Legislative Heavy: DPR Berkuasa dengan Tata Tertib
Suasana Rapat Paripurna DPR Ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (23/1/2025). Rapat Paripurna DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara untuk menjadi RUU usul inisiatif DPR. (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)
15:36
11 Februari 2025

Legislative Heavy: DPR Berkuasa dengan Tata Tertib

DALAM rapat pleno yang mendadak pada Senin, 3 Februari 2025, Dewan Perwakilan Rakyat menyusun agenda mengubah Tata Tertib Dewan untuk memperkuat kewenangannya.

Agenda itu hanya diketahui segelintir orang. Belakangan setelah Tata Tertib itu disahkan, menjadi polemik.

Melalui revisi Tatib, DPR menambahkan Pasal 228A, yang memberikan kewenangan untuk mengevaluasi pimpinan lembaga negara secara berkala.

Tindakan ini memicu perdebatan dan keprihatinan di kalangan anggota DPR dan pakar hukum tentang potensi penyalahgunaan kekuasaan, serta masalah pemisahan kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945.

Meskipun ada protes, Badan Legislatif akhirnya menyetujui revisi tersebut, yang dikhawatirkan akan mengganggu independensi lembaga-lembaga negara lainnya.

Bagi orang yang paham hukum tata negara, tindakan ini disebut sebagai legislative heavy. Di mana semua kekuasaan ditumpuk di DPR, bahkan ikut campur dalam persoalan kemandirian dan independensi cabang kekuasaan lain.

DPR adalah cabang kekuasaan legislatif yang memiliki hak untuk melakukan pengawasan, penganggaran dan legislasi, bukan sebagai lembaga yang mengeksekusi.

Karena itu, pemberian kewenangan kepada DPR untuk melakukan “evaluasi mengikat” terhadap lembaga negara atau cabang kekuasaan lain, sangat berlebihan.

Sikap berlebihan seperti inilah yang akan merusak hierarki sistem hukum kita dan meningkatkan potensi korupsi dan bentuk kerusakan lainnya yang akan timbul akibat campur aduk hukum sesuka selera penguasa.

Fungsi kontrol cabang kekuasaan

Dalam diskusi ketatanegaraan seringkali muncul pertanyaan, apakah badan legislatif yang mengontrol badan eksekutif, ataukah sebaliknya, badan eksekutif yang mengontrol badan legislatif?

Kalau lembaga eksekutif mengontrol badan legislatif, itu disebut eksekutive heavy. Namun, kalau lembaga legislatif mengontrol lembaga eksekutif, maka disebut legislative heavy.

Dalam konteks perubahan Tata Tertib, DPR tidak mengontrol eksekutif, melainkan mengontrol lembaga yudikatif.

Muncul pertanyaan, bagaimana dengan kemandirian hakim apabila dikontrol secara politik oleh DPR? Apakah eksekutif akan membiarkan DPR mengontrol lembaga kehakiman?

Bukankah eksekutif memiliki kewenangan untuk mengusulkan perubahan UU, agar memperkuat lembaga yudikatif yang memang sudah dilemahkan dalam waktu sepuluh tahun belakangan ini?

Presiden harus memiliki sikap yang tegas untuk menjaga keseimbangan kekuasaannya. Kalau DPR semakin kuat, maka presiden akan semakin lemah, kecuali presiden menggunakan legislatif untuk sama-sama melemahkan yudikatif. Ini persoalan lain yang tentu mengarah pada kerusakan sistem bernegara.

Presiden memiliki kewenangan konstitusional untuk mengusulkan, mengangkat, dan memberhentikan hakim maupun pimpinan lembaga negara lainnya seperti KPK dan Kapolri.

Mereka diangkat dan diberhentikan oleh presiden melalui Kepres, bukan melalui paripurna DPR. Dewan hanya menyetujui calon pejabat atau hakim, setelah itu selesai.

Sangat membingungkan kalau seandainya presiden membiarkan DPR untuk ikut campur terlalu jauh ke lembaga kehakiman yang mandiri maupun lembaga penegak hukum yang independen tanpa menggunakan kewenangan legislasinya.

Kalau presiden tidak ikut mengkhawatirkan perilaku DPR dan partai politik koalisi yang dipimpinnya, maka tidak berlebihan muncul kecurigaan, kalau presiden akan menggunakan legislatif untuk melemahkan yudikatif.

Kalau itu benar, maka era campur-aduk berlanjut dan akan lebih parah lagi dari sebelumnya.

Tata Tertib DPR hanya sebagai mekanisme persidangan yang berlaku di DPR, tidak di luar itu. Tata Tertib Dewan harus dipatuhi oleh anggota Dewan dan mereka yang menghadiri sidang atau rapat Dewan, tidak berlaku antarlembaga.

Kalau DPR beralasan bahwa pengaturan pasal itu untuk mengevaluasi lembaga negara, sudah ada mekanisme yang diatur dalam konstitusi.

Apabila DPR menemukan ada persoalan dalam tiap lembaga itu, maka digunakan Hak Angket sebagai hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap lembaga itu.

DPR dapat memanggil dan memeriksa siapa saja yang berkaitan dengan masalah yang diselidikinnya.

Karena itu, membaca ketentuan Pasal 228A Tata Tertib DPR, saya menjadi bingung, apalagi frasa yang menjadi alasannya sangat tidak masuk akal.

Alasanya, untuk meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi, DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR.

Hasil evaluasi itu bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

Ketentuan itu sangat tidak terhormat. Bukanlah seleksi calon pejabat di DPR dilakukan sebagai uji publik terhadap siapapun yang ingin menjadi pejabat?

Mereka yang lolos dari seleksi seharusnya berintegritas. Calon yang tidak memiliki integritas dan kapabilitas harusnya disensor dengan mekanisme seleksi DPR itu.

Karena itu, cukup keras tanggapan dari Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna.

“Kalau mereka paham, tapi tetap melakukannya, berarti mereka tidak mau negeri ini tegak di atas hukum dasar, tapi di atas aturan yang mereka suka demi kepentingan mereka sendiri. Rusak negara ini!” katanya.

Setiap UU yang mengatur lembaga negara, seperti UU tentang Kekuasaan Kehakiman, UU tentang MA, Undang-undang tentang MK, UU tentang KPK diatur tentang kriteria calon pimpinan lembaga-lembaga tersebut. DPR menyeleksi berdasarkan kriteria tersebut, tidak di luar itu.

Tugas DPR setelah menyetujui setiap calon pejabat adalah mengawasi lembaga, bukan mengawasi orang.

Tidak ada kewenangan DPR untuk menarik kembali siapapun yang telah ditetapkan oleh presiden, kecuali beberapa hal sebagaimana lazimnya seorang diberhentikan dari jabatannya.

Setiap undang-undang yang mengatur tentang lembaga negara, pasti ada ketentuan tentang pemberhentian pimpinan maupun anggotannya.

Salah satu contoh, dalam UU Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, Pasal 11 dan 11a diatur bagaimana seorang hakim diberhentikan dengan terhormat dan dengan tidak terhormat.

Dalam klausul itu, hakim diberhentikan apabila melakukan tindak pidana korupsi, melakukan perbuatan tercela, melalaikan kewajiban, dan melanggar kode etik.

Mekanisme pemberhentian sudah jelas merupakan kewenangan Ketua Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang mengawasi dan menegakkan perilaku hakim.

Itupun Ketua Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial hanya berwenang mengusulkan kepada presiden, bahwa hakim tersebut sudah tidak lagi “memenuhi syarat” sebagai hakim. Presiden yang berwenang mengeluarkan Kepres pemberhentian.

Lalu, untuk apa DPR memiliki kewenangan mengoreksi hakim? Apakah DPR ingin memasuki ranah kekuasaan kehakiman?

Kalau itu terjadi, maka bisa dipastikan bahwa DPR ingin merusak mekanisme ketatanegaraan yang telah menjadi pedoman bernegara selama ini.

Hakim dan lembaga kehakiman adalah kekuasaan mandiri, lepas dari segala intervensi dan kepentingan siapapun.

Meski dalam sistem presidensial, DPR diberi kewenangan menyetujui pencalonan, memilih, atau menetapkan, hal itu semata-mata ditujukan untuk memastikan adanya kontrol dan keseimbangan antarlembaga negara.

Serta memastikan pembatasan bagi presiden agar tidak secara bebas memutuskan (discretionary decision) pengisian pejabat penyelenggara kedaulatan rakyat. Sehingga desain independensi lembaga-lembaga negara tetap terjaga.

Kekuasaan besar sumber korupsi

Perilaku DPR, baik secara perorangan maupun kelembagaan, menetapkan Tata Tertib yang “tidak masuk akal” itu, merupakan penyakit penyalahgunaan kekuasaan yang berulang kali terjadi di negara ini.

Sekali lagi pernyataan Lord Acton (1833-1902) layak dikutip, bahwa, “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely” (Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut korup seratus persen).

DPR sedari dulu selalu mendapatkan peringkat buruk di mata masyarakat. Bahkan banyaknya anggota DPR ditangkap karena korupsi sangat merusak institusi lembaga perwakilan itu.

Seharusnya DPR menjaga diri dari sikap arogansi kekuasaan yang besar, bukan justru menambah-nambah kekuasaan yang melanggar konstitusi.

Apakah DPR ingin merusak pembagian kekuasaan yang telah dianut selama ini? Ataukah DPR ingin memainkan perannya sebagai pengatur sekaligus eksekutor?

Sejarah ini akan merusak citra lembaga DPR dan merusak aturan hukum dan hierarki norma yang menjadi dasar bernegara.

Kalau hukum dirusak, aturan diakali, kekuasaan berpusat, maka korupsi akan merajalela. Kalau ini berlanjut dan tidak segera diperbaiki, DPR akan semakin menjadi lembaga super power yang tidak dapat dikendalikan dan ini akan berpotensi menambah panjang deretan korupsi yang terjadi di DPR.

Pada masa orde baru, para mahasiswa dan aktivis sangat antiterhadap kekuasaan eksekutif yang besar (executive heavy), karena dianggap sebagai sarang korupsi.

Era reformasi hingga sekarang ini justru era kekuasaan legislatif (legislative heavy). Namun sayangnya kekuasaan legislatif yang besar itu tidak dimanfaatkan untuk membuat regulasi yang baik, pengawasan serius terhadap kebijakan eksekutif, dan tidak pula digunakan untuk membuat anggaran untuk kepentingan rakyat.

Kekuasaan tersebut digunakan hanya untuk kepentingan mereka sendiri, seperti pada Tata Tertib DPR. Revisi ini hanya untuk kepentingan super power DPR terhadap penegakan hukum dan lembaga kehakiman.

Constitusional Heavy

Konstitusi memberikan kewenangan konstitusional kepada MK dan MA untuk melakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan dan peraturan undang-undang di bawah udang-undang.

Bisa jadi, karena kewenangan konstitusional kedua lembaga itu, DPR tidak mengambil jalan untuk merevisi UU, melainkan menambah nomenklatur dalam peraturan mereka sendiri untuk mengontrol lembaga kehakiman.

Namun, produk apapun yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan jelas memiliki hierarki norma yang dipatuhi, termasuk tata tertib Dewan.

Jadi tidak menutup kemungkinan Tatib DPR ini melanggar banyak undang-undang, bahkan UUD 1945.

Menurut saya, Tatib DPR di antaranya melanggar UU Kekuasaan Kehakiman, UU tentang Mahkamah Agung, UU tentang Kepolisian, UU tentang KPK, UU tentang Mahkamah Konstitusi.

Pelanggaran itu sangat prinsipil, karena menyangkut kewenangan dan kedudukan lembaga negara yang diatur dalam UUD dan UU di bawahnya.

Karena itu, secara konstitusional, Tatib DPR, khususnya mengenai Pasal 228A wajib dicabut. Tidak ada alasan politik untuk membenarkan tindakan yang inkonstitusional.

Kalau tidak ingin menegakkan konstitusi, maka DPR membangkang terhadap konstitusi.

Tag:  #legislative #heavy #berkuasa #dengan #tata #tertib

KOMENTAR