



LPSK, Latar Belakang, Jejak Langkah, dan Kebijakan Anggaran
Oleh: Andreas Lucky Lukwira dan Fatimah Nuryani*
LEMBAGA Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
UU Perlindungan Saksi dan Korban diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. VIII Tahun 2001.
Kemudian Rancangan UU Perlindungan Saksi dan Korban diajukan oleh Badan Legislasi DPR RI pada Juni 2002 dan lahirlah LPSK pada 8 Agustus 2008.
Dilihat dari latar belakang pembentukannya, LPSK bisa disebut sebagai salah satu “anak kandung” Reformasi selain KPK.
LPSK merupakan lembaga negara yang mandiri dan bertanggungjawab langsung kepada presiden.
Dalam sistem hukum tata negara di Indonesia, LPSK tidak termasuk dalam kategori lembaga eksekutif, legislatif, atau yudikatif, melainkan auxiliary state atau "lembaga negara pembantu", yaitu lembaga yang tidak termasuk dalam struktur pemerintahan utama, tapi memiliki tugas dan fungsi untuk mendukung dan melengkapi fungsi pemerintahan.
Dalam hal ini fungsi penegakan hukum dengan menjaga supremasi hukum dan memastikan bahwa hukum diterapkan secara adil dan tidak diskriminatif.
Dengan kata lain, peran LPSK adalah memastikan kekuasaan yudikatif di Indonesia berjalan dengan adil dan tidak dipengaruhi kekuasaan politik atau salah satu pihak yang berkepentingan.
Tugas dan fungsi LPSK, yaitu melindungi saksi dan korban dalam proses peradilan, memberikan bantuan pemulihan fisik, psikis, psikososial, serta dukungan perhitungan ganti kerugian yang lebih dikenal dengan istilah restitusi (ganti rugi yang diberikan oleh pelaku kepada korban) dan kompensasi (ganti rugi yang diberikan oleh negara kepada korban).
Tujuan dari pemberian perlindungan terhadap saksi dan korban agar keterangan/kesaksian yang diberikan pada saat persidangan menjadi terang dan terungkap sebagaimana kronologis peristiwa/fakta hukum yang terjadi, bukan cerita yang dikarang oleh oknum untuk menguntungkan salah satu pihak atau organisasi tertentu.
Untuk keperluan tersebut, LPSK diberikan kewenangan untuk memastikan saksi dan korban tidak dalam keadaan takut, tertekan, terintimidasi, atau terancam saat memberikan keterangannya, baik pada tahap pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan, hingga bersaksi di pengadilan.
Lebih jauh lagi, LPSK dapat mengamankan saksi dan korban dengan merelokasi ke suatu tempat yang dirahasiakan serta dapat memberikan identitas baru kepada saksi dan korban jika terdapat ancaman yang sangat membahayakan jiwanya atau sudah tidak memungkinkan lagi saksi dan korban dapat melanjutkan hidupnya setelah proses hukum selesai dengan memakai identitas aslinya.
Menurut Pasal 5 UU Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK dapat memberikan perlindungan terhadap saksi pelaku, pelapor, ahli, serta orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.
Tidak sampai di situ, LPSK juga dapat memberikan perlindungan atas keamanan keluarganya dan harta bendanya. Sehingga subyek perlindungan LPSK tidak hanya terbatas saksi dan korban, melainkan juga ke saksi pelaku, pelapor, dan ahli.
Dengan demikian, keberadaan LPSK di Indonesia menjadi sangat penting dalam memenuhi prinsip-prinsip kekuasaan yudikatif di dalam sistem negara hukum demokrasi.
Harapannya, masyarakat dapat merasa aman dan percaya diri untuk mengadu/melapor dan bersaksi terhadap kejahatan tindak pidana yang terjadi pada dirinya, keluarganya, atau lingkungannya; mencegah praktik korupsi dan kolusi dalam proses peradilan; menghindari kekerasan fisik dan psikis, intimidasi, dan ancaman saat proses pengambilan keterangan/kesaksian, serta menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia.
Kasus yang ditangani LPSK
Sepanjang menjelang 17 tahun keberadaan LPSK, sudah sejumlah kasus besar yang mereka tangani.
Kasus korupsi Wisma Atlet contohnya, bagaimana keberadaan LPSK turut membantu pengungkapan perkara melalui perlindungan terhadap salah satu saksi pelaku yang kemudian menjadi kunci pengungkapan perkara.
Kemudian pada perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Benjina di mana LPSK turut membantu menghadirkan puluhan saksi korban WN Myanmar ke Maluku guna memberikan kesaksian.
Pada 2015, kita mungkin masih ingat kasus Salim Kancil dan Tosan yang dianiaya oleh pelaku tambang pasir liar di desa Selo Awar-Awar Lumajang. Peristiwa itu membuat Salim Kancil meninggal dunia dan Tosan terluka parah.
LPSK hadir, baik dalam perlindungan kepada Tosan sebagai saksi kunci dalam bentuk perlindungan fisik dan pendampingan selama proses peradilan, maupun hadir di sekitar pascakejadian dengan menawarkan bantuan medis untuk Tosan yang dirawat di RS.
Kita tentu belum lupa kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat pada 2022 lalu. Kasus yang nyaris tidak terungkap dengan tepat karena adanya narasi, bahkan upaya rekayasa perkara oleh segelintir anggota kepolisian, yang kemudian turut terjerat perkara perintangan penyidikan.
LPSK yang awalnya diharapkan memberikan perlindungan untuk Putri Chandrawati, yang kemudian justru menjadi salah satu terdakwa kasus yang sama, menjadi pembeda dengan memberikan perlindungan kepada Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu.
Ketika itu kesaksian Eliezer yang berperan besar mengungkap perkara pembunuhan tersebut, termasuk peran dari masing-masing terdakwa.
Andaikan Eliezer tidak diberikan perlindungan, potensi tidak terungkapnya kasus pembunuhan Brigadir Yosua sangat besar mengingat yang dihadapi saksi merupakan atasan dengan jarak kepangkatan begitu jauh.
Begitupun pada kasus Kanjuruhan, Malang. Pada kasus yang menewaskan 43 perempuan, termasuk 32 korban usia anak tersebut, LPSK merupakan lembaga negara yang sampai sekarang masih mendampingi para korban.
Tidak hanya kasus yang baru terjadi, pada kasus Pelanggaran HAM Berat (PHB) masa lalu, LPSK turut memberikan layanan berupa layanan medis, layanan psikososial, dan layanan psikologis untuk korban, baik korban langsung maupun anak korban.
Tercatat korban peristiwa seputar 1965, Talangsari, Priok, dan beberapa peristiwa PHB di Aceh turut dilayani oleh LPSK.
Begitupun terkait kasus terorisme, baik dalam bentuk tanggap darurat medis seperti pada kasus bom Thamrin, Kampung Melayu, Sibolga hingga terakhir kasus terorisme bom Mapolsek Astana Anyar Bandung di mana LPSK turut hadir.
Termasuk juga untuk korban terorisme masa lalu seperti bom Bali I dan II, bom Marriot, dan bom Kedubes Australia.
Jumlah pemohon perlindungan ke LPSK juga terus meningkat, dari 7.645 orang pemohon perlindungan pada 2023 menjadi 10.217 orang pemohon.
Kebijakan anggaran
Dari berbagai upaya perlindungan dan meningkatnya pemohon perlindungan ke LPSK, tidak sebanding dengan kebijakan anggaran untuk LPSK, termasuk dalam situasi efisiensi saat ini.
Dengan cakupan wilayah penugasan se-Indonesia, anggaran LPSK 2025 pada awalnya sebesar Rp 229 miliar.
Namun, karena adanya efisiensi sesuai yang diinstruksikan pada Inpres 1/2025, anggaran LPSK dipangkas sebesar 62 persen menjadi tersisa Rp 85 miliar.
Adanya pemangkasan sebesar tersebut tentunya sedikit banyak memengaruhi kualitas, apalagi kuantitas layanan LPSK.
Hal ini disadari beberapa kelompok korban. Di antaranya kelompok korban Tragedi Kanjuruhan yang pada 9 Februari 2025, meminta Presiden dan Komisi XIII untuk mempertimbangkan kembali besaran pemangkasan anggaran LPSK agar layanan kepada korban tidak terdampak.
Pada 10 Februari 2025, Kelompok Penyintas Terorisme mengirimkan surat terbuka ke Presiden dan Komisi XIII dengan kekhawatiran yang sama, yakni terdampaknya layanan ke korban akibat pemangkasan anggaran.
Sama seperti korban Kanjuruhan, para penyintas terorisme juga berharap pemangkasan anggaran ke LPSK ditinjau kembali dan agar besaran pemangkasan dikurangi.
Sebagai lembaga yang fungsi utamanya pelayanan dan perlindungan kepada saksi dan korban, kehadiran secara fisik petugas LPSK menjadi penting.
Apalagi beberapa layanan memang tidak bisa dilakukan secara virtual, seperti perlindungan fisik maupun pendampingan saat persidangan.
Penelaahan permohonan akan lebih optimal jika dilakukan secara langsung ketimbang virtual.
Petugas penelaah LPSK tentunya akan lebih bisa mengorek informasi jika berhadapan langsung dengan saksi, korban, maupun pihak terkait lainnya seperti aparat penegak hukum maupun dinas-dinas terkait.
Pada 13 Februari 2025, Komisi XIII melakukan RDP dengan agenda rekonstruksi efisiensi anggaran dengan mitra kerja, termasuk LPSK.
Akhirnya pemotongan anggaran LPSK dikurangi dari awalnya dipotong Rp 144 miliar menjadi dipotong Rp 122 miliar dengan jumlah anggaran LPSK pada 2025 menjadi Rp 107 miliar.
Tambahan Rp 22 miliar ini tentunya menjadi napas tambahan LPSK pada 2025, meski tentunya masih jauh dari ideal.
Harapannya pada tahun anggaran berikutnya, ada keberpihakan lebih dari pemerintah kepada saksi dan korban, melalui peningkatan anggaran LPSK. Tentunya dengan mempertimbangkan beban kerja dan kebutuhan saksi dan korban.
Sehingga kehadiran negara kepada saksi dan korban, melalui LPSK, akan semakin nyata, tidak hanya seadanya, apalagi hanya sekadar kata-kata di mulut pejabat atau slogan di baliho-baliho iklan layanan masyarakat.
*Fatimah Nuryani, Analis Hukum Ahli Muda LPSK
Tag: #lpsk #latar #belakang #jejak #langkah #kebijakan #anggaran