Politik Skincare: Dari Efisiensi ke Pembangunan yang Glowing
Murid SD Negeri Samudrajaya 04, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi belajar di ruang kelas yang rusak, Senin (20/1/2020). Kondisi sekolah yang rusak sejak 2014 ini membuat proses belajar mengajar tidak nyaman.(KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)
06:40
25 Februari 2025

Politik Skincare: Dari Efisiensi ke Pembangunan yang Glowing

DALAM dunia politik, pencitraan adalah segalanya. Kamera menangkap senyum yang lebar, kata-kata dirangkai dengan penuh perhitungan, dan setiap gestur dianalisis sedetail mungkin.

Namun, di era politik hari ini, pencitraan bukan sekadar tentang retorika cerdas atau kebijakan yang terencana matang.

Kini, wajah yang glowing, kulit yang sehat, dan rutinitas skincare pun bisa menjadi bagian dari strategi politik.

Baru-baru ini, Indonesia dihebohkan dengan momen Wakil Presiden Gibran Rakabuming yang membagikan skincare saat meninjau program pemberdayaan ekonomi berbasis kecantikan.

Momen itu, yang mungkin diniatkan sebagai simbol kepedulian terhadap ekonomi berbasis kecantikan, justru memicu banyak pertanyaan fundamental: Sejak kapan kebijakan negara diukur dari kadar kecerahan wajah warganya?

Apakah pembangunan yang bersandar pada glowing skin lebih penting daripada kebijakan ekonomi yang efisien dan pro-rakyat?

Dari efisiensi ke kecantikan yang glowing

Mari kita telaah pergeseran ini lebih dalam. Politik, dalam konsep klasik, selalu berbicara tentang efisiensi, pemerataan, dan kesejahteraan rakyat.

Namun, di era politik modern, terutama dengan maraknya media sosial, pendekatan itu perlahan bergeser ke arah visual, simbolik, dan viralitas.

Dalam dunia politik skincare, bukan hanya kebijakan yang harus bersinar, tetapi juga wajah para pemimpin.

Munculnya tren politik berbasis kecantikan ini bukan tanpa alasan. Pemerintah tampaknya menyadari bahwa rakyat lebih tertarik pada hal-hal yang berbau lifestyle dan self-care dibandingkan diskusi panjang soal makroekonomi atau ketimpangan sosial.

Maka, alih-alih berbicara tentang reformasi pajak atau kebijakan subsidi yang efektif, lebih mudah membagikan serum dan pelembab wajah sembari berkata, “Dengan kulit yang sehat, kita bisa membangun masa depan yang lebih cerah.”

Jika politik hanya sekadar urusan tampilan luar, maka efisiensi pemerintahan tak perlu lagi diukur dengan indikator ekonomi makro, melainkan dengan seberapa baik warga negara merawat kulit mereka.

Tak perlu debat panjang soal anggaran pendidikan atau peningkatan kesejahteraan tenaga kerja, cukup hadirkan rangkaian skincare dan tawarkan program subsidi sunscreen untuk masyarakat.

Dengan begitu, bukan hanya ekonomi yang sehat, tetapi juga wajah-wajah rakyatnya.

Sebenarnya, politik dan kosmetik bukanlah pasangan baru. Sejarah menunjukkan bahwa para pemimpin dunia sejak era kuno memahami pentingnya penampilan.

Napoleon Bonaparte, misalnya, selalu memastikan dirinya wangi dengan cologne sebelum bertemu para jenderal.

Margaret Thatcher dikenal dengan tatanan rambutnya yang sempurna, sebagai simbol ketegasan dan ketahanan.

Namun, di era media sosial, politik kosmetik mengalami evolusi besar. Kini, bukan hanya penampilan individu yang menjadi sorotan, tetapi juga bagaimana pemimpin merancang narasi politik melalui produk-produk kecantikan.

Dari beauty influencer hingga skincare enthusiast, semua bisa menjadi duta kebijakan pemerintah, asalkan mereka memiliki cukup followers dan bisa merekomendasikan produk dengan wajah bersinar.

Kita tak perlu terkejut jika di masa depan, kampanye politik tidak lagi berbasis manifesto, melainkan endorsement produk kecantikan.

Ironi dari semua ini adalah bahwa kebijakan yang seharusnya menyentuh akar permasalahan ekonomi dan sosial justru bergerak ke arah permukaan—secara harfiah.

Pemerintah seharusnya berbicara tentang pendidikan, kesehatan, dan kemiskinan, bukan sekadar membagikan toner dan essence kepada rakyat.

Lebih dari itu, kebijakan berbasis kosmetik ini mencerminkan bagaimana kekuasaan berusaha menghindari permasalahan riil dengan pendekatan simbolik yang mudah dijual di media sosial.

Sebab, apa yang lebih mudah dilakukan: menyelesaikan krisis ekonomi atau membagikan sheet mask?

Kebijakan seperti ini juga mencerminkan obsesi terhadap citra yang dangkal. Seakan-akan permasalahan rakyat bisa diatasi dengan sebotol serum anti-aging.

Padahal, di luar sana, masih banyak yang kesulitan mencari pekerjaan, berjuang untuk pendidikan anak-anaknya, atau sekadar bertahan hidup dari hari ke hari.

"Glowing" untuk siapa?

Tentu saja, pertanyaan besar yang harus diajukan adalah: glowing ini untuk siapa? Apakah program ini benar-benar untuk rakyat atau hanya alat untuk menaikkan citra pejabat tertentu? Apakah distribusi skincare ini bagian dari solusi ekonomi atau sekadar gimmick politik?

Jika pemerintah benar-benar ingin rakyatnya bersinar, seharusnya mereka memastikan bahwa rakyat memiliki akses ke pendidikan berkualitas, lapangan kerja yang layak, dan pelayanan kesehatan memadai.

Tanpa itu semua, seberapa pun glowing kulit rakyat, masa depan bangsa ini tetap kusam.

Mungkin sudah saatnya kita bertanya, apakah kita menginginkan pemimpin yang peduli pada masa depan rakyat atau hanya pada kelembaban kulit mereka?

Sebab, dalam politik skincare ini, yang glowing bukan hanya wajah, tetapi juga ilusi tentang keberpihakan kepada rakyat.

Dan seperti banyak produk kecantikan lainnya, efeknya hanya sementara, sebelum akhirnya pudar dalam realitas.

Tag:  #politik #skincare #dari #efisiensi #pembangunan #yang #glowing

KOMENTAR