![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/view.png)
![Revisi Tatib DPR: Mengancam Independensi atau Memperkuat Demokrasi?](https://jakarta365.net/uploads/2025/02/10/kompas/revisi-tatib-dpr-mengancam-independensi-atau-memperkuat-demokrasi-1194989.jpg)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/clock-d.png)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/calendar-d.png)
Revisi Tatib DPR: Mengancam Independensi atau Memperkuat Demokrasi?
"A democracy is only as strong as the independence of its institutions. When institutions are weakened by political interference, the democratic fabric of society begins to unravel." – Ruth Bader Ginsburg.
KUTIPAN dari Ruth Bader Ginsburg tersebut relevan dengan situasi yang dihadapi Indonesia saat ini, di mana revisi Tata Tertib DPR yang baru disahkan dapat memengaruhi independensi lembaga-lembaga negara yang memiliki peran kunci dalam menjaga demokrasi.
DPR baru-baru ini melakukan revisi terhadap Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib).
Salah satu poin utama dalam revisi ini adalah penambahan Pasal 228A yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang telah mereka pilih.
Dengan aturan baru ini, pejabat-pejabat seperti pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA), kini berada dalam pengawasan langsung DPR.
Meski demikian, penting untuk memahami bahwa lembaga-lembaga tersebut sebenarnya sudah memiliki mekanisme pengawasan internal yang harus dihormati dan dijaga keberlangsungannya.
Secara prinsip, tidak ada lembaga negara yang boleh lepas dari pengawasan. Namun, dalam konteks lembaga kekuasaan kehakiman dan lembaga independen lainnya, masing-masing sudah memiliki mekanisme pengawasan internal yang jelas.
Misalnya, hakim MK diawasi oleh Majelis Kehormatan MK, sementara komisioner KPU dan Bawaslu diawasi oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Begitu pula dengan pimpinan KPK diawasi Dewan Pengawas KPK.
Dalam hal ini, jika DPR tetap ingin berperan dalam mengevaluasi pejabat negara, kewenangan tersebut seharusnya dibatasi hanya pada pejabat yang terbukti melanggar kode etik berat dan telah dijatuhi sanksi oleh lembaga pengawasnya masing-masing.
Selama ini, banyak kasus pelanggaran etik yang sanksinya dianggap tidak sejalan dengan rasa keadilan publik.
Contohnya, beberapa komisioner KPU yang sebelum diberhentikan telah menerima sanksi peringatan keras terakhir, atau kasus hakim konstitusi yang terbukti melakukan pelanggaran etik berat, tapi tetap menjabat.
Pada kasus-kasus seperti ini, intervensi DPR bisa dipertimbangkan sebagai mekanisme check and balance tambahan untuk memastikan pejabat yang sudah terbukti melanggar etik berat tidak terus menjabat.
Namun, kewenangan DPR tidak boleh melampaui batas ini agar tidak berubah menjadi alat politik yang digunakan untuk mengendalikan lembaga independen.
Tanpa batasan yang jelas, kewenangan baru ini berpotensi menimbulkan intervensi politik terhadap lembaga-lembaga yang seharusnya independen.
DPR, sebagai lembaga politik yang terdiri dari anggota partai dengan kepentingan masing-masing, bisa saja menggunakan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang telah mereka pilih sebagai celah untuk memengaruhi kebijakan atau keputusan lembaga yang dievaluasi.
Potensi intervensi politik
Lembaga-lembaga yang memiiki fungsi krusial berpotensi mendapat intervensi ekstream melalui subtansi revisi Peraturan Tata Tertib DPR ini. Lembaga yang paling rentan terhadap potensi intervensi adalah KPK, MK dan MA.
Sebagai lembaga yang berperan penting dalam pemberantasan korupsi, KPK membutuhkan pimpinan yang tegas dan independen.
Evaluasi berkala yang dilakukan DPR, tanpa batasan yang jelas, bisa digunakan untuk melemahkan pimpinan KPK yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan politik tertentu.
Hal serupa juga bisa terjadi pada KPU dan Bawaslu, yang memiliki peran krusial dalam menjaga integritas pemilu di Indonesia.
Oleh karena itu, intervensi politik melalui kewenangan evaluasi DPR terhadap lembaga-lembaga ini berpotensi merusak demokrasi dan integritas pemilu yang ada.
Hakim MK dan MA juga tidak terlepas dari risiko intervensi politik ini. Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang dan menyelesaikan sengketa pemilu, independensi hakim MK sangat penting untuk menjaga keseimbangan kekuasaan dalam sistem demokrasi.
Jika DPR memiliki kewenangan untuk mengevaluasi mereka tanpa batasan yang jelas, maka ada potensi besar bahwa keputusan-keputusan hukum yang diambil tidak akan murni berdasarkan hukum, melainkan berdasarkan tekanan politik yang mengancam independensi lembaga-lembaga ini.
Oleh karena itu, revisi Tatib DPR seharusnya dirancang dengan batasan ketat. Evaluasi yang dilakukan DPR tidak boleh menjadi alat tekanan politik, melainkan harus difokuskan pada kasus-kasus pelanggaran etik berat yang telah diputuskan oleh lembaga pengawas masing-masing.
Dengan demikian, independensi lembaga negara tetap terjaga, sekaligus memberikan rasa keadilan bagi publik dalam menilai pejabat negara yang berwenang.
Pembatasan yang jelas akan memastikan bahwa evaluasi ini tetap pada koridor benar, yakni sebagai bagian dari sistem check and balance yang memperkuat kinerja dan integritas lembaga-lembaga negara.
Tag: #revisi #tatib #mengancam #independensi #atau #memperkuat #demokrasi