Tantangan Pejabat dan Birokrat Hidup Hemat
Ilustrasi(KOMPAS)
06:22
11 Februari 2025

Tantangan Pejabat dan Birokrat Hidup Hemat

PENYALAHGUNAAN pengawalan di jalan oleh pejabat atau birokrat, bahkan masyarakat umum secara brutal telah lama meresahkan para pengguna jalan. Pasalnya, pengawalan ber-sirene tersebut amat mengganggu dan tidak jelas urgensinya.

Apalagi, pengguna jalan lain juga sama-sama sibuk, sama-sama terpepet waktu dan ingin mencapai tujuan dengan cepat.

Maka, begitu mendengar sirene ugal-ugalan di jalanan, reaksi pengguna jalan yang lain bisa jadi seperti ini: “Pak, kalau sedang terburu-buru, ya bangun dan jalan lebih pagi, tak usah pakai sirene dan pengawalan segala!”

Atau “Bu, bukan hanya Ibu yang harus mencapai kantor dengan cepat. Saya juga sama! Urusan Ibu tidak lebih penting juga dari urusan saya!” tukas pengguna jalan lain.

Tak sekadar di jalan raya, perilaku pejabat dan birokrat yang mengumbar gaya hidup mewah, memamerkan kekayaan (flexing) dan menyalahgunakan kekuasaan dan fasilitas, apakah penyalahgunaan anggaran, staf, rumah dinas, kendaraan dinas, dan lainnya, sudah lama mengusik nurani warga.

Maka, merespons hal ini, timbul usulan agar para pejabat dan birokrat hidup lebih hemat. Misalnya, dengan menggunakan transportasi umum agar dapat melihat langsung kondisi dan tantangan dalam sistem transportasi di Indonesia.

Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) mengusulkan agar penggunaan patwal pejabat dibatasi, kecuali untuk presiden dan wakil presiden.

Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Djoko Setijowarno menilai, pejabat seharusnya lebih akrab dengan angkutan umum untuk memahami kondisi kemacetan yang dialami masyarakat.

Misalnya, dengan membiasakan menggunakan angkutan umum minimal sekali seminggu, bercampur dengan masyarakat umum akan mengetahui kondisi sebenarnya kehidupan masyarakat.

Djoko menegaskan, pejabat negara, kecuali presiden dan wakil presiden, tidak perlu mendapatkan layanan patwal.

Ia mengusulkan agar layanan patwal dialihkan untuk penggunaan angkutan umum, yang dinilai sudah cukup representatif di Jakarta (Kompas, 27/01/ 2025).

Terkini, pemerintah Presiden Prabowo memutuskan bahwa kementerian/lembaga harus hemat anggaran dan melaksanakan efisiensi.

Presiden meminta jajaran pemerintah pusat dan daerah untuk menghemat anggaran tahun 2025 hingga Rp 306,7 triliun.

Hasil efisiensi besar-besaran itu akan dipakai untuk mendukung pelaksanaan program-program prioritas Prabowo dan untuk mengantisipasi kondisi ekonomi yang penuh tantangan ke depan.

Arahan untuk melakukan efisiensi itu tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025 yang diteken oleh Presiden Prabowo pada 22 Januari 2025.

Dalam Inpres tersebut, Prabowo memerintahkan jajaran kabinetnya melakukan efisiensi belanja negara sebesar Rp 306,7 triliun sepanjang tahun anggaran 2025.

Efisiensi itu terdiri dari penghematan anggaran di semua kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp 256,1 triliun serta efisiensi anggaran transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp 50,5 triliun.

Para menteri dan pimpinan lembaga di tingkat pusat diminta mengidentifikasi rencana efisiensi belanja di institusi mereka masing-masing.

Untuk tingkat K/L, penghematan dilakukan terhadap belanja operasional dan non-operasional. Belanja yang dimaksud adalah belanja operasional perkantoran, belanja pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan peralatan dan mesin.

Para menteri dan pimpinan lembaga diminta untuk tidak melakukan efisiensi atas belanja pegawai dan bantuan sosial (bansos).

Sementara, gubernur dan wali kota diminta membatasi belanja untuk kegiatan yang sifatnya seremonial, studi banding, kajian, publikasi dan seminar atau diskusi.

Selain itu, mengurangi belanja perjalanan dinas hingga 50 persen dan membatasi belanja honorarium melalui pembatasan jumlah tim dan besaran honor (Kompas, 02/02/ 2025).

Gaya hidup pejabat dan birokrat untuk tidak ingin dikawal, berhemat dan tidak flexing ini keren sekali.

Instruksi presiden untuk berhemat, selama tidak mengorbankan pelayanan publik dan hak-hak pegawai/masyarakat yang vital, patut didukung.

Masyarakat Indonesia amat ingin melihat para politisi, pejabat dan birokrat tampil sederhana dan apa adanya. Apalagi sumber penghasilan mereka sebagian besar berasal dari uang pajak rakyat Indonesia.

Sayangnya, kisah-kisah pejabat dan birokrat hidup hemat lebih banyak ditemukan di negara lain.

Kompas, 2 Februari 2025, menukilkan berita Menteri Transportasi negara bagian New South Wales (NSW) di Australia, Jo Haylen, meminta maaf setelah menggunakan sopir kementerian untuk mengantar dia dan sejumlah temannya ke tempat acara makan siang pribadi pada akhir pekan Hari Australia.

Perjalanan itu, yang total memakan waktu 13 jam, termasuk untuk perjalanan pergi dan pulang, menghabiskan biaya 750 dolar Australia (Rp 7,5 juta) (Kompas, 02/02/ 2025).

Haylen pada Minggu (2/2/2025), meminta maaf dan menyatakan bahwa dia akan mengembalikan uang untuk perjalanan selama 13 jam ke Hunter Valley itu (sekitar 131 km dari Sydney).

Haylen mengatakan bahwa tindakannya memang sesuai dengan pedoman yang ada, tetapi tidak pantas dan tidak bijak.

Koalisi telah mendesak Haylen dan Jackson untuk mengundurkan diri atau agar Perdana Menteri NSW, Chris Minns, memecat mereka.

Minns mengatakan, pakai sopir kementerian untuk acara makan siang pribadi “jelas tidak dapat diterima”.

“Sopir tidak boleh digunakan dengan cara seperti ini,” kata pemimpin Partai Buruh itu hari Minggu (Kompas, 02/02/ 2025).

Ylva Johansson, Menteri Tenaga Kerja Swedia, menjadi perbincangan karena dinilai tidak seperti pejabat tinggi pemerintahan pada umumnya.

Suatu hari warganet Indonesia membagikan foto wanita berambut pendek dengan jaket merah yang tengah duduk di kursi peron kereta api.

Tersenyum pada kamera, wanita tersebut tampak memangku burger utuh, dengan tas punggung hitam yang diletakkan di lantai.

"Seorang ibu warga negara Swedia menunggu kereta pulang selepas kerja. Dia sudah membeli burger untuk makan malamnya. Ini adalah fotonya setelah diminta berpose untuk difoto. Nama ibu ini adalah Elva Johansson... pekerjaannya adalah Menteri Tenaga Kerja di Swedia," tulis pengguna.

Menilik penampilannya, beberapa pengguna X mengungkapkan ketidakpercayaannya akan pejabat tinggi yang berkeliaran tanpa penjagaan dan fasilitas penunjang lain (Kompas, 07/ 04/ 2024).

Ylva Johansson hanyalah salah satu politisi Swedia yang sebagian besar menggunakan layanan kereta api sebagai moda transportasinya.

Eks jurnalis Radio Televisi Macedonia, Ivica Celikovic mengungkapkan, dia secara pribadi pernah melihat Johansson keluar dari mobil yang berhenti di depan stasiun kereta api pusat di Stockholm.

Wanita tersebut, yang disebutnya tampak lelah dan mungkin mengalami sedikit rasa sakit di kaki, berjalan menuju ruang tunggu di gedung stasiun.

Di sana, Johansson duduk di bangku kayu panjang, membuka-buka koran sambil menunggu kereta yang akan ditumpanginya.

Padahal, Ylva Johansson merupakan salah satu menteri paling populer di pemerintahan Swedia. Sepak terjangnya di pemerintahan Swedia tak bisa dipandang sebelah mata.

Dilansir dari laman resmi, Johansson sebelumnya menjabat sebagai Menteri Sekolah periode 1994-1998. Dia juga menduduki kursi Menteri Kesejahteraan dan Kesehatan Lansia pada 2004-2006, serta Menteri Ketenagakerjaan terhitung 2014-2019.

Kini, wanita kelahiran 13 Februari 1964 ini, menjabat sebagai Komisaris Eropa untuk Urusan Dalam Negeri dan Komisaris Eropa Swedia di Komisi von der Leyen sejak 1 Desember 2019 (Kompas, 07/ 04/ 2024).

Bukan hanya Ylva Johansson, gaya hidup sederhana juga diterapkan oleh banyak pejabat di Swedia.

Claudia Wallin, seorang jurnalis dalam bukunya Sweden: The Untold Story menyampaikan, Swedia tidak menawarkan kemewahan atau hak istimewa kepada para wakil rakyatnya.

Tanpa mobil dinas atau sopir pribadi, para menteri dan anggota parlemen Swedia bepergian dengan bus dan kereta api yang penuh sesak, sama seperti warga negara yang mereka wakili.

Tanpa hak atas kekebalan parlemen, mereka juga dapat diadili di pengadilan seperti orang lainnya.

"Sayalah yang membayar para politisi. Dan saya tidak melihat alasan untuk memberi mereka kehidupan mewah," kata Joakim Holm, warga negara Swedia, dilansir dari Mail & Guardian (31/5/2019).

Politisi yang berani menghabiskan uang rakyat untuk naik taksi alih-alih naik kereta api, rentan menjadi berita utama. Tak seorang pun di kehidupan publik mendapatkan gaji multidigit.

Gaji yang dibawa pulang seorang anggota Riksdag (parlemen) sekitar dua kali lipat gaji seorang guru sekolah dasar (Kompas, 07/04/ 2024).

Pemimpin dunia lain sama sederhananya. Setidaknya, ada dua figur yang menarik untuk diikuti seperti eks Perdana Menteri Belanda Mark Rutte dan dan mantan Perdana Menteri Inggris David Cameron.

Setelah mengabdi sebagai Perdana Menteri Belanda selama 14 tahun, Mark Rutte meninggalkan kantornya di Den Haag pada Juli 2024, hanya dengan bersepeda.

Tidak ada acara serah terima jabatan meriah, tanpa pesta pula. Dia pulang ke rumah tanpa pengawalan atau rombongan yang mengantarnya.

Banyak orang di Belanda suka dengan gaya Rutte, rendah hati dan membumi. Kebiasaannya yang membumi sering dipuji warganet.

Hampir setiap hari, dia naik sepeda ke tempat kerja atau saat ingin menemui raja dan para pemimpin negara lain.

Kadang, dia hanya mengenakan celana jins dan kemeja kasual sambil makan apel. Dia masih tinggal di apartemen sederhana dan menyetir sendiri mobil Saab station wagon abu-abu miliknya.

Dia juga sering jadi viral di media sosial karena datang ke kafe sendirian tanpa staf atau pengawal untuk minum kopi dan pai apel.

Dia juga sering diajak berswafoto dengan siapa pun yang berpapasan dengannya saat sedang jalan-jalan sendirian atau berbelanja sendiri di supermarket (Kompas, 05/07/ 2024).

Bahkan, di satu momen, dilansir BBC, Rutte sempat menumpahkan kopi di gedung pemerintah, kemudian mengepelnya sendiri, meski sudah diminta meninggalkannya oleh petugas kebersihan. Aksinya, mengundang tepuk tangan dari para staf kebersihan yang ada di dekatnya.

Sama halnya dengan Rutte, mantan PM Inggris Cameron yang bertugas sejak 2010 hingga 2016, juga selalu mengundang perhatian publik karena sikapnya yang sederhana.

Dalam salah satu momen, ketika sedang liburan di Tuscany, Italia, 31 Juli 2017, dia pergi ke kafe Dolcenero, Montevarchi, bersama keluarganya.

Cameron memesan kopi dan meminta kepada seorang pelayan, Francesca Ariani, membawakan kopi yang dipesannya ke luar.

Namun, Ariani saat itu mengaku tak bisa memenuhi permintaan Cameron karena terlalu sibuk dan menjaga kafenya sendirian. Alhasil, Cameron membawakan pesanannya sendiri ke luar.

Ariani, dilansir BBC, saat itu mengaku tak tahu Cameron adalah seorang Perdana Menteri Inggris. Sebab, menurutnya, penampilannya seperti orang biasa (Kompas, 01/08/ 2011).

Tak hanya di negara lain, dilansir Daily Mail, ketika sedang berada di Plymouth demi merayakan Hari Angkatan Bersenjata Inggris, 30 Juni 2012, Cameron mendadak ingin minum kopi.

Dengan santai, dia masuk ke kafe dan langsung memesan minuman untuk dibawa pulang. Namun, lagi-lagi dia menerima perlakuan serupa dengan yang dialaminya di Tuscany.

Pelayan kafe tersebut, Sheila Thomas, mengaku belum bisa melayaninya karena sedang sibuk. Saat itu, Sheila benar-benar tak tahu yang memesannya adalah seorang Perdana Menteri.

Bahkan, Cameron meminta maaf dan menunggu pesanannya selesai selama 10 menit. Karena terlalu lama, ajudan Cameron langsung membelikan teh dan donat di toko sebelah.

Hingga akhirnya, emosi Sheila terpancing dan mendengus karena ajudan Cameron membeli produk di toko sebelah. Belakangan, Sheila tahu siapa yang dihadapinya ketika itu.

“Saya benar-benar tidak sadar sedang berhadapan dengan PM Inggris karena kafe sedang ramai, sehingga tidak terlalu memperhatikan,” katanya.

Bahkan, ketika datang ke Indonesia, Cameron tak menunjukkan sikap yang tinggi. Dia membumi karena mengunjungi pasar, bersikap santai, berinteraksi dengan warga, dan menikmati pisang goreng (Susetyo, IDNTimes.com, 28/09/ 2024).

Tantangan hidup hemat dan sederhana

Pejabat dan birokrat yang sederhana dan hemat lebih disukai karena beberapa alasan.

Pertama, hemat anggaran negara. Jika seluruh pejabat di Indonesia tidak mendapatkan mobil dinas, negara berpotensi menghemat minimal Rp 2,2 triliun. Angka ini bisa lebih besar jika menghitung fasilitas lain seperti rumah dinas dan tunjangan (Iqbal AR, mojok.co, 09/01/ 2025).

Presiden Prabowo Subianto menyatakan telah memerintahkan pemangkasan anggaran perjalanan dinas pejabat ke luar negeri sebesar 50 persen, yang berpotensi menghemat Rp 15 triliun (tempo.co, 04/ 12/ 2025);

Kedua, menghindari korupsi. Gaya hidup mewah berpotensi menimbulkan perilaku korup bagi pejabat negara dan birokrat (detik.com, 01/12/ 2011).

Ketiga, mencerminkan integritas. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis bahwa sederhana adalah salah satu dari sembilan nilai integritas yang dapat mencegah tindak pidana korupsi.

Integritas, secara sederhana, adalah keselarasan antara pikiran, hati nurani, ucapan, dan perilaku berdasarkan etika dan norma yang berlaku (aclc.kpk.go.id/ 27/10/2023).

Salah satu faktor pendorong orang korupsi karena sifat tamak atau rakus atau serakah.

Menurut buku Pendidikan Antikorupsi untuk Pendidikan Tinggi, sifat tamak itu terjadi ketika seseorang mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri dan tidak pernah merasa puas terhadap apa yang dimiliki.

Faktor serakah itu juga disinggung dalam buku The Accountant Handbook of Fraud and Commercial Crime.

G. Jack Bologna dkk, penyusun buku, mengemukakan tentang penyebab terjadinya korupsi. Korupsi terjadi lantaran empat hal, yaitu keserakahan (greed), kesempatan (opportunity), kebutuhan (need), dan pengungkapan (exposures). Keempatnya itu dikenal dengan teori GONE (aclc.kpk.go.id/ 27/10/2023).

Negeri ini sebenarnya pernah memiliki para pejabat tinggi yang luar biasa sederhana dan berintegritas.

Sebutlah almarhum Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso yang pernah menjadi KAPOLRI di tahun 1968 – 1971.

Almarhum Baharudin Lopa yang menjadi Jaksa Agung tahun 2001 hingga wafat di Saudi Arabia.

Almarhum Artidjo Alkostar yang pernah menjadi Hakim Agung dan Ketua Kamar Pidana MA (2000 – 2018).

Sayangnya, belakangan ini tampak figur-figur pejabat dan birokrat (serta politisi) gila pengawalan, senang flexing, boros dan hidup bermewah-mewahan. Padahal gaji mereka berasal dari uang pajak rakyat Indonesia.

Semoga suatu waktu figur-figur pejabat dan birokrat yang hemat dan sederhana ini akan lahir dan terus lahir di bumi pertiwi. Sehingga kita tak melulu harus mengagumi para pemimpin asing semacam Mark Rutte, David Cameron, Ylva Johansson dan Jo Haylen.

Dan yang terpenting, sikap hemat dan sederhana ini harus datang dari hati. Bukan gimmick belaka ya.

Tag:  #tantangan #pejabat #birokrat #hidup #hemat

KOMENTAR