



Marsinah Simbol Perjuangan Kaum Buruh
- Bergumul di tengah kepulan debu dan bermandi keringat di bawah teriknya matahari masih mengisi keseharian para buruh yang turun aksi.
Mereka yang keluar dari pabrik memilih jalanan sebagai ruang untuk menyuarakan isi hati dan penderitaan yang tidak didengar para pemilik modal.
Sama seperti Marsinah di tahun 1993 lalu. Kala itu, ia menjadi salah satu sumber suara paling lantang yang melawan penindasan oleh PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah pabrik pembuat jam, di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Suara Lantang Marsinah
Sebelum ditemukan dalam kondisi meninggal dunia, Marsinah menjadi salah satu yang paling lantang menyuarakan hak buruh.
April 1993, pemerintah Orde Baru memberikan imbauan kepada para pengusaha untuk menaikkan gaji pokok para buruh.
Tapi PT CPS tempat Marsinah bekerja saat itu tidak mengindahkan imbauan pemerintah.
Di sisi lain, para buruh sudah tercekik dengan tuntutan hidup dan segala biayanya, diperparah dengan upah yang tidak layak.
Para buruh menuntut PT CPS untuk menaikkan upah mereka dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 pada zaman itu. Buruh juga menuntut agar diberikan cuti hamil, cuti haid, dan upah lembur.
Dalam runtutan aksi ini, kawan-kawan Marsinah juga menuntut agar Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) di PT CPS dibubarkan karena dianggap tidak mewakili suara para buruh.
Namun, tuntutan ini tak kunjung diindahkan dan memancing aksi yang lebih besar.
Para buruh kecuali kepala bagian dan staf melakukan mogok kerja untuk mempertegas keseriusan mereka.
Paa 4 Mei 1993, para buruh kembali melakukan aksi besar. Perundingan antara buruh dan perusahaan terjadi.
Tapi ketika perundingan masih berlangsung, sebanyak 13 orang buruh ditangkap Koramil.
Mereka dituding telah memprovokasi peserta aksi dan dipaksa untuk mengundurkan diri.
Lalu, 5 Mei 1993 siang, Marsinah sendirian mendatangi Koramil untuk menanyakan keberadaan 13 rekannya yang ditangkap.
Alih-alih mendapat jawaban, jejak Marsinah menghilang hingga akhirnya ditemukan warga dalam kondisi mengenaskan pada 9 Mei 1993.
Perjuangan Marsinah Belum Selesai
Kepergian Marsinah memukul hati buruh se-Indonesia. Kepedihan itu masih terasa hingga saat ini karena pembunuh Marsinah masih belum terungkap meski 32 tahun telah berlalu.
Para buruh masih memperjuangkan upah yng layak di tengah gempuran gelombang penghentian hubungan kerja (PHK).
Sosok Marsinah tidak hanya menjadi teladan tapi juga penyemangat bagi mereka yang turun ke jalan.
Setiap tahunnya, nama Marsinah terus digaungkan agar bisa dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh negara.
Selain karena perjuangan dan jerih payahnya yang nyata, latar belakang Marsinah dari akar rumput membuat seruan ini menggema.
“Dia (Marsinah) representasi buruh yang berjuang dari akar rumput,” ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, saat dihubungi Jumat (23/5/2025).
Said mengatakan, sejauh ini, belum ada buruh yang mendapatkan gelar pahlawan nasional.
Ia menilai, Marsinah adalah sosok yang paling tepat untuk mewakili buruh.
Terlebih, sebagai perempuan, Marsinah dinilai ikut menunjukkan sejumlah permasalahan struktural yang dialami oleh buruh wanita.
Mulai dari pelecehan, kekerasan seksual, ditambah dengan peran ganda bagi para ibu yang juga menjadi pencari nafkah bagi keluarga.
Masalah-masalah ikut menjadi sorotan ketika nama Marsinah digaungkan saat AksiHari Buruh berlangsung di tanggal 1 Mei.
“Buruh perempuan di Indonesia kan simboliknya masih dalam penindasan kan. (Sering mengalami) pelecehan seksual, upahnya lebih murah dari buruh laki-laki,” kata Said.
Direktur Eksekutif Migrant Watch, Aznil Tan juga mendorong agar Marsinah dapat segera mendapatkan gelar Pahlawan Nasional.
Aksi teatrikan bercerita tentang Marsinah memeriahkan May Day Fiesta dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional di Istora Senayan Jakarta, Senin (1/5/2023). Ribuan buruh turun ke jalan menyampaikan aspirasinya.
Menurutnya, Marsinah sangat layak untuk mendapatkan gelar tersebut karena ia berjuang demi kepentingan banyak orang, bukan pribadi.
“Marsinah tidak memperjuangkan kepentingan pribadinya. Dia memperjuangkan hak-hak buruh, memperjuangkan upah minimum, menolak sistem kerja, eksploitatif, dan menuntut perlakuan adil dari perusahaan, serta menuntut juga kepada negara,” ujar Aznil Tan saat diwawancarai Jumat (30/5/2025).
Keberanian Marsinah menjadi sorotan mengingat perjuangannya dilakukan pada masa Orde Baru. Semua tahu, pemerintahan zaman itu terkenal otoriter dan mengekang suara-suara rakyat.
“Dia gugur sebagai korban perjuangan. Bukan gugur yang normatif-normatif saja. Kematian Marsinah bukan kecelakaan, tetapi konsekuensi dari perjuangan dia,” lanjut Aznil.
Ketua Umum Konfederasi Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Unang Sunarno menilai, Marsinah merupakan pelopor bagi buruh perempuan untuk ikut bersuara.
“Ia menjadi energi dan api semangat perjuangan bagi aktivis buruh saat itu (masa Orde Baru) dan masa kini karena keberanian dan keteguhanya dalam memperjuangkan hak-hak kaum buruh,” ujar Sunarno saat dihubungi Selasa (20/5/2025).
Bagi KASBI, perjuangan Marsinah adalah pendobrak demokrasi di masa Orde Baru yang erat dengan penggunaan senjata untuk meredam suara rakyat.
Dorongan untuk Mengusut Kasus Marsinah
Terlepas dari wacana untuk menjadikan Marsinah sebagai pahlawan nasional, sejumlah organisasi pergerakan buruh menuntut agar pemerintah mengusut kasus pembunuhan Marsinah hingga tuntas.
“Yang lebih penting bagi pelajaran bangsa Indonesia, yaitu perlunya pengungkapan dan penuntasan kasus pembunuhan Marsinah agar sejarah kelam tersebut terang benderang, dan kedepan tidak terulang kembali kasus serupa,” kata Sunarno lagi.
Sunarno mengatakan, Marsinah sengaja dibunuh karena berani menyuarakan hak-hak buruh yang pada waktu itu ditekan oleh penguasa.
Kematian Marsinah yang janggal dinilai patut diusut atas nama keadilan dan kebenaran.
Menunggu kebenaran ditegakkan, Marsinah terus menginspirasi dan menggerakan buruh yang terus memperjuangkan hak mereka.