



Soal Bendera Aceh: Mualem Sebut Masih Proses, Wali Nanggroe Berharap Sah
- Aceh masih menyimpan harapan akan berkibarnya bendera Aceh, bendera berwarna merah-hitam dengan gambar bulan dan bintang.
Namun, pengibaran bendera milik Aceh ini tidak bisa dilakukan karena legalitasnya belum selesai, meski Aceh sudah memiliki payung hukum melalui Qanun Nomor 13 Tahun 2013.
Bendera ini pun sempat terlihat dikibarkan oleh massa dalam aksi damai merespons sengketa empat pulau antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara (Sumut), di halaman Kantor Gubernur Aceh.
Polemik itu sempat memanas hingga sebelum akhirnya Presiden Prabowo Subianto memutuskan empat pulau kembali masuk wilayah administratif Aceh pada Selasa (17/6/2025).
Dalam proses
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, mengatakan hingga kini, legalitas pengibaran bendera Aceh masih dalam proses.
Dia pun menyatakan, pengibaran bendera belum boleh dilakukan karena aspek tersebut.
"Dalam proses. Saya rasa dalam proses, belum (boleh berkibar), lah," kata Muzakif Manaf alias Mualem di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (17/6/2025).
Namun Mualem berharap pengibaran bisa cepat dilakukan jika sudah legal.
"Secepat mungkin, ya," kata dia singkat.
Di sisi lain, ia tidak tahu-menahu soal pengibaran bendera tersebut dalam aksi damai di halaman gedung Kantor Gubernur Aceh, kemarin.
Sebab, dirinya tidak berada di sana dan berada di Jakarta.
"Saya enggak tahu, saya cek dulu ke sana. Karena sudah beberapa hari di sini," imbuhnya.
Diketahui, kehadiran Mualem di Jakarta untuk menghadiri rapat dengan pemerintah pusat soal keputusan akhir dari polemik empat pulau.
Dalam rapat tersebut, hadir Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Bobby Nasution.
Rapat tersebut memutuskan bahwa empat pulau kembali masuk dalam wilayah administratif Aceh.
Di kesempatan terpisah, Mensesneg Prasetyo Hadi meminta satu masalah tidak diperlebar ke masalah yang lain sehingga isunya bergeser dan menimbulkan perpecahan.
Kehadiran Mualem dan Bobby, disebutnya untuk kepentingan bersama dalam bingkai NKRI.
"Ini warning buat kita. Jangan karena ada masalah, kemudian isunya digeser ke mana-mana, nanti terjadi saling gesekan, saling tidak percaya satu sama lain. Itu banyak yang gelap-gelap itu menunggangi, isunya jadi ke mana-mana," jelas Prasetyo.
Gubernur Sumut Bobby Nasution, Gubernur Aceh, dan Mensesneg saat konferensi pers di Kantor Presiden, Selasa (17/6/2025).
"Di situ ada satu pemerintahan yang mau mengambil, kemudian diisukan ada sumber daya energi yang cukup besar. Padahal kita cek, kami cek di SDM, belum pernah ada penelitian di tempat-tempat tersebut memiliki kandungan energi," tandasnya.
Harap segera disahkan
Wali Nanggroe Malik Mahmud Al Haythar juga berharap pengibaran bendera itu disahkan. Ia menyebut hal ini merupakan harapan masyarakat Aceh.
"Ya bagi orang-orang Aceh itu diharapkan bahwa bendera itu disahkan. Kami menunggu saja," kata Malik usai bertemu Wakil Presiden ke-10 dan 12 Jusuf Kalla (JK) di kediamannya pada Selasa, kemarin.
Ia juga menyinggung legalitas bendera Aceh yang kini belum kunjung selesai, meski masuk dalam Perjanjian Helsinki.
Namun, ia tetap bersyukur karena pemerintah telah menyelesaikan sengketa empat pulau yang sebelumnya memicu ketegangan antara Aceh dan Sumatera Utara (Sumut).
"Saya sebagai Wali Nanggroe Aceh mengucapkan Alhamdulillah, syukur Alhamdulillah di atas sudah selesainya masalah polemik empat pulau yang berlaku baru-baru ini dan dengan ini saya ucapkan terima kasih banyak kepada Pak Presiden, kepada petinggi-petinggi kita yang menyelesaikan masalahnya, termasuk juga Pak Mendagri," kata Malik.
Wali Nangroe Aceh, Teungku Mahmud Al Haythar (Nicholas Ryan/Kompas.com)
Masuk dalam kesepakatan Helsinki
Adapun sejatinya, bendera itu masuk dalam salah satu butir kesepakatan Helsinki—sebuah perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2005. Keduanya sempat berkonflik sejak tahun 1976.
Seturut perjanjian Helsinki, Aceh dalam hal ini, memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne.
Kesepakatan itu tertuang dalam poin 1.1.5 Perjanjian Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
"Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne," bunyi poin 1.1.5 Perjanjian Helsinki.
Delegasi Indonesia dalam perundingan tersebut dihadiri oleh Hamid Awaluddin, Sofyan A. Djalil, Farid Husain, Usman Basyah, dan I Gusti Wesaka Pudja. Adapun dari pihak GAM adalah Malik Mahmud, Zaini Abdullah, M Nur Djuli, Nurdin Abdul Rahman, dan Bachtiar Abdullah.
Usai Perjanjian Helsinki, pemerintah menindaklanjuti adalah mengesahkan Undang-Undang 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dalam Pasal 246 ayat (2) UU 11/2006 diatur, pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan.
"Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh," bunyi Pasal 246 ayat (3) UU 11/2006.
Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh dijelaskan, bendera Aceh berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 dari panjang, dua buah garis lurus putih di bagian atas, dua buah garis lurus putih di bagian bawah, satu garis hitam di bagian atas, satu garis hitam di bagian bawah, dan di bagian tengah bergambar bulan bintang dengan warna dasar merah, putih dan hitam.
Tag: #soal #bendera #aceh #mualem #sebut #masih #proses #wali #nanggroe #berharap