



Indonesia dan Bayang-bayang Krisis Pengungsi Berkepanjangan
HARI pengungsi sedunia kembali diperingati tanggal 20 Juni setiap tahunnya. Kedatangan ratusan ribu pengungsi Indocina sebagai dampak langsung dari perang Vietnam di tahun 1970-an, menjadi titik balik bagi masuknya gelombang pengungsi ke Indonesia.
Lebih dari lima dekade setelahnya, saat ini UNHCR mencatat lebih dari 13.000 pengungsi yang berada di Indonesia. Angka tersebut belum termasuk pengungsi mandiri yang tidak masuk dalam daftar resmi UNHCR.
Kala itu, Indonesia menerima ratusan ribu pengungsi Vietnam yang kemudian ditempatkan di Pulau Galang untuk sementara waktu.
Persoalan pengungsi tersebut selesai ketika para pengungsi direpatriasi dan ditempatkan ke negara ketiga.
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan posisi geografis strategis, menjadi salah satu negara transit (transit-country) di Asia-Pasifik yang menjadi tempat kedatangan pengungsi, sebelum mereka melanjutkan ke negara tujuan (destination-country).
Meskipun belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, Indonesia tetap menerima kedatangan pengungsi dengan berlandaskan pada prinsip non-refoulment.
Konsep ini yang kemudian menjadi hukum kebiasaan atau customary international law, menekankan larangan bagi suatu negara untuk menolak dan mengembalikan pengungsi ke negara asalnya yang akan membahayakan nyawa mereka akibat kekerasan dan konflik yang terjadi.
Dalam kerangka hukum Indonesia, upaya penanganan pengungsi tertuang dalam Perpres No. 125 Tahun 2016 tentang penanganan pengungsi luar negeri.
Namun, tidak adanya kebijakan lanjutan yang secara eksplisit menjelaskan masalah-masalah dalam Perpres No. 125 tersebut menyebabkan kekosongan kebijakan teknis lanjutan dan menempatkan para pengungsi dalam situasi tidak menentu.
Dilema Indonesia
Meskipun dinilai belum merangkum kebijakan pengungsi secara komprehensif, tapi Perpres No.125 menunjukkan adanya perubahan kebijakan pendekatan keamanan di Indonesia dari yang awalnya belum menaruh perhatian serius terhadap keselamatan pengungsi, bergeser ke arah pendekatan yang menghormati rezim pengungsi Internasional.
Terutama untuk tidak melakukan pengusiran paksa atau pengembalian pengungsi yang mencari perlindungan ke negaranya.
Sebelumnya, dalam UU Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, bahkan tidak mencantumkan definisi pencari suaka dan pengungsi, dan mengkategorikan keduanya dalam istilah imigran ilegal.
Meskipun demikian, hal ini menimbulkan aspek dilematis bagi Indonesia. Selama ini, Indonesia menekankan dirinya hanya sebagai negara transit. Artinya, pengungsi dan pencari suaka yang datang nantinya akan di-epatriasi dan ditempatkan kembali ke negara ketiga yang merupakan negara maju.
Namun, seiring dengan pengurangan kuota penempatan yang dilakukan oleh negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa dan Australia, pengungsi semakin diposisikan dalam situasi pengungsian transit yang berkepanjangan (protracted transit situation).
Situasi pengungsi yang berlarut-larut telah memberikan beban khusus bagi Indonesia. Meskipun mayoritas pengungsi dibiayai oleh UNHCR, IOM serta organisasi non-pemerintah terkait, namun tuntutan untuk memberikan akses pendidikan, kesehatan dan pasar kerja kepada pengungsi, semakin menempatkan Indonesia dalam posisi dilematis.
Butuh solusi berkelanjutan
Umumnya, dalam menangani situasi pengungsi yang berlarut-larut, UNHCR memperkenalkan tiga solusi berkelanjutan (durable solutions), yakni integrasi lokal, repatriasi sukarela, dan penempatan kembali (resettlement) ke negara ketiga.
Dalam banyak situasi pengungsi yang berlarut-larut, solusi berkelanjutan seperti integrasi lokal, resettlement, dan repatriasi sukarela perlu dilaksanakan untuk mengakhiri perpindahan berkepanjangan.
Pertama, repatriasi sukarela terjadi ketika pengungsi memutuskan kembali ke negara asalnya secara sukarela tanpa ada paksaan.
Kedua, resettlemet mengacu pada pemindahan sejumlah pengungsi yang telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan negara ketiga, sehingga status mereka diakui oleh negara tersebut dan pengungsi mendapatkan status permanen resident.
Sementara integrasi lokal, diartikan dengan pemberian hak yang sama dengan warga negara pada umumnya, seperti akses pekerjaan, pendidikan dan sebagainya.
Oleh karena itu, integrasi lokal lebih tepat dilakukan oleh negara-negara tujuan pengungsi yang meratifikasi konvensi pengungsi.
Dalam konteks Indonesia, sangat sulit mengandalkan repatriasi sukarela, karena konflik yang masih terjadi di negara asal pengungsi. Mengandalkan penempatan kembali juga tidak mudah, karena kuota resettlement yang terus berkurang setiap tahunnya.
Dalam konteks integrasi lokal, melakukan integrasi ketika Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 bukan hal yang mudah dilakukan.
Namun, jika melihat tren pengungsi di Indonesia saat ini, pengungsi sejatinya telah terintegrasi secara de facto. Artinya dapat terjadi ketika masyarakat lokal menerima kehadiran pengungsi dengan baik.
Pengungsi dapat hidup di tengah-tengah masyarakat, mendapatkan fasilitas dasar seperti tempat tinggal dan makanan sehari-hari.
Integrasi secara de facto berbeda dengan integrasi secara de jure di mana pengungsi benar-benar mendapatkan hak-hak seperti halnya pekerjaan, nasionalisasi, dan hak-hak warga negara lainnya.
Sebagai negara yang tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi, kendala-kendala penanganan pengungsi seperti pemotongan dana bantuan, dan pembatasan kuota resettlement bisa menjadi ancaman terhadap stabilitas keamanan nasional.
Contohnya, akibat semakin banyaknya pengungsi Rohingya yang tiba di Indonesia pada tahun 2022 dan 2023, sikap masyarakat terhadap pengungsi mulai berubah. Narasi kebencian dan negatif tentang pengungsi mulai beredar melalui media baru, seperti Facebook, Instagram, dan Twitter.
UNHCR Indonesia mengatakan bahwa ada upaya sistematis untuk membangun sentimen negatif terhadap pengungsi Rohingya melalui media baru seperti Twitter dan Instagram dalam menyebarkan narasi hoax dan kebencian.
Gesekan-gesekan sosial ini tentu tidak bisa dihindarkan ketika Indonesia tidak memiliki kebijakan komprehensif terkait penanganan pengungsi.
Jika ini terus berlanjut, maka Indonesia akan terus berdiri di persimpangan: tak bisa mengusir, tak mampu menampung, namun terus membiarkan pengungsi hidup dalam ketidakpastian.
Tag: #indonesia #bayang #bayang #krisis #pengungsi #berkepanjangan