Rekomendasi KY untuk RUU KUHAP: Atur Pengawasan APH, Penyadapan, hingga Bantuan Hukum Terpidana
Suasana rapat kerja antara Komisi III DPR RI dan Komisi Yudisial di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Senin (10/2/2025). (KOMPAS.com/TRIA SUTRISNA)
08:34
11 Februari 2025

Rekomendasi KY untuk RUU KUHAP: Atur Pengawasan APH, Penyadapan, hingga Bantuan Hukum Terpidana

Komisi Yudisial (KY) memberikan sejumlah rekomendasi terhadap revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin (10/2/2025).

Dalam rapat tersebut, KY menyoroti pentingnya pengawasan terhadap aparat penegak hukum (APH), keterbukaan dalam pemeriksaan perkara, serta pengaturan yang lebih jelas mengenai penyadapan dan pencegahan disparitas hukuman.

Ketua KY Amzulian Rifai menekankan bahwa perubahan KUHAP harus mencakup pengawasan yang lebih tegas terhadap APH, termasuk hakim di semua tingkatan peradilan.

Saat ini, KUHAP hanya mengatur pengawasan atas pelaksanaan putusan pengadilan, sementara pengawasan terhadap proses hukum sejak penyelidikan belum diatur secara eksplisit.

"Komisi Yudisial merekomendasikan kepada yang terhormat Komisi III DPR RI, kami berpandangan agar penegasan pengawasan terhadap aparat penegak hukum menjadi perhatian serius di dalam perubahan KUHAP, termasuk pengawasan terhadap hakim oleh Komisi Yudisial," kata Amzulian.

KY mencatat adanya ribuan laporan masyarakat terkait perilaku hakim setiap tahunnya.

Pada 2024, terdapat 2.274 laporan dan 966 permohonan pemantauan persidangan.

Menurut Amzulian, hal ini menunjukkan kesadaran publik terhadap pentingnya akuntabilitas peradilan.

Untuk itu, Amzulian berpandangan bahwa memasukkan pengawasan di dalam KUHAP akan memberikan legitimasi kuat bagi lembaga-lembaga pengawas dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Bahkan, jika perlu, masalah ini diatur dalam bab tersendiri dalam KUHAP baru.

"Jika perlu, pengawasan terhadap aparat penegak hukum diatur di dalam bab tersendiri dalam perubahan KUHAP tersebut," jelas Rifa'i.

KY juga mengusulkan agar pemeriksaan perkara di tingkat banding, kasasi, hingga peninjauan kembali (PK) dilakukan secara lebih terbuka.

Selama ini, proses pemeriksaan di tingkat tersebut hanya dilakukan secara tertutup oleh majelis hakim.

Akibatnya, muncul potensi "putusan gelap" yang bisa merugikan pihak berperkara.

"Dengan pemeriksaan yang dilakukan secara terbuka, setidaknya pada saat pembacaan putusan di tingkat upaya hukum, baik banding, kasasi, atau PK, maka dapat diminimalisasi adanya putusan gelap yang tiba-tiba berupa dari materi yang dibacakan oleh Majelis Hakim," ujar Amzulian.

Sebagai contoh, ia menyinggung kasus Hakim Agung Ahmad Yamani yang mengubah putusan terhadap terdakwa gembong narkoba Henki Gunawan dari 15 tahun menjadi 12 tahun penjara.

Kasus ini berujung pada pemberhentian Ahmad Yamani sebagai hakim agung oleh Majelis Kehormatan Hakim (MKH) pada 2012.

Oleh karenanya, KY mengusulkan agar KUHAP mengatur secara tegas tentang pemeriksaan perkara tingkat banding dan Mahkamah Agung, yakni dengan memberikan akses kepada para pihak, utamanya pihak terpidana.

Begitu pun kepada KY yang diberikan kewenangan oleh UU untuk melakukan pengawasan, termasuk dalam perkara yang sifatnya tertutup untuk umum.

"Hal ini sejalan dengan prinsip keterbukaan dalam pemeriksaan perkara di mana setiap kali mengawali sidang, Majelis Hakim menyatakan bahwa persidangan tersebut terbuka dan dibuka untuk umum," jelasnya.

KY juga menyoroti belum adanya aturan yang jelas mengenai penyadapan dalam KUHAP.

Hingga saat ini, ketentuan penyadapan masih tersebar di berbagai undang-undang, seperti UU ITE dan UU Tipikor.

Aparat penegak hukum (APH) pun selama ini menegaskan bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum pidana.

"Penegakkan pidana sangat memungkinkan adanya upaya penyadapan dalam rangka penyelidikan maupun penyidikan. Selain untuk kepentingan penegakan hukum, penyadapan juga dapat digunakan untuk kepentingan penegakan disiplin dan pelanggaran etik," kata Amzulian.

Ketidaksinkronan aturan saat ini menyebabkan penyadapan oleh KY dalam rangka mengawasi hakim tidak dapat dijalankan secara optimal.

Menurut Amzulian, selama ini APH menegaskan bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum pidana.

Sementara itu, dalam UU KY, penyadapan dimaksudkan untuk membuktikan dugaan pelanggaran kode etik hakim, bukan dalam konteks pidana.

“Tetapi KY bukanlah institusi penegak hukum, melainkan lembaga yang bertugas melakukan pengawasan terhadap hakim,” jelas Amzulian.

Oleh karena itu, KY mengusulkan agar perubahan KUHAP nantinya mempertegas ketentuan terkait penyadapan dan pemanggilan paksa saksi di luar konteks penegakan hukum pidana.

Selain itu, KY mengusulkan agar revisi KUHAP mengakomodasi pemberian bantuan hukum kepada terpidana yang mengajukan peninjauan kembali (PK).

Saat ini, KUHAP hanya menjamin bantuan hukum pada tahap penyidikan, penuntutan, hingga kasasi.

Menurut Anggota KY Joko Sasmito, hal ini perlu diperluas ke tahap PK karena tidak semua terpidana mampu menyewa penasihat hukum.

"Jika pada tahap penyidikan, penyelidikan, atau penuntutan, atau persidangan sampai pada tingkat kasasi telah dijamin adanya bantuan hukum berdasarkan KUHAP, hendaknya pada saat pengajuan PK juga perlu diberi jaminan tersebut," ujar Joko.

Ia mencontohkan kasus Vina Cirebon yang sempat viral tahun lalu.

Dalam kasus itu, terpidana mengajukan PK karena merasa putusan pengadilan keliru.

"Jika tidak ada penasihat hukum yang bersedia membantu, maka sebaiknya negara juga bisa menyediakan bantuan hukum bagi terpidana seperti mereka," jelasnya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Hinca Panjaitan mengapresiasi berbagai masukan dari KY.

Rapat kerja ini pun diharapkan menjadi awal dari proses pembahasan yang lebih mendalam dengan berbagai pemangku kepentingan.

Menurut Hinca, revisi KUHAP yang sedang dibahas harus mampu menjadi instrumen keadilan yang selaras dengan KUHP baru yang akan berlaku pada 2 Januari 2026.

Komisi III DPR pun menargetkan revisi KUHAP dapat disahkan sebelum 1 Januari 2026, bersamaan dengan mulai berlakunya KUHP baru.

"KUHAP kita ini melewati usia 43 tahun sehingga masukan ini sangat baik untuk menuntaskan yang baru. KUHP butuh engine (mesin) yang seimbang dan KUHAP diharapkan bisa membantu dalam memastikan keadilan ter-deliver kepada para pencari keadilan," ujar Hinca.

Sementara itu, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi NasDem, Rudianto Lallo, mendukung usulan KY terkait pengawasan hakim.

Dia menilai, mekanisme ini perlu diperkuat dalam revisi KUHAP agar tidak hanya bergantung pada independensi kekuasaan kehakiman.

"Karena itu, perlu memang diatur secara komprehensif dalam rumusan KUHAP bagaimana pengawasan hakim ini. Memang di satu sisi kekuasaan kehakiman ini independen, mandiri, dan betul-betul tidak bisa kita kontrol secara langsung kecuali perilakunya," ujar Rudianto.

Dalam rapat tersebut, Rudianto juga mendorong agar revisi KUHAP mengatur mekanisme pencegahan disparitas hukuman.

Sebab, dia melihat masih terjadi ketimpangan dalam beberapa vonis pengadilan, terutama dalam kasus tindak pidana korupsi (tipikor).

"Ada kasus tipikor dengan nilai kerugian hanya Rp 10 miliar atau Rp 20 miliar, tetapi vonisnya lebih berat dibandingkan dengan kasus yang merugikan negara hingga triliunan rupiah," ujar Rudianto.

Untuk itu, dia menilai perlu adanya mekanisme kontrol dalam KUHAP agar aparat penegak hukum tidak bertindak semena-mena dalam menjatuhkan hukuman.

"Apakah ini penting? Menurut saya, penting dimasukkan supaya betul-betul ada kontrol, hukum acara sebagaimana mekanisme kontrol pengawasan supaya APH kita tidak semena-mena," kata dia.

Editor: Tria Sutrisna

Tag:  #rekomendasi #untuk #kuhap #atur #pengawasan #penyadapan #hingga #bantuan #hukum #terpidana

KOMENTAR