusan perguruan tinggi. Kami melakukan studi kurang lebih satu setengah tahun, kami berinteraksi dengan HRD, dengan perusahaan," imbuhnya.
Head of Leadership Development and Scholarship (LDS) Tanoto Foundation, Michael Susanto dalam program talkshow Overview Tribunnews, Kamis (21/11/2024). (Tribunnews)Tanoto Foundation juga berdiskusi dengan pemimpin-pemimpin perusahaan, mengumpulkan kompetensi-kompetensi apa yang diperlukan lulusan pendidikan tinggi untuk bisa direkrut perusahaan.
Termasuk berdiskusi dengan banyak peneliti pendidikan tinggi.
"Akhirnya kami menyimpulkan bahwa jika di pendidikan tinggi seringkali kita hanya belajar technical skill atau hard skill ternyata soft skills-lah yang diperlukan," lanjut Michael.
Di mana keahlian-keahlian seperti berkomunikasi, memimpin orang lain, hingga bagaimana seorang anak muda menjadi bagian dari tim dan berkolaborasi, hal itu yang dianggap menjadi kebutuhan esensial.
Dari situlah akhirnya Tanoto Foundation mengembangkan program beasiswa kepemimpinan, tidak hanya beasiswa saja, namun mahasiswa diberikan akses untuk berlatih kepemimpinan yang berfokus pada soft skills.
"Kami meluncurkan pada tahun 2019 program bersama bernama transformasi edukasi untuk melahirkan pemimpin masa depan (TELADAN)," lanjutnya.
Lewat program TELADAN, Tanoto merekrut mahasiswa-mahasiswi tingkat S1 di perguruan tinggi mitra mereka.
Para mahasiswa ini akan mendaftar sejak semester 1, apabila mereka diterima mereka akan mengikuti program nantinya di semester 2 hingga semester 8.
Dikatakan Michael, setiap tahun ada 8.000 hingga 9.000 mahasiswa yang mendaftar program beasiswa TELADAN, di mana akan diterima sekitar 250 mahasiswa dari berbagai latar sosial ekonomi.
"Dan pada akhirnya fokus utamanya yakni mendorong menciptakan lulusan perguruan tinggi unggul siap menghadapi dinamika dunia kerja, serta mencetak generasi muda yang bertanggung jawab dan menjadi pemimpin masa depan Indonesia," tutupnya.
9 Karakteristik yang Perlu Dikembangkan
Lebih lanjut, Michael Susanto mengungkapkan setidaknya ada sembilan karakteristik kompetensi yang meski dimiliki seorang mahasiswa dan menjadi fokus pelatihan Tanoto Foundation.
Dua di antaranya ialah self-awareness (mawas diri) dan care for others (peduli terhadap sesama).
Kompetensi self-awareness adalah bagaimana mahasiswa-mahasiswi betul-betul mengerti siapa dirinya, di mana kelemahan dan kekuatannya, dan mempunyai kebiasaan untuk merefleksi diri.
"Jadi dia tidak cepat mengambil keputusan atau tidak cepat berasumsi, tapi dia punya kebiasaan untuk merefleksi, keadaannya seperti apa ya, seharusnya apa ya, baru dia mengambil keputusan yang tepat."
"Jadi dia enggak buru-buru gitu ya, baik itu dalam pekerjaan, dalam belajar, maupun dalam keuangan misalnya," tuturnya.
Sementara kompetensi care for others adalah bagaimana mahasiswa memiliki kepedulian terhadap orang lain.
"Jadi bagaimana dia bisa menemukan bahwa dia pun bisa berkontribusi di masyarakat, dia pun bisa menunjukkan kepedulian, bahwa dia bisa menjadi bagian dari sesuatu," ungkap Michael.
Berikut sembilan karakteristik kompetensi yang meski dimiliki mahasiswa:
1. Self Awareness (Mawas Diri)
Memahami kekuatan dan keterbatasannya; mampu mengevaluasi diri, dan memadankan kebiasaan sehari-hari sesuai nilai-nilai yang dijadikan panduan hidup.
2. Driven (Gigih)
Menetapkan cita-cita setinggi mungkin dan siap mengambil risiko untuk maju. Mendorong diri dari zona nyaman dan tidak menyerah saat menghadapi kendala. Percaya diri dan optimis.
3. Integrity (Integritas)
Memilih untuk hidup dan bertindak sesuai dengan prinsip yang dipegang teguh termasuk kejujuran, adil dan santun, serta teguh pada komitmen.
4. Continuous Learning (Pembelajar sepanjang hayat)
Memiliki inisiatif untuk terus menambah ilmu pengetahuannya dan terus menantang dirinya menjadi pribadi dan profesional yang semakin baik. Tidak takut dan belajar dari kesalahan dan memandang kesalahan sebagai kesempatan untuk tumbuh dan mengembangkan diri.
5. Grit (Teguh dan Tekun)
Memiliki ketekunan dalam mengejar minatnya dan keteguhan meski menghadapi rintangan. Memiliki tujuan dan berpegang pada komitmen.
6. Care for Others (Peduli sesama)
Mampu memahami berbagai sudut pandang dan kebutuhan, dan bertenggangrasa terhadap sesama manusia, penuh perhatian, dan tanggap. Menyingkirkan perasaan diri paling penting, fokus pada sesama manusia, dan bekerjasama dengan baik dengan orang lain.
7. Empower Others (Memberdayakan orang lain)
Menunjukkan komitmen untuk membawa kebaikan, tidak gentar mengambil langkah pertama, dan menyingsingkan lengan untuk bergotong-royong dengan orang lain, dan mengeluarkan potensi terbaik orang lain yang bekerja dengannya.
8. Innovative (Inovatif)
Memiliki kreativitas tinggi. Banyak akal untuk memulai sebuah inisiatif dan pemikir yang mandiri. Mereka senantiasa melakukan hal baru.
9. Entrepreneurial Spirit (Semangat wirausaha)
Berpikiran terbuka dan memiliki rasa ingin tahu. Memandang sesuatu dari berbagai sudut pandang. Berorientasi pada masa depan, sangat mampu beradaptasi, dan tidak gentar akan kegagalan.
Michael mengungkapkan, dengan sembilan karakteristik tersebut, mahasiswa bisa memiliki kompetensi sebagai bekal masa depan.
Sehingga, mereka memiliki daya saing di masa depan meski berlatar belakang berbeda.
"Riset yang kami lakukan, menemukan bahwa teman-teman mahasiswa-mahasiswi dari latar belakang sosial ekonomi yang kurang beruntung tadi, dengan pelatihan kepemimpinan, pembangunan karakter dan soft skills, mereka bisa mengejar kompetensi sehingga pada waktu mereka lulus mereka mengejar kompetensi teman-teman dia yang mungkin pada awalnya datang dari latar belakang sosial ekonomi yang lebih beruntung," ungkapnya.
(Tribunnews.com/Gilang Putranto, Garudea Prabawati)