Menakar Efektivitas CKG di Tengah Ancaman Penyakit Serius di Indonesia
Program Cek Kesehatan Gratis (CKG) yang dijalankan pemerintah Presiden Prabowo mendapat tanggapan beragam dari warga Samarinda. Sebagian masyarakat menilai program ini membantu mereka mengetahui kondisi kesehatan tanpa biaya, sementara sebagian lainnya mengaku belum mengetahui keberadaan layanan tersebut. Kamis (16/10/2025).(Pandawa Borniat/kompas.com)
05:02
14 November 2025

Menakar Efektivitas CKG di Tengah Ancaman Penyakit Serius di Indonesia

- Penyakit tidak menular kini menjadi ancaman terbesar kesehatan masyarakat Indonesia. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, enam dari sepuluh penyebab kematian tertinggi berasal dari penyakit seperti jantung, stroke, kanker, diabetes, dan hipertensi.

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa penyakit tidak menular (PTM) kini menjadi penyebab utama kematian di Indonesia, mencapai sekitar 73 persen dari seluruh kasus kematian.

Dari angka tersebut, penyakit jantung dan pembuluh darah menyumbang sekitar 35 persen, diikuti kanker 12 persen, penyakit saluran pernapasan kronis 6 persen, dan diabetes 6 persen.

Di tengah situasi itu, pemerintah meluncurkan program Cek Kesehatan Gratis (CKG) sebagai upaya memperkuat deteksi dini dan pencegahan penyakit kronis.

Program ini menjadi salah satu langkah strategis dalam transformasi kesehatan nasional, dengan harapan mampu menekan angka kesakitan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Deteksi dini penyakit

Program cek kesehatan gratis diluncurkan pada Februari 2025. Program ini telah dimanfaatkan 43 juta masyarakat Indonesia. 

Presiden Prabowo Subianto menyebut program CKG  sebagai terobosan besar dalam sejarah pelayanan kesehatan publik.

“Ini saya kira program pertama kali juga di sejarah Republik kita, setiap warga negara berhak cek kesehatan gratis sekali dalam setahun pada hari ulang tahun dia, dan ini mampu kita untuk bisa mencegah di saat dini,” ujar Prabowo dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana, Jakarta, Senin (20/10/2025).

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut semakin dini penyakit ditangani maka peluang sembuh akan lebih besar. Dengan begitu, akan terhindar dari penyakit katastropik dan kecacatan bahkan kematian.

“Program ini bukan hanya soal jumlah peserta, tapi bagaimana hasilnya kita gunakan untuk memperkuat kebijakan, layanan kesehatan, dan intervensi di masyarakat,” katanya. 

Hasil CKG menunjukkan beragam masalah kesehatan di setiap kelompok usia. Pada bayi baru lahir, ditemukan risiko kelainan saluran empedu (18,6 persen), berat badan lahir rendah (6,1persen), dan penyakit jantung bawaan kritis (5,5 persen).

Di kelompok balita dan anak prasekolah, masalah gigi tidak sehat (31,5 persen), stunting (5,3 persen), dan wasting (3,8 persen) masih dominan. Sementara pada remaja, ditemukan aktivitas fisik kurang (60,1 persen), karies gigi (50,3 persen), dan anemia (27,2 persen).

Adapun pada lansia, sebanyak 96,7 persen tercatat kurang aktivitas fisik dan 37,7 persen mengalami hipertensi.

Budi juga menegaskan, CKG merupakan bagian dari enam pilar transformasi kesehatan nasional, terutama penguatan layanan primer dan pemanfaatan teknologi.

Pemerintah memperluas kemampuan rumah sakit daerah menangani penyakit prioritas, seperti jantung, stroke, dan kanker, sekaligus memperkuat sistem rujukan.

Melalui integrasi aplikasi Satu Sehat, hasil pemeriksaan CKG kini dapat dipantau secara nasional.

“Sebagian besar dari 10.000 puskesmas, 15.000 klinik, dan 3.200 rumah sakit sudah mulai terhubung dengan sistem ini,” ujar Budi.

Fokus ke penyakit berbahaya

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto menilai, indikator kesehatan nasional masih jauh tertinggal dibanding negara tetangga.

Salah satu tolok ukurnya adalah umur harapan hidup, yang masih berkisar di angka 72–73 tahun, sementara Singapura dan Malaysia sudah mendekati 80 tahun.

“Kalau negara maju itu sehat, umur harapan hidupnya tinggi. Di kita, angka kematian ibu dan bayi masih tinggi, kasus TBC nomor dua di dunia, penyakit katastrofik seperti jantung dan kanker juga besar. Jadi memang indikator kesehatan kita belum optimal,” ujarnya kepada Kompas, Minggu (3/11/2025).

Menurut Slamet, CKG merupakan langkah baik, namun perlu dijalankan secara sistematis dan berkelanjutan. Ia mengingatkan, deteksi dini hanya akan efektif bila dibarengi dengan penguatan fungsi puskesmas sebagai pusat edukasi dan pencegahan, bukan semata tempat pengobatan.

“Semua penyakit katastrofik seperti jantung dan stroke bisa dicegah melalui program promotif dan preventif. Tapi sistem itu belum berjalan maksimal,” ujar dia.

Namun, Slamet menilai bahwa sistem cakupan pemeriksaan CKG terlalu banyak dan kurang efisien. Ia menyarankan agar pemeriksaan CKG difokuskan pada tiga penyakit paling berbahaya, yakni diabetes, hipertensi, dan TBC.

“Ini tiga penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Kalau item pemeriksaannya terlalu banyak, program jadi tidak fokus. Yang penting adalah tiga itu dulu. Dari situ, baru (nanti) dikembangkan,” tambahnya.

Selain itu, dia juga mengingatkan bahwa sistem layanan kesehatan di Indonesia masih terlalu berorientasi pada pengobatan (kuratif). Sementara fungsi pencegahan (preventif) belum berjalan optimal. 

“Jadi sistem promotif dan preventif kita ini yang harus diperkuat lagi. Selama ini tidak berjalan baik, akibatnya umur harapan hidup kita masih rendah. Fungsi puskesmas harus dikembalikan ke fungsi edukasi dan pencegahan, bukan hanya CKG,” katanya.

Menurutnya, keberhasilan sistem kesehatan nasional tidak hanya diukur dari jumlah rumah sakit atau alat medis modern yang dimiliki. Namun, sejauh mana pemerintah mampu membangun kesadaran hidup sehat dan pencegahan penyakit sejak dini.

“Jadi CKG adalah bagian dari itu, tapi bagian kecil. Yang utama adalah petugas puskesmas keliling. Keliling rumah-rumah, desa-desa. Kalau CKG hanya nunggu di puskesmas, ya percuma. Harus jemput bola,” tegas dia.

Jawab kesenjangan

Guru Besar Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Wahyudi Kumorotomo mengingatkan agar arah pembangunan kesehatan tidak terjebak pada industrialisasi dan komersialisasi layanan.

“Sekarang ini banyak kebijakan yang condong ke industrialisasi, seolah-olah ukuran kemajuan kesehatan adalah seberapa banyak rumah sakit dan alat canggih yang kita miliki,” ujarnya.

Ia menilai, investasi di sektor infrastruktur memang penting, tetapi pemerataan SDM kesehatan, dokter, perawat, dan tenaga paramedis, lebih mendasar.

“Kita punya rumah sakit baru, tapi di daerah masih ada KLB campak, TBC, malaria, bahkan anak yang meninggal karena cacingan. Itu ironi,” kata Wahyudi.

Kasus-kasus seperti itu, lanjutnya, menunjukkan bahwa pemerataan layanan dasar dan edukasi masyarakat masih menjadi pekerjaan rumah besar.

Dia menyebut, CKG harus diarahkan untuk menjawab kesenjangan tersebut, bukan sekadar menjadi kegiatan rutin tanpa tindak lanjut.

Tag:  #menakar #efektivitas #tengah #ancaman #penyakit #serius #indonesia

KOMENTAR