PDI-P: Putusan MK soal Pendidikan Gratis Hancurkan Diskriminasi Sosial
Seminar Nasional bertajuk “Mewujudkan Amanat Konstitusi, Pendidikan Dasar Gratis untuk Meningkatkan SDM Unggul Berdaya Saing” di Sekolah Partai PDI-P, Lenteng Agung, Jakarta, Senin (30/6/2025).(KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA)
12:42
30 Juni 2025

PDI-P: Putusan MK soal Pendidikan Gratis Hancurkan Diskriminasi Sosial

Kepala Badan Sejarah Indonesia PDI Perjuangan (PDI-P), Bonnie Triyana, menyebutkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 sebagai tonggak bersejarah yang menghancurkan diskriminasi sosial dalam dunia pendidikan.

Putusan tersebut menegaskan, pendidikan dasar tanpa pungutan biaya juga berlaku di sekolah swasta.

Putusan MK ini memecahkan persoalan pendidikan yang sudah lama bersifat diskriminatif karena status ekonomi. Sekarang kita hancurkan tembok diskriminasi itu, sehingga setiap orang bisa sekolah, tidak lagi terdiskriminasi," kata Bonnie dalam Seminar Nasional bertajuk “Mewujudkan Amanat Konstitusi, Pendidikan Dasar Gratis untuk Meningkatkan SDM Unggul Berdaya Saing” di Sekolah Partai PDI-P, Lenteng Agung, Jakarta, Senin (30/6/2025).

Bonnie menilai putusan MK ini bukan sekadar keputusan hukum, melainkan langkah progresif yang menjadi perwujudan nyata dari cita-cita Presiden Pertama RI Soekarno atau Bung Karno untuk menciptakan keadilan sosial melalui akses pendidikan yang merata.

“Bung Karno menyadari bahwa pendidikan adalah hak seluruh warga negara, bukan hanya milik segelintir orang. Karena itu, diskriminasi pendidikan yang lahir dari sistem kolonial harus kita pecahkan,” ujar dia.

Ia menyinggung sejarah panjang ketidakadilan dalam akses pendidikan di Indonesia, sejak masa kolonial hingga awal kemerdekaan.

Bonnie mencontohkan gambaran ketimpangan sosial dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam.

Novel itu menceritakan kisah seorang anak pedagang tempe bernama Lantip.

“Lantip ini tidak bisa sekolah karena dia anak orang kecil. Tetapi ketika dipungut oleh keluarga Sastrodarsono yang seorang priayi, status sosialnya naik dan dia bisa sekolah. Itu di zaman kolonial," ungkap Bonnie.

Ia juga menyebut sekolah-sekolah pada masa Hindia Belanda dibagi berdasarkan kelas sosial, di mana hanya anak-anak elite yang bisa mengakses sekolah bergengsi seperti Europeesche Lagere School dan sekolah hukum.

“Rakyat biasa hanya bisa masuk sekolah rakyat seperti Ongko Loro, yang paling banter hanya melahirkan buruh atau pekerja kasar,” ungkap Bonnie.

Bonnie meminta pemerintah untuk tidak hanya menyambut putusan MK secara simbolis, tetapi benar-benar melaksanakannya dengan serius dan menyeluruh.

Menurutnya, ini adalah kesempatan untuk memperbaiki ketimpangan struktural dalam pendidikan Indonesia.

“Ini bukan hanya soal biaya, tetapi soal keadilan sosial dan hak dasar setiap anak bangsa,” tegasnya.

Seminar nasional ini menghadirkan sejumlah tokoh dan pemangku kepentingan sebagai narasumber, di antaranya Hakim MK Arief Hidayat, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Fajar Rizal Ul Haq, Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Suprapto (mewakili Dirjen Anggaran), serta Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora BRIN, Yan Rianto.

Turut hadir pula fungsionaris DPP PDIP seperti Rokhmin Dahuri, Sadarestuwati, Tri Rismaharini, dan Wuryanti Sukamdani, serta perwakilan DPD dan DPC dari wilayah Jabodetabek, daerah 3T, dan daerah marginal.

Seminar juga disaksikan lebih dari 800 peserta lainnya secara daring melalui platform Zoom, termasuk kader partai, anggota fraksi, dan kepala daerah.

Tag:  #putusan #soal #pendidikan #gratis #hancurkan #diskriminasi #sosial

KOMENTAR