Makan Bergizi Gratis: Mengurai Kompleksitas di Balik Kebijakan Populis
Sejumlah siswa SD menyantap makanan bergizi gratis saat pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SD Negeri 060960, Medan Belawan, Medan, Sumatera Utara, Senin (13/1/2025). Badan Gizi Nasional bersama Kodam I/ Bukit Barisan melaksanakan program makan bergizi gratis di sekolah tersebut dengan penerima manfaat sebanyak 250 siswa. ANTARA FOTO/Yudi Manar/YU (ANTARA FOTO/Yudi Manar)
08:20
21 Februari 2025

Makan Bergizi Gratis: Mengurai Kompleksitas di Balik Kebijakan Populis

ISTILAH "makan gratis" yang belakangan menjadi perbincangan hangat perlu dikaji secara lebih kritis dan mendalam.

Seperti adagium ekonomi klasik yang menyatakan "there is no such thing as a free lunch" (tidak ada makan siang gratis), setiap program bantuan sejatinya membutuhkan sumber pendanaan yang substansial.

Yang terjadi hanyalah pengalihan alokasi anggaran melalui apa yang dikemas dalam terminologi "efisiensi anggaran" - sebuah konsep yang perlu kita telaah lebih jauh implikasinya.

Indonesia saat ini berada dalam situasi yang cukup pelik. Di satu sisi, terdapat tekanan untuk memenuhi janji politik terkait program bantuan pangan. Namun, di sisi lain negara masih harus berhadapan dengan beban utang yang tidak ringan.

Kondisi ini ibarat seseorang yang sudah terlanjur membuat janji besar, tapi kemudian menyadari keterbatasan kemampuan finansialnya.

Lebih memprihatinkan lagi, upaya efisiensi anggaran yang ditempuh justru berimbas pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tentunya kontraproduktif dengan tujuan awal program tersebut.

Dinamika ini menciptakan paradoks menarik: program yang ditujukan untuk membantu kelompok rentan malah berpotensi menciptakan spiral permasalahan ekonomi yang lebih luas.

Ketika anggaran negara terbebani secara signifikan, dampaknya akan terasa di berbagai sektor.

Mulai dari potensi kenaikan harga-harga (inflasi), penurunan kualitas layanan publik, hingga terhambatnya program-program pembangunan lain yang tidak kalah pentingnya.

Fenomena ini mirip dengan memberikan solusi jangka pendek yang justru bisa menciptakan masalah jangka panjang yang lebih kompleks.

Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, akan lebih strategis jika alokasi anggaran diarahkan pada sektor-sektor fundamental.

Investasi di bidang pendidikan, misalnya, tidak hanya akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, tetapi juga membuka peluang mobilitas sosial yang lebih besar.

Begitu pula dengan penguatan sektor kesehatan yang akan berdampak pada peningkatan produktivitas nasional.

Program pelatihan keterampilan dan pemberdayaan masyarakat juga dapat memberikan multiplier effect yang lebih signifikan dibandingkan bantuan konsumtif semata.

Filosofi "memberi kail daripada ikan" menjadi sangat relevan dalam konteks ini. Program pemberdayaan yang well-designed tidak hanya akan membantu masyarakat memenuhi kebutuhan jangka pendek, tetapi juga membangun kapasitas mereka untuk mandiri secara ekonomi. 

Ini bisa diwujudkan melalui berbagai inisiatif seperti program kewirausahaan, pelatihan vokasi, atau pengembangan UMKM yang terintegrasi dengan kebutuhan pasar.

Yang dibutuhkan saat ini adalah keberanian untuk melakukan reformulasi kebijakan yang lebih berorientasi pada pembangunan fundamental.

Alih-alih terjebak pada program-program populis yang efeknya temporer, pemerintah perlu fokus pada pembangunan infrastruktur sosial dan ekonomi yang kokoh.

Ini mencakup penguatan sistem pendidikan, peningkatan akses kesehatan, pengembangan kapasitas SDM, dan penciptaan ekosistem ekonomi yang lebih inklusif.

Tentu saja, transisi dari pendekatan bantuan langsung menuju program pemberdayaan membutuhkan proses yang tidak singkat.

Namun, ini adalah langkah yang perlu diambil demi membangun fondasi ekonomi yang lebih berkelanjutan.

Dengan pendekatan yang lebih terstruktur dan berorientasi jangka panjang, kita bisa menciptakan solusi yang tidak hanya mengatasi gejala, tetapi juga mengobati akar permasalahan kemiskinan dan kesenjangan sosial di Indonesia.

Sudah saatnya kita bergerak melampaui politik transaksional dan mengadopsi pendekatan pembangunan yang lebih visioner.

Masa depan Indonesia yang lebih baik tidak dibangun di atas janji-janji manis semata, melainkan melalui kerja keras dan kebijakan yang benar-benar berorientasi pada peningkatan kapasitas dan kemandirian masyarakat.

Tag:  #makan #bergizi #gratis #mengurai #kompleksitas #balik #kebijakan #populis

KOMENTAR