Awan Gelap Tata Kelola Zakat Indonesia
Wakil Ketua IV Baznas Jabar, Achmad Faisal (tengah) dalam konferensi pers perihal tudingan mantan pegawainya atas dugaan tindak penyelewengan dana hibah dan zakat di Kantor Baznas Jabar, Jalan Soekarno-Hatta, Kota Bandung, Selasa (27/5/2025).(Kompas.com/Faqih Rohman Syafei)
14:20
18 Juni 2025

Awan Gelap Tata Kelola Zakat Indonesia

AWAN gelap menggantung di atas tata kelola zakat Indonesia. Bukan hanya karena praktik penyimpangan, tetapi karena sistem yang seharusnya menjadi pilar kemaslahatan justru menyimpan potensi besar untuk disalahgunakan.

Lebih dari satu dekade sejak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat disahkan, kebutuhan akan reformasi regulasi terasa semakin mendesak.

Bukan semata untuk memperkuat struktur kelembagaan, tetapi untuk melindungi suara-suara jujur yang selama ini justru dibungkam.

Kasus yang menyeruak di Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Jawa Barat adalah gambaran nyata betapa gelapnya tata kelola zakat saat ini.

TY, auditor internal BAZNAS Provinsi, yang melaporkan dugaan penyelewengan dana zakat senilai Rp 9,8 miliar dan dana hibah Rp 3,5 miliar, justru dijerat sebagai tersangka.

Bukannya diberi perlindungan atas itikad baiknya, TY malah dikenakan Pasal 32 UU ITE karena dianggap membocorkan dokumen rahasia.

Indonesia Corruption Watch (ICW) mengecam keras langkah ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap pelapor, yang mencederai semangat antikorupsi dan partisipasi publik.

Fenomena seperti ini bukanlah insiden tunggal. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul tren Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP), yakni upaya sistematis membungkam suara-suara kritis melalui jerat hukum.

Aktivis, pelapor korupsi, hingga akademisi kerap menjadi korban, dituduh mencemarkan nama baik atau menyebarkan informasi palsu hanya karena menyuarakan kebenaran.

Contoh paling dikenal adalah kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, yang dilaporkan karena kritik terhadap pejabat tinggi.

Kasus SLAPP semacam ini menjadikan hukum sebagai instrumen represi, bukan perlindungan. Padahal, dari perspektif hukum tata negara, hak warga negara untuk menyatakan pendapat dan mengawasi jalannya pemerintahan adalah bagian dari hak konstitusional yang dijamin Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

Negara semestinya hadir melindungi warga yang bertindak demi kepentingan umum. Ironisnya, dalam banyak kasus, perlindungan hukum justru absen.

ICW mencatat, sejak 1996 hingga 2024, terdapat 204 pelapor korupsi yang mengalami intimidasi; 17 di antaranya bahkan dijerat tuduhan pidana atau perdata, termasuk kekerasan fisik hingga pembunuhan.

Regulasi anti-SLAPP di Indonesia masih sangat terbatas. Satu-satunya yang eksplisit mengatur perlindungan terhadap pejuang publik adalah Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup.

Inilah yang disorot oleh ahli hukum lingkungan FH UI, Achmad Santosa (2020), yang menegaskan, “Regulasi anti-SLAPP sangat mendesak diterapkan luas selama kesenjangan dalam sinkronisasi perlindungan hak publik dan penegakan hukum yang adil masih ada.”

Di luar sektor tersebut, termasuk di bidang zakat dan antikorupsi, belum ada aturan yang mampu secara efektif menolak gugatan yang bersifat membungkam.

Belum tersedia pula mekanisme “SLAPP-back”, di mana korban kriminalisasi dapat menggugat balik pihak yang mengintimidasinya.

Sementara itu, perlindungan terhadap whistleblower seharusnya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem hukum kita.

Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) yang diratifikasi lewat UU No. 7 Tahun 2006 menekankan pentingnya perlindungan pelapor.

Indonesia juga memiliki UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta PP No. 43 Tahun 2018 tentang Peran Serta Masyarakat dalam Pemberantasan Korupsi. Namun, fakta di lapangan membuktikan implementasinya jauh dari ideal.

Di sisi lain, tata kelola zakat Indonesia menghadapi persoalan mendasar: konflik kepentingan struktural. UU No. 23 Tahun 2011 memberikan BAZNAS peran ganda sebagai regulator dan operator zakat nasional.

Posisi dominan ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang dan melemahkan pengawasan.

Yusuf Wibisono (2023), ekonom syariah dari FEB UI, menyebut model ini “tidak sehat bagi kepercayaan publik.”

Kajian Ombudsman RI tahun 2021 bahkan menyoroti ketidakjelasan status operasional LAZ (Lembaga Amil Zakat) akibat fungsi ganda BAZNAS.

Partisipasi masyarakat sipil pun terpinggirkan. Sentralisasi kekuasaan zakat di tangan satu lembaga negara bukan hanya menyempitkan ruang kolaborasi, tetapi juga menyumbat saluran kontrol sosial.

Indonesia Zakat Watch, misalnya, mengusulkan pembentukan Komisi Zakat Indonesia yang independen dan hanya mengatur serta mengawasi, bukan mengelola dana secara langsung. BAZNAS dan LAZ cukup berperan sebagai operator lapangan.

Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 86/PUU-X/2012 juga pernah mengingatkan pentingnya keterlibatan masyarakat sipil dalam tata kelola zakat. Negara tidak boleh memonopoli peran tanpa membuka ruang partisipasi.

Kini, dua permohonan judicial review baru terhadap UU Zakat (Perkara No. 54/PUU-XXIII/2025 dan No. 97/PUU-XXII/2024) menandai bahwa problem tata kelola ini masih sangat aktual.

Lebih jauh, catatan ICW menunjukkan bahwa sejak tahun 2011 hingga 2024, terjadi sedikitnya enam kasus korupsi dana zakat dengan kerugian mencapai Rp 12 miliar.

Kasus-kasus ini melibatkan belasan orang dari kalangan ketua, bendahara, hingga staf penghimpun zakat. Salah satu kasus yang telah inkracht adalah korupsi di BAZNAS Kabupaten Bengkulu Selatan.

Di Dumai, tiga pengurus BAZNAS didakwa merugikan negara Rp 1,4 miliar. Di Tanjung Jabung Timur, seorang bendahara disidang karena menyalahgunakan dana zakat Rp 1,2 miliar.

Atau yang paling baru di bulan Juni 2025, Kejaksaan Agung RI menyebutkan Baznas Cilegon terbukti korupsi sebesar Rp 689 Juta. Ini hanya sebagian kecil dari kasus yang muncul ke permukaan.

Dari rangkaian persoalan ini, jelas bahwa reformasi tata kelola zakat melalui revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat tidak bisa ditawar lagi.

Pertama, perlu dilakukan pemisahan fungsi regulator dan operator. Badan independen harus dibentuk untuk menyusun regulasi, melakukan audit, dan memberikan akreditasi bagi BAZNAS dan LAZ.

Badan ini tidak boleh terlibat langsung dalam penghimpunan maupun distribusi dana zakat.

Kedua, perlindungan hukum terhadap whistleblower dan aturan anti-SLAPP harus dimasukkan secara eksplisit dalam revisi UU Zakat.

Pasal-pasal yang memuat larangan kriminalisasi pelapor, serta mekanisme penolakan gugatan SLAPP sejak proses awal di pengadilan, perlu diatur secara tegas.

Pemerintah bisa mencontoh beberapa negara bagian di Amerika Serikat yang telah mengadopsi skema SLAPP-back untuk memberikan efek jera kepada pelaku intimidasi.

Ketiga, penguatan audit internal dan eksternal, penggunaan teknologi informasi untuk transparansi keuangan, serta keterbukaan laporan secara berkala kepada publik menjadi keniscayaan.

 

BAZNAS dan LAZ juga perlu memperbaiki proses rekrutmen agar hanya individu berintegritas tinggi yang berada di pucuk pimpinan lembaga.

Keempat, Kementerian Agama sebagai instansi pembina perlu mengambil peran lebih aktif dalam pengawasan, bukan sekadar administratif, tetapi substantif.

Pelibatan organisasi zakat, pakar, masyarakat sipil, serta institusi antikorupsi harus menjadi bagian dari penguatan sistem pengelolaan zakat yang kredibel dan inklusif.

Zakat adalah amanah publik. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi zakat adalah modal utama keberlangsungan gerakan filantropi Islam.

Namun, kepercayaan itu tidak bisa dipertahankan bila pengelolanya justru memperlakukan dana umat sebagai "lumbung" pribadi, dan suara kritis dianggap sebagai musuh.

Kasus TY di Jawa Barat seharusnya menjadi momen introspeksi nasional. Bila pengungkap kebenaran terus dikriminalisasi, kita semua akan kehilangan keberanian untuk peduli.

Indonesia memerlukan tata kelola zakat yang adil, transparan, dan partisipatif agar potensi zakat sebesar Rp 327 Trilliun bukan hanya buaian belaka.

Untuk mencapainya, revisi regulasi bukan hanya soal menata struktur kelembagaan, tetapi tentang melindungi keberanian dan kejujuran.

Tag:  #awan #gelap #tata #kelola #zakat #indonesia

KOMENTAR