![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/view.png)
![Revisi UU Kejaksaan dan KUHAP Dinilai Berpotensi Munculkan Ketidakpastian Hukum](https://jakarta365.net/uploads/2025/02/13/jawapos/revisi-uu-kejaksaan-dan-kuhap-dinilai-berpotensi-munculkan-ketidakpastian-hukum-1241016.jpg)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/clock-d.png)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/calendar-d.png)
Revisi UU Kejaksaan dan KUHAP Dinilai Berpotensi Munculkan Ketidakpastian Hukum
- Gelombang kritik terhadap Revisi Undang-Undang (UU) Kejaksaan dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terus bermunculan. Terbaru, Haidar Alwi selaku pendiri Haidar Alwi Institute menyatakan bahwa revisi tersebut berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh kewenangan berlebih jaksa atas nama asas dominus litis.
Haidar Alwi pun mengambil contoh dari kasus yang belakangan ini ramai menjadi sorotan publik. Yakni keberadaan pagar laut di wilayah Tangerang, Banten dan kasus dugaan korupsi timah. ”Kasus pagar laut Tangerang dan kasus timah adalah dua contoh ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh kewenangan berlebih jaksa,” ungkap dia melalui keterangan resmi yang diterima JawaPos.com Kamis (13/2).
Menurut Haidar Alwi, pada kasus pagar laut di Tangerang setidaknya ada tiga lembaga penegak hukum yang bekerja. Yakni, Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kejaksaan. Aparat kepolisian bertugas mengusut dugaan pelanggaran hukum pidana dalam kasus tersebut. Sementara KPK dan kejaksaan bergerak menangani dugaan pidana korupsi.
”Antara KPK dan Kejaksaan, dua lembaga penegak hukum menangani satu kasus korupsi jelas tidak efisien dan menyebabkan ketidakpastian hukum,” terang dia.
Karena itu, demi menghindari hal seperti itu terjadi dan berulang, dia menilai KUHAP yang masih berlaku saat ini mengatur pemisahan fungsi kewenangan lembaga penegak hukum. Polri dan PPNS sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut umum, dan hakim sebagai pengadil. Sementara KPK sebagai lembaga ad-hoc diberi tugas khusus dalam pemberantasan korupsi memiliki fungsi penyidikan dan penuntutan.
”Kewenangan jaksa sebagai penyidik tindak pidana tertentu dalam UU Kejaksaan telah mengganggu keteraturan penegakan hukum tersebut. Padahal tindak pidana tertentu bukan hanya korupsi. Kini jaksa terkesan lebih KPK daripada KPK hingga menutupi fungsi utamanya sebagai penuntut umum,” kata Haidar Alwi.
Dia pun menambahkan, ketidakpastian hukum akibat kewenangan berlebih jaksa juga tampak pada kasus timah. Gembar-gembor kasus tersebut sebagai kasus korupsi terbesar di Indonesia bertolak-belakang dengan vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim kepada para pelaku.
”Bukan hanya merugikan pelaku dan keluarga karena terlanjur mendapatkan predikat koruptor terbesar, tapi juga merugikan hakim karena dicap pro koruptor,” ujarnya.
Haidar Alwi khawatir, bila kewenangan berlebih jaksa atas nama asas dominus litis pada akhirnya dilegalisasi melalui Revisi UU Kejaksaan dan KUHAP, bakal muncul berbagai persoalan dan terjadi kekacauan hukum yang lebih kusut dari yang sudah terjadi belakangan ini.
”Sudah semrawut masih mau diawut-awut jadinya makin kusut. Dan ini tidak sesuai dengan Asta cita Presiden Prabowo Subianto mengenai transformasi hukum,” pungkasnya.
Tag: #revisi #kejaksaan #kuhap #dinilai #berpotensi #munculkan #ketidakpastian #hukum