Dari OTT ke Jejak Dana Gelap Pilkada: Seberapa Mahal Biaya Kampanye Calon Kepala Daerah?
- Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya, diduga menerima Rp 5,75 miliar dari fee pengondisian proyek, Rp 5,25 miliar untuk lunasi dana kampanye Pilkada 2024.
- Laporan dana kampanye Ardito (Rp 659 juta) tidak sesuai dengan dana yang dilaporkan digunakan untuk pelunasan pinjaman kampanye sebesar Rp 5,25 miliar.
- ICW merekomendasikan revisi UU Pilkada, sanksi diskualifikasi bagi pelaporan tidak jujur, dan audit investigatif dana kampanye demi transparansi.
Biaya politik yang kian mencekik sering kali jadi cerita yang tak pernah selesai—dan kasus terbaru Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya, kembali menyingkapnya. Di balik ruang-ruang kantor pemerintahan yang tampak tenang, ada tekanan tak kasat mata: kebutuhan modal besar untuk menang pemilu, janji-janji yang harus dibayar, hingga godaan aliran dana gelap yang terus mengintai.
Ketika OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyeruak, publik bukan hanya melihat angka, tapi pola lama yang terus berulang.
Dalam konstruksi perkaranya, Plh Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Mungki Hadipratikto menjelaskan bahwa Ardito diduga total uang sebanyak Rp 5,75 miliar dari fee pengkondisian proyek di Lampung Tengah.
Dari jumlah tersebut, Mungki mengungkapkan bahwa Rp 5,25 miliar di antaranya diduga digunakan Ardito untuk membayar pinjaman uang yang sebelumnya dia gunakan untuk pembiayaan kampanye pada Pilkada 2024.
“Total aliran uang yang diterima AW mencapai kurang lebih Rp 5,75 miliar, yang diantaranya diduga digunakan untuk dana operasional Bupati sebesar Rp 500 juta dan pelunasan pinjaman bank yang digunakan untuk kebutuhan kampanye di tahun 2024 sebesar Rp 5,25 miliar,” kata Mungki di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025).
PerbesarIlustrasi Kronologi Dugaan Suap Bupati Lampung Tengah. (Suara.com/Aldie)Ketidaksesuaian Laporan Dana Kampanye
Jika dilihat dari Hasil Audit Laporan Dana Kampanye Pilkada Kabupaten Lampung Tengah 2024, dana kampanye yang dilaporkan Ardito sebenarnya tidak mencapai Rp 5,25 miliar.
Berdasarkan Pengumuman Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Lampung Tengah Nomor 685/PL.02.5-Pu/1802/2/2024, penerimaan dana kampanye pasangan Ardito Wijaya - Komang Koheri sekitar Rp 659 juta (Rp 659.177.790) dan pengeluarannya sebanyak Rp 649 juta (Rp 649.207.059).
PerbesarIlustrasi OTT Bupati Lampung Tengah. (Suara.com/Aldie)Aturan Ketat Soal Sumber dan Batas Dana Kampanye
Aturan mengenai dana kampanye calon kepala daerah sebenarnya sudah tertera pada Peraturan KPU (PKPU) Nomor 14 tahun 2024. Mengenai sumber dana, misalnya, KPU memberi batasan soal dana yang berasal dari sumbangan melalui ketentuan pada Pasal 9, yaitu:
(1) Dana Kampanye yang berasal dari sumbangan pihak lain perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a, paling banyak Rp 75.000.000,00 selama masa Kampanye.
(2) Dana Kampanye yang berasal dari sumbangan pihak lain badan hukum swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf b, paling banyak Rp 750.000.000,00 selama masa Kampanye.
Dalam konteks perkara Ardito Wijaya, PKPU 14/2024 juga sudah mengatur soal dana kampanye yang berasal dari hutang atau pinjaman pada Pasal 9 ayat (6) yang berbunyi: Hutang atau pinjaman Partai Politik Peserta Pemilu atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu dan/atau Pasangan Calon yang timbul dari penggunaan uang atau barang dan jasa dari pihak lain, diberlakukan ketentuan pembatasan sumbangan Dana Kampanye dan pengaturannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2).
Adapun pembatasan pengeluaran dana kampanye calon kepala daerah ditetapkan oleh KPU Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan metode kampanye, jumlah kegiatan kampanye, perkiraan jumlah peserta kampanye, standar biaya daerah, bahan kampanye yang diperlukan, cakupan wilayah dan kondisi geografis, logistik, serta manajemen kampanye/konsultan.
Berdasarkan laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang ditulis Peneliti ICW Seira Tamara dan dipublikasi pada Februari 2025, rata-rata penerimaan sumbangan yang diterima oleh 36 pasangan calon di tingkat provinsi adalah sebesar Rp 9,6 miliar.
Rentang penerimaan sumbangan pun cukup timpang bila membandingkan antara jumlah penerimaan terkecil dan terbesar. Pada pemilihan calon gubernur dan wakil gubernur, total sumbangan terendah (di luar penerimaan Rp 0) bernilai Rp 286,8 juta sedangkan penerimaan total sumbangan tertinggi mencapai Rp 66 miliar.
Seira menulis terdapat pula satu pasangan calon yang melaporkan penerimaan sumbangan dengan nominal Rp 0. Pasangan tersebut adalah Hendrik Leweissa dan Abdullah Vanath yang berasal dari Provinsi Maluku. Namun, pasangan calon tersebut mencatatkan penerimaan sebelum periode pembukuan sebesar Rp 3,5 miliar.
Di tingkat kabupaten/kota, jumlah penerimaan sumbangan relatif lebih kecil dibanding pada tingkat provinsi. Secara umum, nilai rata-rata penerimaan sumbangan 38 pasangan calon pada tingkat ini berkisar Rp 1,6 miliar, dengan total penerimaan sumbangan terkecil berjumlah Rp 25 juta, dan terbesar berjumlah Rp 5,7 miliar.
Indikasi Pengeluaran Fiktif dan Masalah Transparansi
Pada pemilihan kepala daerah tingkat provinsi, rata-rata jumlah pengeluaran 36 pasangan calon di 15 daerah adalah sebesar Rp 9 miliar. Di tingkat kabupaten/kota, rata-rata pengeluaran 38 pasangan calon di 15 daerah adalah sebesar Rp 1,6 miliar.
ICW menduga adanya indikasi bahwa pencatatan pengeluaran kampanye dilakukan secara tidak jujur. Pasalnya, tercatat masih banyak paslon yang melaporkan pengeluaran sebesar Rp 0 untuk beberapa kegiatan kampanye.
Nominal Rp 0 tersebut bahkan juga dicatatkan pada aktivitas yang tidak mungkin tidak dilakukan dalam hal pengenalan dan sosialisasi calon kepada masyarakat, seperti pertemuan terbatas dan pembuatan, pemasangan, serta penyebaran alat peraga kampanye.
Misalnya, pasangan Wayan Koster - I Nyoman Giri Prasta dari Provinsi Bali yang mencatatkan pengeluaran sebesar Rp 0 untuk delapan aktivitas kampanye. Yang artinya, pasangan tersebut tidak mengeluarkan biaya sepeser pun untuk aktivitas kampanye.
Di sisi lain, kandidat tersebut mencantumkan pengeluaran sebesar Rp 3,4 miliar ke dalam kategori “pengeluaran lain”.
Ongkos Politik Tinggi dan Dorongan Reformasi
Permasalahan penggunaan uang hasil tindak pidana korupsi untuk dana kampanye tidak terlepas dari tingginya ongkos politik bagi peserta pemilu dan pilkada. Setidaknya, hal itu senada dengan pandangan Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Bidang Tata Kelola Kebijakan Publik Prof. Gabriel Lele.
Menurut dia, motif utama yang memungkinkan para pejabat melakukan tindak pidana korupsi ialah mahalnya biaya politik ketika pencalonan dan kurangnya tindak adil negara dalam memperlakukan ‘kesejahteraan’ kepala daerah untuk mengembalikan dana yang telah mereka gunakan dalam pencalonan.
“Sebagian kepala daerah pembiayaannya bukan ditanggung partai tetapi mayoritas harus mencari sendiri,” kata Gabriel dalam pernyataannya yang dipublikasi di laman resmi UGM, dikutip pada Jumat (12/12/2025).
Gabriel menekankan bahwa idealnya masyarakat yang memutuskan memilih seseorang atau sebuah partai karena pertimbangan programatik calon pemimpin, bukan karena hal lain, khususnya politik uang.
“Kalau publiknya mau berani menolak serangan fajar misalnya, bantuan-bantuan tidak jelas dengan motif politik, saya kira partai politik juga akan memikirkan kembali hal tersebut,” ujar Gabriel.
Dia menjelaskan untuk menekan korupsi para kepala daerah, perlu adanya kesadaran politik atau pendidikan politik masyarakat.
Selama mayoritas masyarakat masih terhimpit dengan kemiskinan, tingkat pendidikan rendah, tidak akan ada perubahan.
Dengan meningkatkan kesadaran politik, maka masyarakat semakin sadar bahwa suara mereka itu penting dan tidak bisa diperjualbelikan.
Rekomendasi ICW untuk Reformasi Dana Kampanye
Dari segi regulasi dan penyelenggaraan pemilu, ICW memberikan masukan untuk transparansi dana kampanye seperti pembahasan revisi UU Pilkada yang harus dilakukan dengan menitikberatkan pada perbaikan substansi salah satunya mengenai mekanisme pelaporan dana kampanye.
“Penetapan sanksi diskualifikasi terhadap pelaporan dana kampanye yang dilakukan secara tidak jujur, serta pelaporan melewati batas waktu dan tidak melaporkan sama sekali harus mendapatkan sanksi diskualifikasi.
Hal ini perlu diatur dalam regulasi setingkat UU, agar peraturan teknis di bawahnya tidak memiliki celah untuk mengatur hal yang bertentangan,” tulis Seira.
Selain itu, ICW juga mendorong mekanisme audit dalam pelaporan dana kampanye Pilkada harus diubah menjadi audit investigatif agar dapat dilakukan penelusuran terhadap substansi yang dilaporkan.
Banyaknya temuan kecurangan dalam pelaporan dana kampanye harus menjadi dasar yang cukup untuk melakukan proses audit yang lebih dari sekadar kepatuhan administratif.
“KPU harus mengedepankan partisipasi publik dalam mengawasi laporan dana kampanye sebagai bagian dari langkah pencegahan fraud. Hal ini perlu dilakukan dengan memastikan transparansi, akuntabilitas, serta aksesibilitas informasi dana kampanye agar dapat diperoleh secara mudah oleh publik,” tandas Seira.
Kasus Ardito mungkin hanya satu bab dari buku panjang mahalnya demokrasi lokal di Indonesia, tapi setiap OTT adalah alarm keras bahwa sistemnya masih bocor.
Selama transparansi belum jadi budaya dan publik belum benar-benar berani menolak politik uang, cerita seperti ini akan terus terulang. Pertanyaannya tinggal satu: seberapa lama kita mau membiarkan harga demokrasi dibayar dengan integritas yang hilang?
Tag: #dari #jejak #dana #gelap #pilkada #seberapa #mahal #biaya #kampanye #calon #kepala #daerah