Korupsi yang Dirancang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang, HM Kunang selaku ayah Bupati, dan Sarjan selaku pihak swasta, sebagai tersangka terkait kasus dugaan suap ijon proyek di Kabupaten Bekasi pada Sabtu (20/12/2025).(KOMPAS.com/HARYANTI PUSPA SARI)
09:44
20 Desember 2025

Korupsi yang Dirancang

KORUPSI di Indonesia bukan sekadar pelanggaran hukum, melainkan hasil dari desain kekuasaan yang keliru.

Setiap kali publik diguncang kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan jejaring keluarganya, kemarahan muncul, lalu menghilang.

Sistem tetap berjalan, aktor berganti, pola tetap sama. Ini menandakan satu hal penting: korupsi tidak lagi bersifat deviasi, tetapi terinstitusionalisasi.

Dalam teori institutional corruption (Lessig, 2011), sistem dapat terlihat sah secara hukum, tapi gagal secara etika dan fungsi karena insentif yang mendorong penyimpangan.

Ketika jabatan publik membuka akses terhadap rente ekonomi—anggaran, izin, proyek—maka korupsi menjadi adaptasi rasional, bukan anomali.

Becker (1968) bahkan menegaskan, kejahatan akan terus terjadi selama manfaatnya lebih besar daripada risikonya. Dalam konteks ini, korupsi bukan soal karakter individu, melainkan logika sistem yang salah arah.

Fenomena proyek ijon memperlihatkan bagaimana korupsi dimulai jauh sebelum kekuasaan dijalankan.

Dalam teori political finance (Scarrow, 2007), biaya politik yang mahal menciptakan ketergantungan struktural kandidat pada penyandang dana. Relasi ini melahirkan quid pro quo: dukungan hari ini ditukar dengan kebijakan dan proyek esok hari.

Akibatnya, ruang kebijakan publik telah terkunci sejak awal. APBD kehilangan fungsi sebagai instrumen pembangunan dan berubah menjadi alat pembayaran utang politik.

Dalam kerangka state capture (Hellman, Jones, & Kaufmann, 2000), kebijakan negara dibajak oleh kepentingan sempit sebelum negara sempat menjalankan mandatnya. Inilah sebabnya korupsi di tingkat daerah sering bersifat masif, terencana, dan tidak mudah dibongkar.

Negara-negara yang berhasil keluar dari jebakan ini tidak memulai dari moral, tetapi dari pembenahan desain politik.

Jerman dan Kanada, misalnya, menekan korupsi bukan dengan hukuman ekstrem, tetapi dengan membuat biaya politik murah, transparan, dan diaudit ketat.

Dana kampanye dibatasi, dilaporkan real-time, dan pelanggaran administratif ditindak cepat. Hasilnya, insentif untuk menjual proyek sebelum berkuasa menjadi tidak rasional.

Negara lemah, keluarga menguat

Keterlibatan keluarga dalam korupsi sering disederhanakan sebagai nepotisme. Padahal, secara teoritik, ia merupakan solusi informal atas lemahnya institusi.

Dalam principal–agent theory (Jensen & Meckling, 1976), masalah utama bukan niat, melainkan kepercayaan. Ketika sistem hukum tidak mampu menjamin kepastian dan perlindungan, aktor politik memilih keluarga dan kolega sebagai trust network.

Di sinilah korupsi berubah menjadi organisasi ekonomi tertutup. Keluarga dan kolega berfungsi sebagai penyimpan aset, perantara proyek, dan pelindung konflik kepentingan.

Hukuman pidana terhadap individu menjadi tidak efektif karena aset dan kendali tersebar. Penindakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan kapasitas negara, tapi teori deterrence menegaskan bahwa tanpa pemiskinan aset dan pemutusan jaringan, efek jera hanya bersifat simbolik.

Sebaliknya, Singapura memutus korupsi keluarga dengan pendekatan berbeda. Negara ini tidak hanya menghukum pelaku, tetapi menghilangkan ruang aman bagi aset dan konflik kepentingan.

Transparansi kekayaan, larangan keras keterlibatan keluarga dalam urusan negara, serta kepastian hukum yang cepat membuat korupsi menjadi risiko karier yang permanen, bukan spekulasi sesaat.

Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa korupsi tidak diberantas, melainkan digantikan. Digantikan oleh sistem yang membuat korupsi tidak rasional secara ekonomi, politik, dan sosial.

Georgia pasca-2004, misalnya, tidak memulai dengan memburu semua pelaku lama, tetapi dengan memotong total ruang rente melalui digitalisasi layanan publik, deregulasi radikal, dan pemecatan massal aparat korup. Hasilnya, peluang korupsi runtuh karena sistemnya tidak lagi menyediakan celah.

Pelajaran utamanya jelas: negara harus beralih dari pendekatan moralistik ke rekayasa insentif. Pembiayaan politik harus transparan dan murah.

Hukuman harus menargetkan manfaat ekonomi, bukan sekadar badan. Konflik kepentingan keluarga harus ditutup secara sistemik.

Data anggaran dan pengadaan harus terbuka, dapat dilacak, dan diawasi publik. KPK perlu diposisikan bukan hanya sebagai penindak, tetapi sebagai arsitek sistem pencegahan yang mengikat.

Namun, desain negara tidak akan bekerja tanpa masyarakat. Dalam teori collective action (Olson, 1965), kejahatan sistemik bertahan karena publik tidak bertindak serempak.

Normalisasi korupsi kecil, toleransi politik uang, dan cepatnya publik melupakan skandal membuat korupsi hidup dari kelelahan sosial.

Negara-negara yang berhasil menekan korupsi membangun ingatan publik yang panjang, bukan sekadar kemarahan sesaat.

Korupsi di Indonesia tidak akan berhenti karena kita membencinya. Ia berhenti ketika sistem membuatnya bodoh untuk dilakukan.

Ketika biaya politik transparan, ketika hukuman finansial melampaui hasil kejahatan, ketika keluarga tidak lagi menjadi benteng, dan ketika publik tidak mudah lupa.

Selama jabatan masih diperlakukan sebagai investasi, proyek sebagai panen, dan kekuasaan sebagai warisan, korupsi akan terus hidup. Bukan sebagai kecelakaan, tetapi sebagai konsekuensi desain yang belum kita berani ubah.

Pertanyaannya kini tinggal satu: apakah negara siap mengganti korupsi dengan sistem yang lebih rasional, atau terus hidup dalam korupsi yang ia rancang sendiri?

Tag:  #korupsi #yang #dirancang

KOMENTAR