Nasib Raja Ampat, ''Surga Terakhir di Bumi'' yang Terancam Karena Ambisi Tambang
Raja Ampat - Profil Provinsi Papua Barat Daya. (Pixabay/blackinkstudio07)
15:28
6 Juni 2025

Nasib Raja Ampat, ''Surga Terakhir di Bumi'' yang Terancam Karena Ambisi Tambang

Destinasi yang dijuluki "surga terakhir di bumi" ini, Raja Ampat, kini terancam oleh aktivitas tambang nikel yang masif. Gemuruh alat berat di pulau-pulau kecilnya tak hanya merusak ekosistem yang rapuh, tetapi juga menodai pesona keindahan alam yang telah memukau mata dunia.

Di tengah sorotan global terhadap krisis iklim dan lingkungan, keberadaan tambang nikel di Raja Ampat memicu gelombang keprihatinan mendalam, bahkan dari mantan pejabat sekelas Susi Pudjiastuti hingga kritik tajam dari organisasi lingkungan internasional, Greenpeace.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, yang dikenal vokal dalam isu lingkungan, tak tinggal diam. Melalui akun media sosial pribadinya, Susi secara terbuka melayangkan permohonan mendesak kepada Presiden RI Prabowo Subianto untuk segera menghentikan aktivitas penambangan tersebut.

"Yth. Bapak Presiden @prabowo @Gerindra mohon dengan sangat, hentikan penambangan di Raja Ampat ini. Salam hormat," tulis Susi di akun X (Twitter) pribadinya, Jumat (6/6/2025), seraya menambahkan, "Sebaiknya hentikan selamanya." Seruan ini jelas menunjukkan urgensi dan kekhawatiran serius terhadap masa depan Raja Ampat.

Pemerintah dalam Sorotan: Janji Perlindungan

Permintaan Susi Pudjiastuti mencuat setelah laporan mengejutkan dari Greenpeace Indonesia yang menemukan aktivitas tambang nikel di beberapa pulau di Raja Ampat, termasuk Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.

Laporan ini bukan sekadar kekhawatiran tanpa dasar; Greenpeace secara eksplisit mengungkapkan bahwa tambang di lima pulau kecil di Raja Ampat telah merusak lebih dari 500 hektare hutan dan mengancam 75% terumbu karang terbaik dunia di kawasan tersebut. Ini adalah angka yang sangat mengkhawatirkan, mengingat Raja Ampat adalah episentrum keanekaragaman hayati laut global.

Di tengah situasi ini, respons pemerintah menjadi kunci. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mencoba meredam kritik dengan menyatakan bahwa izin usaha pertambangan PT GAG Nikel diterbitkan jauh sebelum dirinya menjabat menteri.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. (Suara.com/Fauzi)Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. (Suara.com/Fauzi)

"Saat izin usaha pertambangan dikeluarkan, saat saya masih Ketua Umum Hipmi Indonesia dan belum masuk di kabinet," kata Bahlil, dikutip dari Antara.

Bahlil menegaskan bahwa Kementerian ESDM memiliki kewenangan pengawasan sesuai dengan good mining practice. Ia menyebut, untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat, pihaknya telah menghentikan sementara kegiatan operasi PT GAG Nikel di Pulau Gag dan menurunkan tim inspeksi ke lapangan.

"Agar tidak terjadi kesimpangsiuran maka kami sudah memutuskan lewat Ditjen Minerba untuk status daripada Kontrak Karya (KK) PT GAG yang sekarang lagi mengelola untuk sementara kita hentikan operasinya sampai dengan verifikasi lapangan, kita akan cek," kata Bahlil. Ia bahkan berjanji akan bertolak ke Sorong dan Pulau Gag dalam waktu dekat untuk meninjau langsung.

Namun, di satu sisi, Bahlil juga menegaskan bahwa pemerintah tetap berkomitmen terhadap perlindungan lingkungan, tetapi dalam waktu yang sama juga mendorong program hilirisasi sebagai instrumen pertumbuhan ekonomi nasional.

ANTAM dan PT GAG Nikel

Dari empat perusahaan tambang nikel di Raja Ampat, yaitu PT Gag Nikel (GN), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), PT Anugerah Surya Pratama (ASP), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), hanya tiga di antaranya yang memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH): PT GN, PT KSM, dan PT ASP. Sorotan tajam tertuju pada PT Gag Nikel (GN), yang merupakan anak usaha dari PT ANTAM Tbk, sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seharusnya menjadi contoh dalam praktik pertambangan berkelanjutan.

PT Gag Nikel, pemegang Kontrak Karya Generasi VII No. B53/Pres/I/1998, resmi berdiri pada 19 Januari 1998. Awalnya, kepemilikan saham perusahaan terdiri atas Asia Pacific Nickel Pty Ltd (APN Pty Ltd) sebesar 75 persen dan PT ANTAM Tbk sebesar 25 persen.

Namun, sejak 2008, ANTAM mengakuisisi seluruh saham APN Pty Ltd, sehingga kendali penuh GAG Nikel berada di tangan ANTAM. Fakta ini menempatkan ANTAM sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas dampak lingkungan dari operasi PT GAG Nikel. Sebagai BUMN, seharusnya ANTAM memegang standar keberlanjutan yang jauh lebih tinggi daripada perusahaan swasta, namun realita di lapangan justru mengkhawatirkan.

Greenpeace protes tambang nikel di Raja Ampat [Antara]Greenpeace protes tambang nikel di Raja Ampat [Antara]

Greenpeace secara terang-terangan menuduh aktivitas tambang ini melanggar Undang-Undang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang seharusnya melindungi wilayah-wilayah seperti Raja Ampat.

Raja Ampat bukan hanya sekadar destinasi wisata; ia adalah sebuah ekosistem yang sangat kaya secara ekologis dan memiliki nilai budaya tinggi.

Dijuluki "surga terakhir di bumi" dan rumah bagi 75% terumbu karang terbaik dunia, pesonanya telah menarik wisatawan, peneliti, dan pecinta alam dari seluruh penjuru dunia. Nama Raja Ampat telah mendunia sebagai simbol keindahan bawah laut yang tak tertandingi dan keanekaragaman hayati yang luar biasa.

Namun, semua pesona ini kini berada di ujung tanduk. Laporan kerusakan hutan seluas lebih dari 500 hektare dan ancaman terhadap terumbu karang adalah pukulan telak bagi citra Raja Ampat dan Indonesia di mata dunia. Jika aktivitas tambang ini terus berlanjut atau tidak diawasi secara ketat, bukan hanya ekosistem yang hancur, tetapi juga industri pariwisata lokal yang menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat Raja Ampat.

Menteri ESDM Bahlil mencoba membantah kabar bahwa aktivitas pertambangan GAG Nikel berlangsung di Pulau Piaynemo, salah satu ikon pariwisata Raja Ampat. Menurutnya, penambangan dilakukan di Pulau Gag, yang jaraknya kurang lebih 30-40 km dari Pulau Piaynemo. "Wilayah Raja Ampat itu betul menjadi wilayah pariwisata yang kita harus lindungi," kata Bahlil. Namun, jarak puluhan kilometer tidak lantas menghilangkan ancaman. Polusi air, sedimentasi, dan perubahan ekosistem di satu pulau dapat dengan mudah menyebar ke wilayah lain yang berdekatan, mengancam seluruh keindahan Raja Ampat.

Sementara itu, Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni, melalui Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Ade Triaji Kusumah, memberikan sedikit angin segar dengan menyatakan tidak menerbitkan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) baru di Raja Ampat.

"Intinya yang baru kita hentikan, yang lama kita evaluasi dan awasi ketat," kata Ade. Namun, komitmen ini masih dipertanyakan mengingat sudah ada dua PPKH yang diterbitkan pada tahun 2020 dan 2022.

Editor: M Nurhadi

Tag:  #nasib #raja #ampat #surga #terakhir #bumi #yang #terancam #karena #ambisi #tambang

KOMENTAR