Apa itu Dissenting Opinion oleh Hakim MK dalam Putusan Sengketa Pilpres? Simak Penjelasannya!
Pada Senin (22/4) Mahkamah Konstitusi membacakan putusan atas sengketa hasil pemilihan presiden (pilpres) 2024.
Kendati demikian, terdapat 3 hakim MK yang menyatakan dissenting opinion, diantaranya Saldi Isra, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan dissenting opinion? Apa tujuan sebenarnya dari mekanisme hukum MK tersebut?
Pengertian
Dilansir dari Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam pada Senin (22/4), dissenting opinion merupakan pendapat yang berbeda secara substansif sehingga menghasilkan amar yang berbeda.
Misalnya saja mayoritas hakim menolak permohonan dari pemohon, tetapi terdapat hakim minoritas mengabulkan permohonan yang bersangkutan, begitupun sebaliknya.
Terdapat konsep lain dalam perbedaan pendapat yang disebut sebagai concurrent opinion.
Suatu putusan dianggap sebagai concurrent opinion apabila terdapat argumentasi anggota majelis hakim yang berbeda dengan mayoritas anggota majelis hakim yang lain namun tidak berimbas pada perbedaan amar putusan.
Putusan MK membedakan kedua jenis putusan tersebut dengan menggunakan frase “alasan berbeda” untuk menyebut concurring opinion dan frase “pendapat berbeda” untuk menyebut dissenting opinion.
Dilansir dari Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam pada Senin (22/4), dalam perspektif perbandingan hukum, dissenting opinion merupakan salah satu terminologi dalam sistem hukum Anglo-Saxon seperti Amerika dan Kerajaan Inggris.
Konsep ini merupakan salah satu bagian dari pendapat hukum (legal opinion). Dengan adanya perbedaan pendapat di sebuah lembaga pengadilan, dapat memungkinkan keragaman sudut pandang.
Sebenarnya dissenting opinion pada negara-negara penganut sistem Eropa kontinental tidak mengenal mekanisme hukum ini.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman termasuk perkembangan hukum, perbedaan pendapat dalam hukum mulai dikenal serta ditetapkan dalam praktik peradilan.
Awalnya, konsep ini tidak memiliki landasan yuridis formal di Indonesia, bahkan dahulu mekanisme hukum ini diperkenalkan dalam konteks pengadilan niaga.
Kemudian pada tahun 1998, pertama kalinya dissenting opinion mendapatkan pijakan hukum dalam Undang-Undang Kepailitan No. 4 Tahun 1998.
Begitupun dalam perkembangannya yang tidak hanya dalam pengadilan niaga, melainkan sekarang dissenting opinion juga diperbolehkan dalam pengadilan lainnya, termasuk dalam Mahkamah Konstitusi.
Hal ini menandai perubahan signifikan dalam proses hukum di Indonesia, di mana keragaman pendapat semakin diberikan ruang dalam pengambilan keputusan hukum.
Hakim sudah seharusnya mematuhi ketentuan hukum yang berlaku dalam memutuskan perkara untuk memastikan keadilan.
Tujuan
Pengenalan dissenting opinion menunjukkan semangat transparansi dalam pengadilan. Jika proses pembacaan putusan hakim terbuka, proses pembentukan putusan juga seharusnya transparan.
Penggunaan tidak hanya bertujuan untuk mengontrol atau mengawasi hakim, tetapi juga bertujuan untuk mengembangkan pendidikan hukum.
Dengan adanya perbedaan pendapat di antara hakim, akademisi dapat melakukan analisis yang lebih mendalam.
Selain itu, sebagaimana yang dikutip dari Laporan Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, dan Pengelola Perpustakaan, Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi pada Senin (22/4), dissenting opinion juga dapat menggambarkan keahlian seorang hakim konstitusi dalam memberikan penafsiran.
Dissenting opinion menjadi tanggung jawab akademis dan moral terhadap proses pengambilan putusan ketika memeriksa suatu perkara.
Bahkan mekanisme hukum ini juga dapat berdampak secara langsung terhadap reputasi hakim itu sendiri.
Sebagaimana dilansir dari Jurnal Lex et Societatis pada Senin (22/4), dissenting opinion juga bertujuan untuk menciptakan kebebasan individu hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, serta menjamin jaminan hak berbeda pendapat setiap hakim.
Tag: #dissenting #opinion #oleh #hakim #dalam #putusan #sengketa #pilpres #simak #penjelasannya