Kotak Kosong, bak Hantu, seperti Minoritas yang Termarginalkan
Petugas PPSU mengangkat kotak suara berisi logistik Pilkada 2024 untuk didistribuskian ke TPS-TPS Kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (26/11/2024). (Dery Ridwansah/ JawaPos.com)
12:56
27 November 2024

Kotak Kosong, bak Hantu, seperti Minoritas yang Termarginalkan

- Sepanjang sejarah pemilihan kepala daerah (pilkada) sejak 2005, hanya di Pemilihan Wali Kota (Pilwali) Makassar, Sulawesi Selatan, 2018 kotak kosong menang. Selebihnya si lawan yang berjaya.

Pada Pilkada Serentak 2024, ada 54 kotak kosong, 53 di antaranya di tataran pemilihan bupati (pilbup) dan pilwali. Hanya satu pemilihan gubernur (pilgub) yang lawannya ”tak berbentuk” alias kotak kosong.

Lalu, bagaimana respons publik sejauh ini terhadap para kandidat tanpa bentuk itu?.

Dalam diskusi bertajuk Kotak Kosong dan Demokrasi dalam Big Data yang dilaksanakan Pusat Kajian Transformasi Masyarakat dan Budaya Digital FISIP UPN Veteran Jawa Timur di gedung kuliah bersama, Surabaya, Senin (25/11) lalu, disebutkan percakapan dengan kata kunci kotak kosong pekan lalu meningkat hingga lebih dari 9.900 dibandingkan pekan sebelumnya.

Moderator sekaligus dosen kajian media sosial FISIP UPN Veteran Jawa Timur Yuli Candrasari menyatakan, data itu didapat lewat data mining di sejumlah platform dan pemberitaan daring. Dosen UPN Veteran Jawa Timur lainnya, Catur Suratnoaji, menganalogikan kotak kosong sebagai hantu. Dia berkaca pada hasil pemilihan umum di Makassar pada 2018.

”Kehadirannya memang diakui di UU No 10 Tahun 2016, tapi tidak diinginkan sebagian besar orang. Dan seperti hantu, ’geraknya’ ini tidak jelas, tidak terdeteksi,” ujarnya.

Catur juga melihat kotak kosong ibarat kaum minoritas yang termarginalkan. Karena intimidasi dan tidak adanya dukungan finansial, para pendukung kotak kosong akhirnya memilih beraktivitas di media sosial (medsos).

Keberadaan medsos pun akhirnya menjadi ”area perang” bagi mereka yang pro maupun kontra dengan kotak kosong, sebagaimana diulas Anang Sudjoko dalam diskusi yang sama. Dosen Universitas Brawijaya itu mengungkapkan, pasangan calon memang masih mempertimbangkan kampanye lewat media mainstream.

”Secara umum, media arus utama sangat struggling, terutama dalam hal perebutan iklan,” imbuhnya.

Anang menjelaskan, biaya ”belanja” tertinggi masih dikucurkan untuk TV, disusul medsos. ”Pertimbangannya, gen Z dan milenial sekarang jarang mengakses TV. Akhirnya, user-generated content terkait calon akhirnya masif,” ujar guru besar FISIP Universitas Brawijaya itu.

Fenomena menjadikan medsos sebagai ”senjata” juga dipaparkan Guru Besar FISIP Universitas Airlangga Henri Subiakto.

Menurut Henri, internet adalah ajang perang komunikasi. Kelebihannya, para calon bisa bebas menciptakan framing maupun citra lewat beragam kemasan konten. Kelemahannya, medsos akhirnya digunakan sebagai alat disinformasi lewat buzzer dan cyber army.

Sementara itu, Kacung Marijan menilai, kotak kosong salah satunya muncul karena budaya pengelompokan kekuatan menjadi suatu kekuatan terpusat sehingga kompetisi berkurang.

”Hal ini juga didorong personalisasi dan sosok kuat calon tunggal yang akhirnya memunculkan pemikiran ’siapa yang lawan ya akan kalah’,” ujarnya.

Menurut dia, kekuatan calon tunggal bisa dikalahkan kotak kosong jika memang ada dorongan kuat dari calon pemilih. Ketika pilkada Makassar, lanjut wakil rektor I Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya itu, masyarakat kecewa lantaran calon petahana kuat tiba-tiba didiskualifikasi. (fam/c19/ttg)

Editor: Ilham Safutra

Tag:  #kotak #kosong #hantu #seperti #minoritas #yang #termarginalkan

KOMENTAR