Memaknai Demonstrasi Indonesia Gelap (Bagian I)
Mahasiswa dari berbagai elemen yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Malang Raya membawa spanduk saat melakukan aksi di depan Gedung DPRD Kota Malang, Jawa Timur, Selasa (18/2/2025). Aksi tersebut untuk menuntut perhatian pada anggaran pendidikan dan kesehatan. (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto)
10:00
19 Februari 2025

Memaknai Demonstrasi Indonesia Gelap (Bagian I)

DEMONSTRASI mahasiswa dengan tagar "Indonesia Gelap" bukan sekadar peristiwa politik biasa.

Di tengah survei tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah yang melampaui 80 persen, mengapa gejolak ini muncul begitu cepat?

Gelombang demonstrasi serentak di berbagai kota besar—Jakarta, Bandung, Lampung, Surabaya, Malang, Samarinda, Banjarmasin, Aceh, hingga Bali—menandakan bahwa ini bukan sekadar luapan ketidakpuasan sesaat, melainkan seruan reflektif.

Ada kesenjangan lebar antara kebijakan dan realitas yang dirasakan masyarakat.

Di tengah ketegangan ini, muncul pertanyaan mendasar: apa arti kepemimpinan sejati? Dalam politik modern, kepemimpinan sering kali diukur dari kemampuan mengendalikan kekuasaan atau memenangkan persaingan elektoral.

Namun, kepemimpinan yang autentik lebih dari sekadar strategi dan administrasi. Ia lahir dari keberanian untuk memahami, merasakan, dan merangkul aspirasi rakyat.

Kepemimpinan bukan hanya tentang mengelola atau mempertahankan status quo, tetapi tentang melampaui kepentingan pribadi dan kelompok demi kesejahteraan bersama (bonum commune).

Ketika tantangan zaman semakin kompleks, kepemimpinan semacam ini bukan hanya diinginkan, tetapi juga dibutuhkan.

Dalam konteks ini, konsep Fourth Person Knowing atau Pemahaman Tingkat Keempat yang diperkenalkan oleh Otto Scharmer menjadi semakin relevan.

Otto, seorang dosen senior di Massachusetts Institute of Technology (MIT), dikenal sebagai intelektual terkemuka dalam kepemimpinan, inovasi dan transformasi perubahan sosial melalui Teori U.

Ia juga merupakan salah satu pengajar dalam retret para menteri, wakil menteri, dan pejabat tinggi di Magelang, beberapa waktu lalu.

Dalam diskusi penulis dengan Otto, selain menyampaikan kesan mengajar di Magelang, ia juga mengakui bahwa waktu yang tersedia sangat terbatas.

Memahami Teori U bukanlah hal mudah, terlebih konsep Pemahaman Tingkat Keempat, yang merupakan pendalaman lebih lanjut dan pastinya belum diajarkan secara dalam.

Konsep ini bukanlah gagasan yang dapat dipahami secara instan. Ia menuntut refleksi mendalam serta kesiapan untuk melampaui pola pikir konvensional.

Lebih dari sekadar menawarkan perspektif baru, konsep ini mengajak individu—terutama para pemimpin—untuk mengembangkan kesadaran yang lebih luas dan menyeluruh.

Pemahaman Tingkat Keempat mengharuskan integrasi antara wawasan intelektual, kedalaman emosional, dan spiritualitas yang matang—sebuah harmoni yang menjadikan kepemimpinan bukan sekadar alat pengendali, tetapi kekuatan yang mampu menggerakkan.

Ini adalah kepemimpinan yang berakar pada kesadaran untuk menciptakan masa depan yang lahir dari kebijaksanaan kolektif (from the emerging future), selaras dengan semangat zaman (zeitgeist), dan membawa masyarakat menuju tujuan yang lebih luhur.

Pemahaman Tingkat Keempat

Untuk memahami kedalaman Pemahaman Tingkat Keempat, kita perlu menyelami perbedaan mendasar dari tingkat-tingkat pemahaman sebelumnya.

Pemahaman Tingkat Pertama (First Person Knowing) adalah kesadaran yang berfokus pada diri sendiri. Ini adalah tahap kepemimpinan terjebak dalam batas sempit ego, di mana keputusan diambil demi keuntungan pribadi, tanpa memperhitungkan dampak jangka panjang bagi masyarakat.

Kepemimpinan seperti ini mungkin efektif dalam meraih hasil cepat, tetapi sering kali gagal menciptakan perubahan bermakna dan berkelanjutan.

Pemahaman Tingkat Kedua (Second Person Knowing) menggeser fokus kepada hubungan antarindividu.

Di tingkat ini, seorang pemimpin mulai memperhatikan dinamika sosial, merespons kebutuhan kelompok tertentu.

Namun, meskipun ada peningkatan dalam kesadaran sosial, kepemimpinan ini tetap rentan terperangkap dalam eksklusivitas kekuasaan, sering kali mendahulukan kepentingan kelompok tertentu di atas kepentingan umum. Ini menciptakan ketimpangan dan fragmentasi yang melemahkan ikatan sosial.

Pemahaman Tingkat Ketiga (Third Person Knowing) memperluas wawasan dengan melihat dunia secara objektif dan sistemik.

Kepemimpinan pada tingkat ini didasarkan pada data, analisis, dan pendekatan yang logis. Namun, meskipun menawarkan solusi kompleks dan teknokratis, pendekatan ini sering terjebak dalam birokrasi kaku, mengabaikan dimensi spiritual dan emosional yang penting.

Akibatnya, kepemimpinan menjadi dingin, terpisah dari realitas kemanusiaan yang lebih dalam.

Pemahaman Tingkat Keempat melampaui ketiga tingkat ini. Pada tingkat ini, seorang pemimpin tidak hanya memahami diri sendiri, orang lain, atau sistem secara terpisah, tetapi merasakan keseluruhan jaringan kehidupan sebagai satu kesatuan.

Kesadaran ini tidak lagi dibatasi oleh ego atau kelompok, melainkan terhubung dengan jiwa kolektif (collective consciousness) yang melampaui batas geografis dan budaya.

Pemimpin dengan Pemahaman Tingkat Keempat mampu menggabungkan wawasan intelektual, kedalaman emosional, dan spiritualitas yang mendalam.

Mereka mengambil keputusan dari tempat yang bijaksana dan holistik, mempertimbangkan dampak jangka panjang pada seluruh masyarakat dan masa depan bangsa.

Inilah kepemimpinan yang dapat menyatukan, memulihkan, dan menggerakkan bangsa menuju masa depan lebih adil dan berkelanjutan—masa depan yang muncul dari kolaborasi antara pikiran, hati, dan tindakan (co-emerges from the collective wisdom), sejalan dengan semangat zaman.

Kualitas kepemimpinan Soekarno

Dalam sejarah Indonesia, kita menemukan contoh paling mendalam tentang kepemimpinan dengan Pemahaman Tingkat Keempat melalui sosok Soekarno.

Ia adalah pemimpin yang mampu melampaui kepentingan pribadi atau kelompok, menghubungkan dirinya dengan aspirasi dan jiwa kolektif bangsa Indonesia.

Soekarno tidak hanya memimpin, ia merasakan dan memahami keinginan serta kebutuhan rakyat pada tingkat yang sangat dalam, menjadikannya figur yang mampu menggerakkan dan memobilisasi seluruh bangsa menuju cita-cita kemerdekaan dan persatuan.

Kepemimpinan Soekarno adalah wujud dari kesadaran yang menyatu dengan denyut nadi rakyat, sebuah kesadaran yang lebih besar dari sekadar politik, lebih dalam dari sekadar strategi. Bersambung...

Tag:  #memaknai #demonstrasi #indonesia #gelap #bagian

KOMENTAR