Agnogenesis: Penciptaan Ketidaktahuan Publik dalam Penyusunan RUU
Suasana Rapat Paripurna ke-15 DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025). Rapat Paripurna tersebut menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI untuk disahkan menjadi undang-undang. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
06:34
10 April 2025

Agnogenesis: Penciptaan Ketidaktahuan Publik dalam Penyusunan RUU

TIDAK ada satu orang pun di dunia yang mengetahui segala hal,” begitu kata filsuf Pierre Lévy. 

Namun, pernahkah Anda bertanya mengapa sampai tidak mengetahui sebuah informasi, terutama yang berdampak besar pada kehidupan Anda?

Sejarawan Robert N. Proctor dari Stanford University, Amerika Serikat, menanyakan itu ketika mempelajari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan.

Lalu Proctor menemukan kasus-kasus di mana ada pihak-pihak yang secara sengaja menghambat sebuah informasi sampai ke khalayak luas sehingga tidak menjadi pengetahuan umum.

Proctor mencontohkan strategi sistematis industri rokok di Amerika Serikat pada 1950-an, untuk menghambat terbitnya peringatan tentang kaitan penyakit kanker dengan rokok.

Ketika peringatan itu akhirnya tersebar, perusahaan-perusahaan rokok menyewa jasa konsultan komunikasi untuk menjalankan kampanye menciptakan keraguan publik terhadap riset-riset medis yang menemukan risiko terkena kanker akibat merokok.

Temuan-temuan Proctor membuatnya menggagas agnotologi atau ilmu yang mempelajari ketidaktahuan.

Agnotologi secara khusus menelisik strategi agnogenesis, yaitu upaya menciptakan ketidaktahuan dengan menghambat atau menggagalkan tersebarnya informasi yang penting dan berdampak besar sampai kepada publik.

Tujuan akhir dari agnogenesis adalah memelihara ketidaktahuan publik, menyemai keraguan, dan menciptakan ketidakpastian.

“Aktor agnogenesis tidak ingin Anda mengetahui sesuatu dan mereka secara aktif menciptakan keraguan, ketidakpastian, dan menyebarkan disinformasi untuk memelihara ketidaktahuan Anda,” tulis Proctor dalam bukun “Agnotology: The Making and Unmaking of Ignorance”.

Riset-riset yang menggunakan pendekatan agnotologi menunjukkan berbagai taktik agnogenesis antara lain sensor, delegitimasi informasi dari lembaga resmi dan hasil penelitian institusi pendidikan, serta penyebaran informasi tandingan yang bersifat disinformasi.

Agnogenesis dalam penyusunan RUU

Agnogenesis memang lebih banyak dikaitkan dengan korporasi karena pada dasarnya institusi swasta tidak terikat kewajiban transparansi seperti halnya instansi publik.

Namun dalam kasus Indonesia, agnogenesis juga teramati pada lembaga publik, antara lain dalam proses penyusunan udang-undang oleh parlemen bersama mitranya, pemerintah.

Setiap penyusunan undang-undang memang tidak lepas dari kontroversi. Namun belakangan ini kita banyak membaca berita mengenai penyusunan beleid yang dipertanyakan transparansinya.

Mulai dari minimnya audiensi dengan publik dalam proses penyusunan undang-undang, rapat pembahasan di tempat-tempat tertutup yang jauh dari jangkauan publik, hingga tidak memadainya akses terhadap draf rancangan undang-undang (RUU).

Ketika tidak ada transparansi pembahasan dan minim akses terhadap draf RUU, maka ada kondisi ketidaktahuan publik mengenai pembahasan di parlemen.

Saat berseliweran banyak versi naskah RUU tanpa ada versi resmi yang diterbitkan oleh parlemen, maka terjadi ketidakpastian. Ketidaktahuan dan ketidakpastian ini klop dengan yang disebut Proctor sebagai agnogenesis.

Agnogenesis semestinya tidak ditemukan pada lembaga publik seperti DPR yang bertugas melayani kepentingan publik.

DPR sebenarnya sudah memiliki mekanisme agar publik terlibat seluas mungkin dalam penyusunan undang-undang, misalnya dengan mengadakan rapat dengar pendapat atau rapat dengar pendapat umum.

Peneliti hukum dari Universitas Andalas, Charles Simabura, dalam Laporan Studi Dokumen
Penguatan Partisipasi Publik dalam Proses Legislasi yang dipublikasikan organisasi Cakra Wikara Indonesia pada 2021 memberi beberapa rekomendasi agar proses legislasi lebih melibatkan publik.

DPR dapat mengikutsertakan pakar independen dalam tim penyusun undang-undang, mengadakan audiensi dengan publik dan mengundang publik dalam rapat penyusunan, mempublikasikan naskah akademik RUU dan secara aktif mengadakan lokakarya pembahasan draf tersebut.

Tentu saja semua ini perlu dijalankan jauh sebelum sebuah RUU masuk dalam tahapan pembahasan resmi di parlemen.

Dengan demikian, publik berkesempatan menyampaikan aspirasi perlu atau tidaknya usulan peraturan untuk menjadi undang-undang serta diskusi lebih mendalam terhadap klausul-klausul yang dianggap merugikan publik.

Kita boleh berbaik sangka bahwa semua problem transparansi penyusunan undang-undang itu terjadi karena permasalahan teknis, prosedural, dan mekanisme penyusunan peraturan yang belum sempurna.

Atau bisa jadi undangan dengar pendapat sudah dilayangkan, tetapi tidak mendapat respons memadai dari publik. Namun, rekam jejak proses legislasi menunjukkan sebaliknya.

Ada beberapa pembahasan undang-undang mendapat kritik karena prosesnya yang kilat tanpa keterlibatan publik yang memadai.

Misalnya, kritik terhadap penyusunan UU Cipta Kerja, revisi UU KPK, serta UU Pertambangan Mineral dan Batubara.

Baru-baru ini DPR dikritik karena publik sulit mengakses draf RUU TNI dan tidak segera mempublikasikan dokumen undang-undang tersebut setelah disahkan dengan alasan belum diundang oleh pemerintah.

Pada kondisi-kondisi seperti ini sulit untuk menampik telah terjadi agnogenesis dalam penyusunan peraturan yang berdampak besar bagi kehidupan dan kesejahteraan publik.

Melawan agnogenesis dengan dekonstruksi

Peneliti agnotologi seperti Proctor menghabiskan banyak sumber daya untuk mewawancara banyak narasumber dan memeriksa dokumen untuk menemukan agnogenesis.

Dapatkah masyarakat dengan keterbatasan sumber daya melawan agnogenesis? Jawabannya: Bisa!

Saya akan meminjam pemikiran filsuf Perancis, Jacques Derrida, tentang dekonstruksi untuk menyusun strategi menghadapi agnogenesis.

Strategi pertama adalah bertanya dan terus bertanya. Derrida berpandangan tidak ada kebenaran tunggal pada wacana yang tengah menjadi pembahasan publik.

Ketika satu pemaknaan terhadap masalah diangkat ke permukaan oleh aktor agnogenesis, maka saat yang sama ada aspek lain yang tengah ditenggelamkan.

Jika kita ingin mengetahui apa yang sedang disembunyikan oleh aktor agnogenesis, maka kita harus bertanya, apa saja yang tidak kita ketahui tentang suatu masalah.

Dalam pembahasan rancangan undang-undang, tanyakanlah informasi apa saja yang tidak Anda ketahui. Apakah Anda tidak tahu siapa pengusulnya dan motivasi mereka? Apakah kita tidak tahu dasar pemikiran dan argumentasi dari para penyusunannya? Atau mungkin Anda sama sekali tidak tahu isi draf peraturan itu?

Kedua, penting untuk mendapatkan dokumen tertulis dan jangan berpuas diri dengan penjelasan dan jawaban lisan tentang mereka yang terlibat dalam masalah.

Derrida berpendapat tulisan ada pada hierarki yang lebih tinggi dari lisan antara lain karena memiliki tuntutan kognitif yang lebih tinggi.

Mereka yang pandai bersilat lidah belum tentu mampu menuangkan pemikiran dengan baik dalam tulisan dan seringkali kecewa karena gagasannya dan argumennya runtuh karena tidak mampu dituangkan dalam tulisan yang tersusun runut dan sistematis.

Tidak heran gagasan-gagasan besar menjadi tidak terlalu cemerlang ketika diubah menjadi tulisan.

Karena itu, penting bagi publik untuk mendesak parlemen selalu menerbitkan naskah RUU. Sebaik apapun penjelasan lisan para penyusun, masalah dan lubang-lubang argumentasi dalam RUU akan sangat kentara dalam naskah tertulis.

Publik dapat melihat apa dan siapa yang berkepentingan dalam sebuah peraturan dan seperti apa dampaknya bagi publik, serta seberapa benar klaim-klaim yang disampaikan para penyusunnya.

Lalu ketiga, dukungan yang lebih kuat kepada jurnalis. Seringkali proses terus bertanya apa informasi yang tenggelam dalam diskusi publik memerlukan bantuan jurnalis untuk mendapatkan jawaban, penjelasan, dan dokumen tertulis.

Wartawan memiliki akses yang dilindungi oleh Undang-undang Pers untuk mencari informasi dan bertanya langsung kepada institusi publik maupun swasta.

Dukungan bagi jurnalis menjadi penting karena belakangan upaya wartawan mencari informasi bagi publik, bahkan untuk sekadar bertanya saja sudah mendatangkan ancaman serius bagi jurnalis.

Kita membaca jurnalis Kompas.com Adhyasta Dirgantara diintimidasi hanya karena mengajukan pertanyaan. Lalu jurnalis Tempo Francisca Christy Rosana diteror dengan paket potongan kepala babi.

Baik secara individu maupun melalui bantuan media, publik perlu terus bertanya, apa yang kita tidak tahu dan mengapa kita sampai tidak tahu.

Apa yang tidak kita tahu itulah yang menurut Derrida sedang berusaha ditenggelamkan agar kita menjadi tidak tahu dan ragu.

Publik perlu tahu dan terinformasi dengan baik agar mampu bersikap dan mengambil keputusan secara mandiri terhadap persoalan-persoalan yang berdampak besar bagi kehidupan publik.

Tag:  #agnogenesis #penciptaan #ketidaktahuan #publik #dalam #penyusunan

KOMENTAR