Yusril Luruskan Pernyataan soal Perjanjian Helsinki Tak Jadi Rujukan Sengketa 4 Pulau Aceh
Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra di kantor Ombudsman, Jakarta Selatan, Kamis (22/5/2025).(KOMPAS.com/Haryanti Puspa Sari)
17:24
19 Juni 2025

Yusril Luruskan Pernyataan soal Perjanjian Helsinki Tak Jadi Rujukan Sengketa 4 Pulau Aceh

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra meluruskan pernyataannya terkait kedudukan Perjanjian Helsinki dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 dalam penyelesaian status empat pulau yang sempat menjadi polemik antara Aceh dan Sumatera Utara.

Yusril meminta masyarakat untuk tidak menyalahartikan pernyataannya itu karena ia tidak menafikan peran MoU Helsinki dalam penyelesaian konflik antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka.

"Tidak seorang pun di negara ini yang menafikan peranan MoU Helsinki sebagai titik tolak penyelesaian masalah Aceh antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah RI," kata Yusril dalam keterangan tertulis, Kamis (19/6/2025).

Yusril mengatakan, ia menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara saat perundingan Helsinki berlangsung.

Dengan demikian, dia terlibat langsung maupun tidak langsung dalam diskusi internal Pemerintah RI dengan Tim Perunding dalam menyepakati perjanjian tersebut, termasuk pula menindaklanjuti hasil Perjanjian Helsinki.

"Sebab saya juga bersama Mendagri Alm Mohammad Ma'ruf yang ditugasi Presiden membahas RUU Pemerintahan Aceh dengan DPR sampai selesai," ujar dia.

Yusril menegaskan ia sangat paham bahwa semangat dari Perjanjian Helsinki merupakan titik tolak dalam menyelesaikan persoalan antara Pemerintah Pusat dengan Aceh.

Namun, dia mengatakan, dalam konteks penyelesaian status empat pulau antara Aceh dan Sumut, rujukannya tidak bisa secara langsung kepada Perjanjian Helsinki dan UU Nomor 24 Tahun 1956.

"MoU Helsinki menegaskan bahwa wilayah Aceh mengacu kepada UU No 24 Tahun 1956, tetapi UU No 24 Tahun 1956 itu hanya menyebutkan kabupaten-kabupaten mana saja yang masuk wilayah Provinsi Aceh. Sementara status empat pulau, sepatah kata pun tidak disebutkan dalam undang-undang tersebut," tutur dia.

Yusril menjelaskan bahwa penentuan batas daerah provinsi, kabupaten, dan kota harus mengacu kepada ketentuan yang lebih mutakhir, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah kedua kalinya dengan UU No 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.

"UU ini menegaskan bahwa batas daerah diputuskan dalam Peraturan Mendagri. Itu kalau UU tentang pembentukan provinsi, kabupaten, dan kota yang baru tidak menentukan secara jelas batas-batas koordinat daerah yang dimekarkan itu. Itu inti penjelasan saya," kata dia.

Oleh karena itu, Yusril merasa heran adanya pihak-pihak yang menuduh dirinya tidak menghargai MoU Helsinki dan bahkan melontarkan kecaman-kecaman.

"Saya sangat heran ada sementara pihak yang menuduh diri saya tidak menghargai MoU Helsinki dan berbagai kecaman lainnya," kata pakar hukum tata negara tersebut.

Sementara itu, terkait keputusan Presiden Prabowo Subianto meneteapkan 4 pulau masuk wilayah Aceh, hal itu mengacu pada dokumen kesepakatan antara Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar pada tahun 1992 yang dibuat atas arahan Presiden Soeharto dan Mendagri Rudini waktu itu.

"Tahun 1992 itu belum ada MoU Helsinki. Seperti saya katakan tadi, MoU itu rujukan kita bersama, spirit bersama, dalam menyelesaikan masalah apa pun antara Pemerintah Pusat dengan Aceh. Rujukan detilnya bisa mengacu kepada rujukan lain seperti Kesepakatan Tahun 1992 tersebut," kata dia.

Yusril mengeklaim, komitmennya membantu masyarakat Aceh tidak pernah berubah sejak gurunya, Prof Osman Raliby, memperkenalkan dirinya dengan Tengku Muhammad Daoed Beureueh tahun 1978.

Dia mengaku ikut mengusulkan nama Naggroe Aceh Darussalam dan keberadaan Qanun Aceh untuk mengimplementasikan syariat Islam di Aceh sebelum MoU Helsinki.

"Saya kualat dengan Tengku Daoed Beureueh dan Prof Osman Raliby kalau sampai saya tidak membantu masyarakat Aceh," ucap dia.

Yusril bilang MoU Helsinki bukan rujukan

Sebelumnya, Yusril menyebut Perjanjian Helsinki dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tidak bisa dijadikan rujukan untuk menentukan status kepemilikan empat pulau di Aceh dan Sumatera Utara.

Keempat pulau itu adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek.

"Sederhana saja. Perjanjian Helsinki menyebutkan bahwa wilayah Aceh adalah wilayah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara," kata Yusril, Selasa (17/6/2025).

Yusril menjelaskan, UU No 24 Tahun 1956 hanya menyebutkan bahwa Provinsi Aceh terdiri atas beberapa kabupaten tanpa menyebutkan batas-batas wilayah yang jelas baik antara Provinsi Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara, maupun batas antar kabupaten di Provinsi Aceh sendiri.

Dia mengatakan, Kabupaten Aceh Singkil yang sekarang bersebelahan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah belum ada pada tahun 1956.

Keempat pulau itu juga tidak disebutkan secara eksplisit dalam UU Nomor 24 Tahun 1956 tersebut maupun dalam Perjanjian Helsinki.

Oleh karena itu, Yusril menilai, kedua instrumen hukum tersebut tidak dapat dijadikan dasar penyelesaian status keempat pulau yang dipermasalahkan.

Sementara itu, menurut Yusril, UU Nomor 24 Tahun 1956 itu bisa dijadikan dasar bagi keberadaan Kabupaten Aceh Singkil sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan pada tahun 1999.

"Keempat pulau yang dipermasalahkan antara Provinsi Aceh dengan Sumatera Utara sekarang ini tidak sepatah katapun disebutkan baik dalam UU No 24 Tahun 1956 maupun dalam MoU Helsinki. Karena itu saya mengatakan bahwa MoU Helsinki dan UU No 24 Tahun 1956 tidak bisa dijadikan sebagai referensi utama penyelesaian status empat pulau yang dipermasalahkan," ujar dia.

Menurut Yusril, penyelesaian batas wilayah, baik darat maupun laut antar daerah, kini harus merujuk pada Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan UU Nomor 9 Tahun 2015.

Dalam praktiknya, beberapa undang-undang pemekaran daerah telah mencantumkan titik koordinat yang jelas, namun ada pula yang belum.

"Pemekaran provinsi hanya menyebutkan terdiri atas kabupaten dan kota, sedangkan pemekaran kabupaten/kota hanya menyebutkan kecamatannya saja. Selanjutnya, UU memberikan delegasi kewenangan kepada Mendagri untuk mengatur tapal batas wilayah dengan Peraturan Mendagri," tuturnya.

Namun hingga saat ini, belum ada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang mengatur batas darat dan laut antara Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah.

Dia mengatakan, saat ini hanya diatur dalam Keputusan Mendagri (Kepmendagri) terkait kode wilayah administrasi yang mencantumkan keempat pulau tersebut dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah.

"Keputusan Mendagri (Kepmendagri) inilah yang memicu kehebohan beberapa hari terakhir ini. Saya berpendapat Kepmendagri ini nanti harus direvisi segera setelah terbitnya Permendagri yang mengatur tapal batas darat dan laut antara Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah," ucap dia.

Tag:  #yusril #luruskan #pernyataan #soal #perjanjian #helsinki #jadi #rujukan #sengketa #pulau #aceh

KOMENTAR