



Dilema Repatriasi Jihadis
PEMERINTAH Indonesia menghadapi dilema keamanan yang tak bisa diabaikan. Repatriasi warga negara Indonesia yang tergabung dalam Foreign Terrorist Fighters (FTF) di Suriah dan Filipina bukan hanya persoalan kemanusiaan—ini adalah ujian bagi stabilitas nasional.
Dengan keterlibatan sebagian dari mereka dalam kelompok seperti Hayat Tahrir al-Sham (HTS), keputusan ini bukan hanya soal membawa mereka pulang, tetapi juga memastikan bahwa Indonesia tidak membuka celah bagi ancaman yang dapat tumbuh kembali.
HTS kini menjadi penguasa de facto di Suriah setelah menggulingkan rezim Bashar al-Assad. Namun, di tengah pergolakan ini, masih ada 16 FTF asal Indonesia yang berada di Suriah, sebagian besar bergabung dengan HTS di Damaskus.
Arif Siswanto (22 Desember 2024), mantan Ketua Tim Lajnah (Dewan Syuro) JI pada masa Amir Parawijayanto, mengungkapkan bahwa di Filipina masih terdapat sembilan anggota JI yang tersisa.
Fakta ini menunjukkan bahwa keterlibatan WNI dalam jaringan jihad global tetap menjadi variabel yang belum terselesaikan.
HTS berupaya mengubah citranya menjadi lebih moderat untuk mendapatkan legitimasi. Namun, realitas di lapangan menunjukkan pola tindakan represif yang masih berlangsung.
HTS tetap represif, membungkam oposisi, dan mempertahankan hubungan dengan elemen Al-Qaeda.
Meskipun ada wacana internasional untuk menilai ulang status HTS, bukti di lapangan menunjukkan bahwa kelompok ini tetap mempertahankan pola tindakan represif, membungkam oposisi, dan menjaga hubungan dengan elemen ekstremis global.
Oleh karena itu, setiap upaya untuk memberikan legitimasi kepada HTS harus dikaji dengan sangat hati-hati agar tidak justru membuka ruang bagi ekspansi ideologi mereka.
Indonesia tidak bisa bersikap pasif. Indonesia telah menandatangani kesepakatan kerja sama dengan Turkiye dalam kontra-intelijen dan penanggulangan terorisme.
Langkah ini menunjukkan upaya Indonesia memperkuat sistem keamanannya di tengah meningkatnya ancaman dari jaringan teroris transnasional.
Turkiye memiliki kepentingan strategis dalam menjaga stabilitas kawasan. Sementara Amerika Serikat juga mengambil langkah lebih agresif terhadap kelompok teroris di Suriah.
Serangan udara oleh Komando Pusat AS (CENTCOM) pada 30 Januari 2025, menewaskan Muhammad Salah al-Za’bir, pemimpin senior Hurras al-Din (HAD), cabang resmi Al-Qaeda di Suriah.
Sementara itu, HTS terus berupaya mengukuhkan posisinya sebagai kekuatan utama pasca-kudeta terhadap Assad, menandakan dinamika jihad global yang belum berakhir.
Serangan ini terjadi hanya beberapa minggu setelah pemerintahan Trump mulai berkuasa, yang mungkin menandakan perubahan strategi AS.
Meski targetnya adalah HAD, dampaknya bisa merembet ke HTS. Apakah ini pertanda AS akan terus menekan HTS atau justru membuka peluang bagi mereka untuk mendapatkan pengakuan internasional?
Dalam konteks ini, JI dalam sejarahnya telah mengembangkan kapasitas kader melalui berbagai pelatihan tempur di Suriah, melibatkan individu dari berbagai latar belakang, termasuk lingkungan pendidikan berbasis pesantren.
Hal ini menjadi relevan mengingat medan konflik di Suriah telah lama menjadi laboratorium regenerasi bagi kelompok-kelompok jihad transnasional.
Ini juga menunjukkan bahwa perubahan strategi JI lebih bersifat adaptasi untuk mempertahankan eksistensinya, bukan pelemahan struktur organisasinya.
Dari Afghanistan hingga Mindanao, regenerasi ekstremis selalu terjadi dalam siklus berulang. Jika Indonesia salah langkah dalam menangani repatriasi FTF, maka risiko yang sama bisa terulang dengan dampak yang lebih luas.
Berbagai negara telah mengadopsi pendekatan berbeda dalam menangani repatriasi FTF. Finlandia, misalnya, mengembangkan panduan khusus untuk mencegah anak-anak terpapar radikalisme, dengan fokus pada peran keluarga dan institusi pendidikan.
Antara 2019 hingga 2022, negara-negara seperti Denmark, Jerman, Kosovo, Kazakhstan, Rusia, Swedia, Tajikistan, Ukraina, dan Amerika Serikat telah memulangkan ribuan anak-anak yang memiliki keterkaitan dengan ISIS dari Suriah ke tanah air mereka.
Beberapa negara juga, seperti Kanada dan Australia, memilih untuk memulangkan, baik anak-anak maupun ibu mereka. Sementara Rusia, Belanda, dan Perancis hanya menerima kepulangan anak-anak.
Sebagai bagian dari upaya pemulihan, negara-negara ini juga mengembangkan program rehabilitasi dan reintegrasi yang dirancang khusus, termasuk pendirian sekolah rehabilitasi di Suriah oleh Amerika Serikat sebelum anak-anak dikembalikan ke negara asal mereka.
Kazakhstan menjadi negara pertama yang melaksanakan operasi pemulangan warganya yang terkait ISIS melalui Operasi Zhusan.
Sementara Uzbekistan mengedepankan kerja sama antara pemerintah dan aktor non-negara dalam program rehabilitasi dan reintegrasi.
Kazakhstan menggunakan pendekatan Emotional Security Theory dalam rehabilitasi sosial, dengan tujuan memastikan anak-anak tidak mengalami stigmatisasi dan dapat diterima kembali oleh masyarakat.
Sementara itu, Uzbekistan memilih untuk tidak memenjarakan anak-anak dan perempuan, tetapi mengirim mereka untuk menjalani rehabilitasi sosial sebelum reintegrasi penuh.
Dengan berbagai model rehabilitasi yang telah diterapkan negara lain, Indonesia kini dihadapkan pada pilihan krusial: apakah akan menyesuaikan kebijakan dengan pendekatan rehabilitasi berbasis komunitas seperti Kazakhstan dan Uzbekistan, atau tetap mempertahankan pendekatan konservatifnya dengan batasan ketat terhadap repatriasi?
Keputusan ini harus mempertimbangkan faktor sosial, politik, dan kesiapan infrastruktur rehabilitasi yang ada agar tidak menimbulkan risiko lebih besar bagi stabilitas nasional.
Tantangan utamanya bukan sekadar menentukan siapa yang boleh dipulangkan, tetapi bagaimana memastikan bahwa mereka yang direpatriasi tidak kembali memperkuat jaringan ekstremis di dalam negeri.
Keputusan ini harus mempertimbangkan faktor sosial, politik, dan kesiapan infrastruktur rehabilitasi yang ada agar tidak menimbulkan risiko lebih besar bagi stabilitas nasional.
Tantangan utamanya adalah memastikan bahwa program rehabilitasi ini tidak hanya menjadi formalitas, tetapi benar-benar efektif dalam mengubah pola pikir eks-militan dan mencegah rekrutmen generasi baru ekstremis.
Namun, yang lebih mendesak saat ini adalah persoalan repatriasi WNI yang terasosiasi dengan FTF dibandingkan dengan rencana pemulangan Hambali dari Amerika Serikat, sebagaimana yang diinisiasi oleh Yusril Ihza Mahendra.
Hambali, yang telah ditahan di Guantanamo Bay selama bertahun-tahun, memang bagian dari jaringan terorisme global. Namun, ancamannya terhadap Indonesia saat ini tidak sebesar risiko dari puluhan eks-pejuang jihad yang masih aktif atau terpapar ideologi radikal di Suriah dan Filipina.
Pemerintah belum menunjukkan kesiapan untuk merepatriasi Hambali, tetapi urgensi terbesar saat ini adalah mengatasi ancaman yang lebih nyata dan berkembang, yaitu eks-FTF yang masih memiliki koneksi dengan jaringan jihad aktif di Suriah dan Filipina.
Berbeda dengan Hambali yang berada dalam sistem penahanan ketat di AS, para eks-FTF ini tetap bergerak di lingkungan yang memungkinkan mereka untuk memperkuat jaringan ekstremis.
Tanpa strategi penanganan yang matang, repatriasi bisa menjadi celah baru bagi regenerasi terorisme di Indonesia.
Negara-negara Eropa lebih memilih mencabut kewarganegaraan mereka yang terlibat dengan kelompok teroris. Sementara beberapa negara seperti Kazakhstan dan Malaysia mengadopsi pendekatan rehabilitasi yang diawasi ketat.
Indonesia kini berada di antara dua pilihan tersebut—dan setiap langkah yang diambil akan memiliki konsekuensi besar.
Dokumen Arahan Presiden 2024 menetapkan bahwa pemerintah Indonesia membatasi repatriasi hanya untuk anak-anak dan perempuan, dengan pertimbangan bahwa kelompok ini memiliki kemungkinan lebih besar untuk direhabilitasi.
Namun, tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, langkah ini tetap mengandung risiko infiltrasi ekstremisme yang tidak bisa diabaikan.
BNPT juga menyoroti meningkatnya keterlibatan perempuan dan anak dalam jaringan teroris, dengan jumlah yang terus bertambah dalam aktivitas terorisme.
Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya, terutama di era sebelum ISIS, yang memperumit strategi rehabilitasi dan reintegrasi mereka ke dalam masyarakat.
Dengan latar belakang ini, pendekatan pemerintah harus lebih dari sekadar keputusan politis—harus ada langkah konkret untuk memastikan bahwa proses repatriasi tidak menjadi celah bagi infiltrasi jaringan ekstremis yang lebih luas.
Jika Indonesia ingin mengelola repatriasi dengan sukses, maka harus ada mekanisme pemantauan yang ketat, sistem verifikasi intelijen yang solid, serta koordinasi erat dengan negara-negara mitra seperti Turkiye dan AS.
Ini bukan hanya soal membawa pulang eks-pejuang jihad, melainkan tentang bagaimana memastikan bahwa kebijakan ini tidak menjadi celah bagi kembalinya ancaman terorisme di Tanah Air.
Dengan situasi yang terus berubah di Suriah, pendekatan Indonesia harus tetap fleksibel, tegas, dan tidak boleh lengah terhadap potensi infiltrasi jaringan ekstremis.
Repatriasi bukan hanya keputusan diplomatik—ini adalah pertaruhan keamanan nasional yang harus ditangani dengan penuh kehati-hatian.
Tag: #dilema #repatriasi #jihadis