Kebijakan Tanpa Kajian Jadi Beban Sosial
Sejumlah warga antre membeli gas elpiji 3 kilogram di Cibodas, Kota Tangerang, Banten, Rabu (5/2/2025). Antrean pembelian gas elpiji 3 kilogram masih terjadi sebab stok di warung-warung sekitar masih kosong pascainstruksi Presiden Prabowo yang memperbolehkan kembali penjualan gas subsidi di tingkat pengecer. (ANTARA FOTO/Putra M. Akbar)
14:06
13 Februari 2025

Kebijakan Tanpa Kajian Jadi Beban Sosial

KEBIJAKAN publik yang buruk bukan hanya soal gagalnya suatu proyek, tetapi juga tentang hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.

Berulangnya kegaduhan dalam implementasi kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menyoroti satu persoalan mendasar: minimnya perencanaan yang matang.

Presiden Prabowo menginstruksikan efisiensi besar-besaran dalam belanja negara melalui pemangkasan anggaran pemerintah sebesar Rp 306,69 triliun pada 2025.

Meskipun kebijakan ini bertujuan mulia untuk menekan pemborosan anggaran, implikasinya terhadap masyarakat sering kali menunjukkan lemahnya perencanaan awal.

Belum lagi, dihadapkan dengan paradoks penambahan jumlah kementerian dan lembaga sebelumnya.

Sebagai contoh, dampak efisiensi anggaran, yaitu berkurangnya pelayanan publk dan kebijakan penghapusan tenaga honorer pendukung kementerian dan lembaga menjadi salah satu langkah yang menimbulkan gejolak.

Ribuan tenaga honorer kehilangan pekerjaan tanpa ada solusi konkret untuk menyerap mereka kembali ke sektor formal. Alih-alih efisiensi, langkah ini menciptakan beban sosial baru berupa meningkatnya angka pengangguran.

Hal serupa juga terjadi dalam program penataan ulang distribusi gas elpiji 3 kg yang dipimpin Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.

Upaya menertibkan distribusi gas bersubsidi justru membuat masyarakat kecil kesulitan mengakses barang yang menjadi kebutuhan pokok mereka.

Kekacauan distribusi ini memicu keresahan publik, dengan antrean panjang di pangkalan gas hingga kenaikan harga di pasar gelap.

Fakta ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan yang lemah perencanaan hanya akan memperburuk masalah, bahkan mencederai kepercayaan publik.

Pelajaran dari kasus Proyek Strategis Nasional

Proyek Strategis Nasional (PSN) juga menjadi sorotan terkait perencanaan yang minim. Kasus Rempang Eco City, misalnya, menunjukkan bagaimana proyek besar dapat menjadi bumerang jika perencanaan dan pendekatannya tidak matang.

Penolakan keras dari masyarakat lokal, yang merasa hak-hak mereka diabaikan, adalah bukti nyata bahwa pengabaian aspek sosial, ekonomi, dan budaya dalam perencanaan kebijakan dapat menimbulkan kegaduhan besar.

Proyek lain seperti Bandara Kertajati di Jawa Barat menjadi contoh bagaimana kurangnya analisis kebutuhan dan dampak dapat membuat investasi besar menjadi sia-sia.

Hingga kini, bandara tersebut masih jauh dari kata optimal karena konektivitasnya yang terbatas.

Situasi ini memunculkan pertanyaan kritis: sejauh mana perencanaan berbasis kajian dan data diterapkan dalam proyek-proyek pemerintah?

Yang paling kontroversial adalah proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Meski diklaim sebagai simbol transformasi Indonesia, proyek ini dikritik karena kurangnya naskah akademik yang komprehensif, terutama terkait analisis dampak lingkungan (AMDAL), kepastian pendanaan, dan kesiapan infrastruktur pendukung.

Tanpa perencanaan matang, IKN berisiko menjadi proyek yang menyedot anggaran besar tanpa memberikan manfaat yang setara.

Pentingnya perencanaan dalam kebijakan publik

Perencanaan yang buruk dalam kebijakan publik sering kali mencerminkan lemahnya komitmen pemerintah terhadap prinsip dasar tata kelola yang baik.

Perencanaan yang baik harus mengintegrasikan secara utuh multi disiplin seperti elemen sosial, ekonomi, dan ekologi secara holistik.

Artinya, kebijakan tidak hanya tentang angka dan target, tetapi juga tentang bagaimana kebijakan tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat secara keseluruhan.

Untuk itu, perencanaan kebijakan yang baik harus memperhatikan beberapa aspek berikut:

Pertama, setiap kebijakan harus didasarkan pada data, fakta, dan analisis komprehensif. Naskah akademik yang menyertai kebijakan harus mencakup kajian dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan. Misalnya, kebijakan efisiensi harus memperhatikan dampak dari kebijakan tersebut.

Kedua, penting untuk melakukan pelibatan pemangku kepentingan (stakeholder).
Proyek seperti Rempang Eco City menunjukkan pentingnya melibatkan masyarakat lokal sejak awal perencanaan.

Pelibatan ini bukan hanya soal formalitas, tetapi juga memastikan kebijakan mendapatkan dukungan sosial dan meminimalkan konflik di kemudian hari.

Ketiga, mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Setiap kebijakan harus dilaksanakan secara transparan agar publik dapat memantau prosesnya.

Kebijakan yang transparan cenderung memiliki legitimasi yang lebih tinggi dan mengurangi potensi penyalahgunaan wewenang.

Terakhir, evaluasi dan penyesuaian. Kebijakan yang sudah diterapkan harus terus dievaluasi untuk memastikan efektivitasnya. Pemerintah harus berani melakukan penyesuaian jika ada dampak yang tidak diinginkan.

Pembelajaran dari negara lain

Negara-negara lain memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya perencanaan dalam kebijakan publik.

Singapura, negara tetangga kita, misalnya, dikenal dengan perencanaan matang yang melibatkan pendekatan data-driven.

Proyek-proyek besar seperti pengembangan Marina Bay Sands atau urbanisasi perumahan dirancang dengan mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi, sehingga menghasilkan efisiensi sekaligus manfaat bagi rakyat.

Pemerintahan Prabowo memiliki peluang besar untuk membuktikan komitmennya terhadap tata kelola yang baik dengan memperbaiki proses perencanaan kebijakan.

Jangan sampai kebijakan yang diterapkan hanya menjadi solusi jangka pendek yang menimbulkan masalah baru di kemudian hari.

Dengan memastikan adanya kajian mendalam, pelibatan pemangku kepentingan, serta evaluasi berkelanjutan, pemerintah dapat menghindari kegaduhan publik seperti yang terjadi dalam kasus distribusi gas elpiji 3 kg, Rempang Eco City, dan proyek besar lainnya.

Perencanaan yang matang bukan hanya tentang menjalankan kebijakan, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan tersebut menciptakan manfaat berkelanjutan bagi rakyat.

Seperti yang pernah disampaikan oleh Lee Kuan Yew, Mantan Perdana Menteri Singapura, “Kunci dari pemerintahan yang baik adalah memastikan bahwa setiap tindakan diawali dengan perencanaan yang cermat”.

Penting sekali memastikan merumuskan perencanaan yang matang dan terperinci dalam menghadapi situasi apa pun.

Dalam konteks kita, perencanaan kebijakan yang matang adalah langkah pertama menuju tata kelola pemerintahan yang lebih baik.

Tag:  #kebijakan #tanpa #kajian #jadi #beban #sosial

KOMENTAR