Jeritan Hati Ibu yang Anaknya Diambil Paksa 5 Tahun Lalu, Kini Menantikan Kehadiran Negara
PENCULIKAN ANAK - Sejumlah ibu dan ahli pidana menghadiri Diskusi bertajuk Penculikan Anak Oleh Orang Tua Kandung: Di Mana Keadilan Negara? digelar di sebuah kafe di kawasan Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat pada Selasa (11/2/2025) pagi. Salah satu korban, Angelia Susanto (berkaus merah), memohon kehadiran negara atas penculikan anak oleh orang tua kandung yang menimpa dirinya. 
14:43
11 Februari 2025

Jeritan Hati Ibu yang Anaknya Diambil Paksa 5 Tahun Lalu, Kini Menantikan Kehadiran Negara

Angelia Susanto tampak sibuk menyiapkan proyektor sebelum diskusi bertajuk Penculikan Anak Oleh Orang Tua Kandung: Di Mana Keadilan Negara? yang digelar di sebuah kafe di kawasan Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat pada Selasa (11/2/2025) pagi.

Ia tampak mondar-mandir mencari kabel yang bisa menghubungkan komputer jinjing dengan proyek sehingga bisa menampilkan sambungan telepon video dari Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi atau Kak Seto.

Namun kabel itu tidak ditemukan, sehingga ia harus memegang komputer jinjing ke arah audiens yang sebagian di antaranya adalah jurnalis sepanjang Kak Seto berbicara.

Pada gilirannya, perempuan yang akrab disapa Angel itu menceritakan kisah tentang, EJ, anaknya yang dibawa kabur oleh mantan suaminya berkebangsaan Filipina secara singkat.

Angel mengungkapkan dirinya harus berpisah dengan mantan suaminya tersebut karena kerap mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) selama 25 tahun pernikahannya.

Saat itu, anaknya hendak berangkat ke sekolah menggunakan mobil dan diantar oleh sopir.

Di jembatan kawasan Kasablanka Jakarta, ungkap dia, tiba-tiba mobil yang ditumpangi anaknya itu diberhentikan oleh oknum polisi bermotor.

Sopir itu, kata Angel, kemudian ditanya berbagai macam hal.

Saat itu, ungkapnya, tiba-tiba ada sebuah mobil tak dikenal datang menghampiri

Seorang laki-laki yang mengaku ayah EJ kemudian turun dari mobil tersebut dan mengambil EJ.

"Sopir tidak kenal, tapi sopir dibentak oleh polisi, untuk supaya tidak melakukan apa-apa. Jadi gaya-gayanya sangat mafia banget. Itu 30 Januari 2020, jam 6 pagi. Sejak itu saya tidak pernah melihat, ketemu, mendengar, anak saya sama sekali," ungkap Angel.

"Saat ini harusnya EJ sudah 12 tahun, tapi dia sama sekali tidak kontak saya. Jadi saya percaya brainwash itu nyata dan terjadi. Jadi itu fakta pertama, lucu banget bahwa ada oknum polisi yang bisa membantu pengambilan anak. Omong-omong polisi itu sampai sekarang tidak ketahuan siapa orangnya, tidak ada yang bisa menemukan," lanjutnya.

Angel mengaku sampai saat ini tidak tahu keberadaan EJ dan mantan suaminya itu.

Ia mengatakan tidak ada data yang bisa menunjukkan mereka ada di mana meski dirinyatelah berupaya memeriksa data imigrasi setiap saat.

Padahal dokumen EJ, ungkapnya, ada pada dirinya.

"Jadi kalau memang iya, EJ diselundupkan ke luar negeri tanpa dokumen. Atau dia dibuatkan dokumen palsu, pertanyaan kedua, yang saya tidak tahu," kata dia.

Selama lima tahun ini, lanjut Angel, dirinya sudah berupaya melaporkan kejadian itu ke Unit Remaja Anak dan Wanita (Renakta) dan Unit Kejahatan dan Kekerasan Polda Metro Jaya.

Informasi yang didapatkannya terkini, mantan suaminya itu telah masuk ke Daftar Pencarian Orang (DPO) dan berstatus tersangka.

"Dan saya hanya mendapatkan setiap kali saya ketemu dengan orang penting. Terakhir kali DPO saya keluar di Juli 2023 karena saya ketemu dengan Pak Jokowi. Tapi sampai saat itu, dari saat itu sampai sekarang, saya nunggu red notice, sudah 2 tahun masih mandek. Jadi kira-kira siapa lagi, mungkin saya harus ketemu Pak Prabowo dulu, baru ada langkah baru lagi?" ungkapnya.

Ia mengaku memutuskan bercerai karena tidak ingin anaknya turut menjadi korban KDRT dalam rumah tangga tersebut.

Pengadilan, lanjut Angel, telah memberikan hak asuh pada dirinya.

Angel pun mengaku selalu memberikan akses kepada mantan suaminya untuk bertemu EJ setiap pekan atau dua pekan sekali setelah perceraian itu.

Hal itu, kata dia, agar hak EJ terpenuhi.

Bahkan, kata dia, Angel terpaksa harus memberikan separuh hartanya kepada mantan suaminya yang pengangguran karena putusan pengadilan.

Namun, mantan suaminya justru membawa anaknya kabur.

Ia memahami semua orang yang ditemuinya dan mendengarkan kisahnya, mengatakan agar Angel menyerah mengingat anaknya diduga sudah dibawa ke luar negeri.

Ia pun bertanya ke audiens bagaimana bila mereka berada di posisinya.

Angel mulai menangis.

Air matanya berlinang saat mengungkapkan jeritan hatinya.

"Saya tidak bisa bayangkan EJ suatu saat ketemu saya dan EJ bilang, 'Mama kenapa tidak mencari EJ? Mama kenapa biarkan EJ dibawa ke luar negeri Mama tidak datang mencari EJ? Saya tidak akan menyerah. Saya minta teman-teman media menceritakan ini, supaya kalau EJ bisa dan dia baca berita, dia tahu bahwa mamanya tidak pernah menyerah mencari dia," ungkap Angel sambil menangis.

"Mamanya akan membalik surga dan neraka demi untuk menemukan dia. Hanya itu saja. Dan saya berharap dengan teman-teman media, mungkin pemerintah kita akan bergerak. Supaya kasus yang seperti ini bisa ditangani," lanjut dia mencoba tegar.

Negara Harus Segera Tindaklanjuti Putusan MK

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya terhadap permohonan yang diajukan Angelia Susanto dkk, telah menegaskan penculikan anak oleh orang tua kandung merupakan tindak pidana

Hal itu tertuang dalam putusan terhadap pengujian materiil Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap UUD 1945 yang diucapkan pada Kamis (26/9/2024).

Permohonan tersebut teregistrasi dengan nomor perkara 140/PUU-XXI/2023.

Menurut ahli hukum pidana dari Universitas Bina Nusantara (Binus) Dr Ahmad Sofian negara harus segera menindaklanjuti putusan MK tersebut.

Hal itu, lanjut dia, karena putusan MK tersebut tidak akan berlaku lagi setelah KUHP baru akan mulai dijalankan awal tahun 2026 mendatang mengingat pasal yang diuji adalah Pasal 330 ayat (1) KUHP yang berlaku hanya sampai tahun ini.

Bahkan, kata dia, setelah keputusan MK tersebut diucapkan dan berlaku, putusan otu belum ditaati karena negara belum menindaklanjutinya hingga saat ini.

Ia memandang, seharusnya pemerintah segera melakukan revisi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 juncto UU nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pemerintah, menurutnya, harus segera memasukkan ketentuan yang menyatakan bahwa membawa lari anak yang dilakukan oleh salah satu orang tua kandung di mana dia bukan pemegang hak asuh anak berdasarkan keputusan pengadilan adalah kejahatan atau tindak pidana, melalui revisi UU tersebut.

"Karena itu kami, saya sebagai ahli hukum pidana menyatakan bahwa pemerintah Prabowo yang sekarang ini harus segera melakukan revisi terhadap undang-undang perlindungan anak 35/ 2014 dan 23/2002 untuk memasukkan ketentuan itu," kata Sofian di sebuah kafe di kawasan Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat pada Selasa (11/2/2025).

Selain itu, lanjut dia, Mahkamah Agung juga perlu menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) tentang tata cara melaksanakan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tentang hak asuh anak.

Hal tersebut karena menutnya selama ini pemegang hak asuk anak hanya menang di atas kertas dalam banyak kasus.

Menurut Sofian, salah satunya, karena pengadilan tidak bisa melaksanakan eksekusi atas keputusan pengadilan yang berkekuatan tetap terkait hal tersebut.

Ia mencontohkan bila hak asuh anak dimenangkan oleh ibu di pengadilan sampai tingkat MA namun anak masih berada di tangan bapak. 

Si ibu kemudian meminta kepada pengadilan agar memindahkan anak tersebut kepadanya.

"Tapi pengadilan mengatakan kami tidak punya mekanisme bagaimana melaksanakan keputusan pengadilan jika objeknya adalah anak. Itu sudah bertahun-tahun. Sehingga terjadilah konflik keributan, karena pengadilan menganggap kami tidak punya aturan, tata cara, mekanisme melaksanakan keputusan pengadilan itu," lanjutnya.

Selain itu, negara juga harus meratifikasi Konvensi Den Haag 1980 tentang Aspek Sipil Penculikan Anak Internasional.

Menurutnya, konvensi tersebut penting diratifikasi untuk menjamin perlindungan warga negara Indonesia atau anak Indonesia dalam perkawinan campur.

Dengan diratifikasinya Konvensi tersebut, menurut dia, dapat mengantisipasi kasus-kasus serupa yang dialami Angelia Susanto.

Negara, kata Sofian, dapat melakukan pemindahan anak yang dibawa kabur ke luar negeri ke Indonesia melalui mekanisme internasional.

Karena, lanjut dia, ketika negara tidak meratifikasi Konvensi tersebut maka otoritas Indonesia akan kesulitan memindahkan anak yang dibawa lari oleh warga negara asing karena tidak adanya mekanisme internasional tersebut.

Namun demikian, sambung Sofian, mekanisme tersebut hanya berlaku terhadap negara yang juga meratifikasi konvensi tersebut.

"Selama ini belum diratifikasi maka membawa lari anak secara internasional belum bisa diatasi jika itu adalah hasil perkawinan internasional yang merugikan warga negara atau anak-anak Indonesia," pungkasnya.

Anak Terdampak, Negara Diharapkan Hadir

Melalui samnungan telepon video pada kesempatan yang sama, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi mengungkapkan penculikan oleh orang tua kandung berdampak pada perkembangan anak.

Terlebih, lanjut dia, bila hal itu dilakukan dengan cara-cara kekerasan.

"Dampaknya memang ini cukup negatif bagi anak-anak, gangguan emosional, gangguan psikologis, perkembangan masalah sosial dan sebagainya," ungkap dia.

Selain itu, menurutnya penculikan anak yang dilakukan oleh orang tua kandung jelas merupakan pelanggaran hukum.

KUHP pasal 330 ayat 1, kata dia, dengan tegas bahwa tindakan penculikan anak yang dilakukan orang tua kandung dapat diancam sanksi kurungan maksimal 7 tahun dan bisa juga 9 tahun kalau dilakukan dengan cara kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, dan sebagainya. 

"Ini apalagi anak (Angelia Susanto) dibawa keluar Indonesia jadi mungkin diharapkan negara tentu bisa hadir. Jadi dalam hal ini tentu dari Kepolisian hubungan internasional (Divisi Hubinter), Kemenlu dan sebagainya, karena yang mengambil anak ini adalah WNA dan dibawa ke negara dia berasal," kata Seto.

"Jadi mohon betul-betul ada upaya negara untuk bisa melindunginya. Kami melihatnya bukan hak ibu untuk bertemu anak, tapi hak anak untuk bertemu ibunya. Jadi apakah itu diambil oleh ayah atau ibunya, mohon tidak ada pengambilan secara paksa, dengan cara penculikan dari yang berhak mengasuhnya," lanjutnya.

Ia pun berharap ada langkah tegas dari negara dengan mengedepankan kepentingan ibu dan anak terkait kasus tersebut.

Seto menyerukan agar anak-anak dapat dilindungi. 

"Secara umum LPAI juga menyerukan, agar mohon kita melindungi anak-anak. Jadi jangan sampai ada kekerasan, kalaupun harus ada perpisahan orang tua dan sebagainya, mohon diselesaikan dengan cara yang tetap sama dan tidak dengan kekerasan," pungkasnya.

 

 

 

Editor: Muhammad Zulfikar

Tag:  #jeritan #hati #yang #anaknya #diambil #paksa #tahun #lalu #kini #menantikan #kehadiran #negara

KOMENTAR