



Pemberantasan Korupsi: Jangan Alihkan Tanggung Jawab Negara kepada Rakyat
KETIKA kasus-kasus korupsi terus mencuat ke permukaan dan kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum semakin melemah, sering kali kita mendengar seruan yang tampak populis: “Masyarakat harus aktif mengawasi korupsi!”
Kalimat ini tampak bijak dan demokratis. Namun, di balik kesan itu tersembunyi kekeliruan yang serius, baik secara konseptual maupun institusional.
Menyerukan rakyat untuk menjadi pengawas utama terhadap praktik korupsi justru merupakan bentuk pelimpahan tanggung jawab negara kepada entitas yang tidak memiliki otoritas, perlindungan, maupun kapasitas struktural untuk menjalankan tugas tersebut.
Fungsi negara yang dialihkan
Dalam sistem negara hukum (Rechtsstaat), fungsi pengawasan terhadap penyelenggara negara bukanlah beban masyarakat, melainkan tanggung jawab struktural institusi negara yang diberi mandat konstitusional.
Hans Kelsen, dalam Pure Theory of Law (1967), menyatakan bahwa hukum merupakan sistem norma yang mengikat secara vertikal dan dijalankan oleh lembaga-lembaga yang sah.
Artinya, tugas pengawasan melekat pada badan-badan negara seperti KPK, BPK, Kejaksaan, hingga Inspektorat Jenderal di setiap kementerian, serta kepolisian.
Menyerahkan fungsi pengawasan kepada rakyat bukan hanya menyalahi prinsip tersebut, tetapi juga berisiko menjebak masyarakat dalam posisi rentan.
Dalam banyak kasus, pelapor korupsi justru menghadapi kriminalisasi, tekanan, atau bahkan kekerasan.
Ironisnya, negara tidak memberikan perlindungan yang cukup, padahal rakyat diminta membantu tugas-tugas yang seharusnya dijalankan negara. Quo vadis pengawasan korupsi oleh masyarakat.
Partisipasi yang digeser maknanya
Tentu saja partisipasi masyarakat dalam memberantas korupsi tetap penting. Namun, perlu digarisbawahi bahwa partisipasi tersebut bersifat pelengkap (komplementer), bukan utama atau bahkan menggantikan fungsi negara.
Dalam kajian teori kelembagaan, seperti yang dijelaskan Susan Rose-Ackerman dalam Corruption and Government (1999), rakyat adalah principal yang memberikan mandat kepada lembaga negara sebagai agent.
Ketika agent gagal menjalankan fungsi pengawasan, maka yang harus dibenahi adalah agent-nya, bukan meminta principal mengambil alih tanggung jawab tersebut.
Masyarakat atau rakyat adalah pemilik negara ini dan pemegang tertinggi kedaulatan negara.
Sementara itu, pemerintah justru sering menggunakan narasi “partisipasi rakyat” sebagai tameng untuk menutupi kelemahan lembaga pengawasan internal.
Ini berbahaya, karena memperkuat budaya impunitas sambil menempatkan rakyat sebagai pihak yang disalahkan ketika korupsi masih merajalela.
Korupsi sejatinya adalah pengkhianatan kepada rakyat, perampokan terhadap uang rakyat oleh orang yang diberkan amanah olehnya, tapi kemudian rakyat harus disalahkan.
Michel Foucault, dalam konsep governmentality-nya, menjelaskan bahwa negara modern kerap menggunakan teknik pengelolaan sosial yang tersembunyi.
Salah satunya adalah dengan membebani masyarakat untuk memikul tanggung jawab moral dan sosial, yang sebenarnya merupakan kewajiban institusional negara.
Dengan kata lain, narasi “pengawasan oleh rakyat” bukan sekadar ajakan, tetapi bagian dari strategi kekuasaan yang cenderung melemahkan tanggung jawab negara.
Jika dibiarkan, kondisi ini akan melanggengkan ketimpangan struktural. Rakyat terus dibebani dengan kewajiban, sementara lembaga negara tak kunjung menjalankan tugasnya secara serius dan profesional.
Mengoreksi arah
Negara harus berhenti melempar tanggung jawab. Yang dibutuhkan bukanlah semakin banyak laporan dari masyarakat, tetapi semakin kuatnya komitmen lembaga negara dalam menjalankan fungsi pengawasan.
Sistem audit internal harus diperkuat, pengawasan eksternal harus independen, dan aparat penegak hukum harus bebas dari intervensi politik.
Tentu, ruang partisipasi masyarakat tetap harus dibuka dan difasilitasi, seperti saluran pengaduan, perlindungan whistleblower, dan keterbukaan informasi.
Tentu saja, semua itu hanya efektif jika negara menjalankan perannya terlebih dahulu secara penuh. Jangan sampai rakyat diminta berteriak dalam ruang hampa, sementara aparat negara menutup telinga.
Seperti ditegaskan Bo Rothstein (2011), pemerintahan yang baik tidak bisa dibangun hanya dari inisiatif rakyat. Ia harus dibangun melalui lembaga negara yang bersih, bertanggung jawab, dan bekerja berdasarkan hukum. Hukum harus dijadikan panglima oleh segenap pihak.
Korupsi adalah kejahatan yang terstruktur dan dilakukan oleh pemilik kuasa. Karena itu, hanya negara yang memiliki kekuatan struktural dan legal untuk memutus rantai kekuasaan korupsi.
Menyerahkan beban itu kepada masyarakat bukan hanya keliru, tapi berbahaya. Saatnya negara mengambil kembali tanggung jawabnya, bukan hanya dengan kata-kata, tapi dengan tindakan nyata.
Negara dan pemerintah ada untuk kepentingan masyarakat. Negara dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Tag: #pemberantasan #korupsi #jangan #alihkan #tanggung #jawab #negara #kepada #rakyat