Sengketa Lahan Jusuf Kalla, Anggota DPR: Mantan Wapres Saja Jadi Korban, Apalagi Rakyat Kecil
Anggota Komisi II DPR Azis Subekti menyoroti sengketa lahan antara PT Hadji Kalla, perusahaan milik Wakil Presiden (Wapres) ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla (JK), dan PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) Tbk, di mana pengadilan memenangkan GMTD.
Azis mengatakan, kasus sengketa tanah seluas 16,4 hektar di Makassar itu kembali membuka mata publik bahwa isu mafia tanah dan carut-marut administrasi pertanahan di masa lalu bukan sekadar isu, tetapi kenyataan pahit yang bisa menimpa siapa saja.
"Kalau seorang mantan Wakil Presiden saja bisa menjadi korban salah kelola administrasi pertanahan, apalagi rakyat kecil yang tidak punya akses kuasa dan jaringan," ujar Azis dalam keterangannya, Jumat (14/11/2025).
Azis menjelaskan, ramainya pemberitaan mafia tanah selama ini menegaskan adanya persoalan serius dalam tata kelola pertanahan, termasuk dugaan keterlibatan oknum-oknum internal di lembaga pertanahan pada masa lalu.
Menurut dia, penerbitan sertifikat ganda, data yang tumpang tindih, hingga proses administrasi yang tidak transparan telah melahirkan ketidakpastian hukum yang merugikan warga negara serta menggerus kepercayaan publik terhadap negara.
"Kasus sertifikat ganda yang menimpa Pak Jusuf Kalla berasal dari produk administrasi lama BPN. Ini bukan kasus tunggal. Data nasional mencatat sedikitnya 11.083 sengketa tanah, 506 konflik, dan 24.120 perkara tanah pada 2024, dengan tingkat penyelesaian baru sekitar 46,88 persen. Sampai bulan Oktober 2025, Kementerian ATR/BPN mencatat 6.015 kasus pertanahan yang diterima dan 50 persen sudah diselesaikan," ujar Azis.
Itu artinya, kata Azis, lebih dari separuh masalah pertanahan masih menggantung dan berpotensi menjadi sumber ketidakpastian hukum maupun konflik sosial di masa depan.
Politikus Partai Gerindra ini menyampaikan, yang lebih memprihatinkan, rakyat kecil justru berada di posisi paling rentan.
Dia memaparkan bahwa sepanjang 2024, terdapat sekitar 2.161 kasus pertanahan yang melibatkan masyarakat kecil.
Bila seorang mantan Wapres saja bisa menjadi korban malaadministrasi,brisiko bagi petani, nelayan, dan warga biasa jauh lebih besar.
"Banyak dari mereka tidak memiliki kemampuan hukum, akses informasi, atau jaringan politik untuk memperjuangkan haknya. Di sinilah negara harus hadir secara aktif, bukan pasif," kata anggota Pansus Penyelesaian Konflik Agraria DPR itu.
Azis pun menekankan bahwa kasus sengketa tanah di Makassar yang menyebabkan Jusuf Kalla merasa dirugikan akibat malaadministrasi oknum BPN harus dijadikan pelajaran penting.
Dia menilai ini adalah momentum untuk membenahi total keterbukaan administrasi dan sistem pemberian hak atas tanah, dari hulu hingga hilir.
"Tidak boleh lagi ada ruang abu-abu yang memungkinkan terjadinya sertifikat ganda, manipulasi data, maupun praktik percaloan yang merugikan warga negara," kata Azis.
Azis mendesak Kementerian ATR/BPN perlu membuka ruang seluas-luasnya bagi penanganan kasus serupa yang melibatkan rakyat kecil.
"Negara harus hadir, bukan hanya dengan menyelesaikan kasus besar yang menjadi sorotan media, tetapi juga dengan menuntaskan ribuan kasus senyap yang menjerat rakyat kecil di berbagai daerah," ucap Azis.
Azis pun mendukung penuh langkah tegas Menteri ATR/BPN Nusron Wahid untuk membersihkan institusi dari oknum yang bermain dalam urusan tanah dan mempercepat reformasi sistem administrasi pertanahan.
Menurut dia digitalisasi data, transparansi proses pelayanan, mekanisme pengawasan yang kuat, serta akses informasi yang mudah bagi publik harus dipercepat.
"Kasus yang menimpa Pak Jusuf Kalla ini harus menjadi titik balik. Negara tidak boleh kalah oleh mafia tanah. Tanah di Indonesia harus kembali pada fungsi mulianya: memberi kepastian hidup yang adil bagi seluruh rakyat, dari tokoh bangsa hingga rakyat paling kecil sekalipun," imbuhnya.
Sengketa lahan Jusuf Kalla
Sebelumnya, JK meluapkan kekesalannya atas sengketa lahan antara Hadji Kalla dengan Gowa Makassar Tourism Development (GMTD).
Ia menuding ada praktik mafia tanah dalam kasus tersebut.
JK menilai, eksekusi lahan oleh Pengadilan Negeri (PN) Makassar yang dilakukan dua hari sebelumnya tidak sah secara hukum.
Pernyataan itu disampaikan langsung oleh JK saat meninjau lokasi sengketa di Jalan Metro Tanjung Bunga, Tamalate, Makassar, pada Rabu (5/11/2025) pagi.
Menurut JK, lahan seluas 16,4 hektar tersebut telah dimiliki Hadji Kalla sejak tahun 1993.
Namun, pengadilan justru memenangkan pihak GMTD.
“Kalau begini, nanti seluruh kota (Makassar) dia akan mainkan seperti itu, merampok seperti itu. Kalau Hadji Kalla saja dia mau main-main, apalagi yang lain,” kata JK.
“Padahal, ini tanah saya sendiri yang beli dari Raja Gowa, kita beli dari anak Raja Gowa. Ini kan dulu masuk Gowa ini. Sekarang masuk Makassar,” sambung dia.
Tag: #sengketa #lahan #jusuf #kalla #anggota #mantan #wapres #saja #jadi #korban #apalagi #rakyat #kecil