Penegakan Hukum
Ilustrasi hukum(Shutterstock)
14:40
14 Februari 2025

Penegakan Hukum

RUMUS sederhana tetapi nyata, soal penegakan hukum. Jika hukum ditegakkan, maka kepercayaan akan bertambah. Stabilitas akan diraih dalam politik, ekonomi, dan sosial.

Jika hukum tidak ditegakkan, maka stabilitas akan terganggu dan akhirnya ambruklah demokrasi. Masing-masing tindakan akan menghasilkan konsekuensi nyata yang berbeda. Jelas dan mudah dipahami.

Dengan tegaknya hukum, masyakarat akan tenang, karena kepastian hukum berakibat positif pada kondisi sosial, ekonomi, dan politik.

Memang, penegakan hukum tidak mudah dan penuh risiko, mempunyai konsekuensi yang mungkin menyakitkan dan gunjangan politik jangka pendek.

Kawan bisa terkena. Kelompok sendiri bisa terdampak. Orang-orang yang dianggap baik, sederhana, pendiam, atau lugu karena penampilan dan pencitraan ternyata melangar hukum.

Memang, hukum tidak pandang bulu. Namun, penegakan hukum adalah prasyarat utama kedamaian, ketenangan, stabilitas, dan pemulihan kepercayaan elemen negara dan bangsa.

Sederhana saja, percaya atau tidak percaya bisa dilihat dari bagaimana hukum berjalan. Jika hukum berhenti atau tersendat-sendat, hanya jadi bahan tampilan ketika pidato, sambutan, dan penampilan publik, tanpa ada tanda-tanda penegakan serius dan nyata, maka kepercayaan publik akan melorot pelan-pelan tapi pasti. Bisa jadi kepercayaan jauh lebih cepat luntur daripada perkiraan.

Konsekuensi sebaliknya: Jika hukum tidak ditegakkan, maka kepercayaan akan hilang. Sedikit demi sedikit rakyat akan merasakan, melihat, dan mengalami bahwa hukum itu miring-miring, tidak lurus, dan lemah.

Kepercayaan akan tergerus yang berakibat pada penurunan stabilitas. Sesuai dengan Namanya, res-publika, republik, publik sangatlah penting dalam proses demokrasi. Kampung kita berbentuk republik.

Jika hukum tidak ditegakkan, maka kepastian tidak diraih. Ketidakpastian akan terus menghantui masyarakat. Kondisi labil akan terus manakuti bak pocong, hantu, atau jin.

Kecemasan akan menjangkiti semua elemen tidak hanya dari segi politik jangka pendek dalam manuver-manuvernya, tetapi juga kondisi sosial dan budaya dalam jangka panjang.

Hukum adalah pilar demokrasi, jelas itu tidak basa-basi. Dengan hukum kita mengukur keberhasilan demokrasi. Dengan hukum kita melihat jalannya proses bernegara.

Demokrasi kekinian diukur dengan hal-hal nyata dan dapat dirasakan masyarakat. Keadilan yang sifatnya abstrak diukur dengan penegakan hukum bagi yang melanggarnya, tanpa pandang bulu, tanpa melihat derajat, pangkat, dan kedudukan.

Demokrasi dan hukum sudah menjadi pasangan. Tidak bisa salah satu berjalan tanpa jodohnya.

Dalam sistem kerajaan zaman dahulu, sistem dinasti, atau feodalisme sebelum era demokrasi pasca-Perang Dunia II, stabilitas diukur dari segi kekuatan penguasa.

Penguasa yang kuat akan membuat negara stabil. Penguasa akan menekan dan menghukum yang lemah.

Penguasa memperlihatkan stabilitas dengan kekuatan senjata, ekonomi, dan politik dengan meminggirkan dan menindas yang berbeda, tapi lemah.

Seballiknya, penguasa yang lemah akan diinvasi oleh kerajaan tetangga yang lebih kuat. Itu dulu. Hukum rimba berlaku. Yang kuat benar, yang lemah musnah.

Kini dalam demokrasi era pasar global ini, hukum menjadi ukuran. Penguasa bisa berganti dengan adanya periodesasi dan Pemilu yang teratur seusai dengan hukum.

Kekuatan negara diukur dari berlakunya hukum. Negara yang kuat akan menegakkan hukum. Negara yang lemah akan mempermainkan hukum.

Hukum berlaku bagi warga yang lemah saja, tidak pada penguasa yang kuat. Hukum bisa dibelokkan, dibengkokkan, dan ditekuk sesuai dengan selera yang diatas.

Yang di bawah tidak berdaya karena hukum tidak berpihak. Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Jika pemberlakuan hukum tidak dirasakan, maka akan terjadi debat publik yang berkepanjangan, melelahkan, dan penuh kontroversi.

Opini satu dilawan opini lain. Postingan kanan akan dilawan postingan kiri. Berita itu akan dihantam berita ini. Pencitraan sana akan ditimpuki pencitraan yang situ.

Terjadilah perang wacana, sekadar siapa yang keras dan terus menerus melakukan propaganda: tanpa kepastian hukum.

Benar dan salah dikabur-kaburkan. Barang yang jelas-jelas melanggar hukum dikampanyekan seperti benar.

Tindakan yang salah dan diketuhui publik tidak benar dan tidak pantas dibela berulang-ulang tanpa henti, sehingga terlihat benar, bahkan mulia. Perbuatan melanggar hukum dilupakan dengan berita-berita pembelaan.

Hukum tidak bisa diselesaikan dengan postingan di Instagram, Tiktok, X, Facebook dan video-video singkat.

Hukum harus diputuskan secara hukum. Hukum tidak bisa dikelabuhi dengan pembentukan opini, pengerahan buzzer, rekayasa video, apalagi berbayar.

Penegakan hukum hendaknya tidak berhenti pada podium dan wacana.

 

Tag:  #penegakan #hukum

KOMENTAR