![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/view.png)
![KontraS Sesalkan Polri Kini jadi Alat dan Mesin Politik Kekuasan](https://jakarta365.net/uploads/2025/02/10/jawapos/kontras-sesalkan-polri-kini-jadi-alat-dan-mesin-politik-kekuasan-1194627.jpg)
Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya, Penulis Buku Mencintai Muni Suciwati, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro dan GM Sosial dan Advokasi Dompet Dhuafa Arif R. Haryono dalam Bedah Buku “Mencintai Munir”. (Miftahul Hayat)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/clock-d.png)
![](https://jakarta365.net/public/assets/img/icon/calendar-d.png)
KontraS Sesalkan Polri Kini jadi Alat dan Mesin Politik Kekuasan
- Koordinator Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya menyoroti sejumlah persoalan di institusi Polri yang dinilai membuat kinerjanya mengalami penurunan. Menurutnya, terdapat tiga persoalan utama yang harus dibenahi. "Catatan KontraS serta Koalisi Reformasi Polri ada tiga masalah fundamental di institusi Polri. Pertama, problem struktural tidak kompatibel," kata Dimas dalam diskusi bertajuk 'Pandangan Publik Terhadap Wacana Reposisi Polri' di Jakarta Pusat, Minggu (9/2). Persoalan fundamental kedua, masalah kultural masih melekat dengan budaya militer atau budaya kekerasan. Menurut dia, Polri hari-hari ini menjadi lembaga koersif, watak kekerasan dan hal tersebut yang dirasakan oleh publik. Saat ini, publik merasa tidak bebas, merasa takut untuk bersuara di ruang publik. "Ketiga, profesionalisme, yakni sudah jauh dari cita-cita polisi yang profesional. Hari ini Polisi menjadi mesin politik, menjadi alat politik, menjadi perpanjangan tangan kekuasaan," ujar Dimas. Sepanjang 2024, lanjut Dimas, banyak kejadian yang melibatkan Polri, seperti kasus pemerasan terhadap tersangka atau terdakwa. Menurutnya, hal tersebut merupakan masalah integritas yang dipertaruhkan pada lembaga kepolisian. "Karena itu, reposisi merupakan wacana yang tidak bisa dihindarkan, karena publik merasa kecewa dengan kinerja Polri. Dengan demikian, kita perlu mendorong agar reposisi perlu ini dapat terwujud, karena kita berharap ada pembenahan dan perubahan secara serius terhadap kinerja Polri," urai Dimas. Sementara, Majelis Etik dan Pertimbangan AJI Indonesia, Sasmito Madrim, menyatakan tingkat kepercayaan publik terhadap institusi Polri cukup rendah, karena berdasarkan temuan survei Civil Society for Police Watch yakni 44 persen publik tidak percaya dengan kinerja Polri. “Reposisi Polri, apakah di bawah Presiden, Kejaksaan, Kemendagri, Kemenhan perlu untuk didiskusikan lebih lanjut. Mengapa? Karena temuan survei ini dapat memberikan petunjuk kepada kita semua bahwa reposisi Polri perlu dilakukan, agar melahirkan Polri yang lebih baik ke depannya,” ujar Sasmito. Catatan AJI Indonesia, kata Sasmito, ada tiga persoalan serius di tubuh Polri. Pertama, budaya kekerasan atau kultur institusi Polri. Terutama budaya kekerasan terhadap jurnalis atau wartawan serta perusahaan media. Sejumlah kekerasan terhadap jurnalis itu seperti pada liputan demonstrasi dan sejenisnya. “Perlu ada terobosan dalam melakukan perubahan institusi Polri. Bahwa institusi Polri tidak boleh lagi melakukan tindakan kekerasan terhadap jurnalis dalam melakukan liputan” jelas Sasmito. Kedua, kata Sasmito, budaya korupsi di institusi Polri, seperti budaya pemerasan yang dilakukan oleh institusi Polri. Aspek penegakan hukum juga masih menjadi persoalan tersendiri di institusi Polri, di mana aspek keadilan hukum belum dirasakan oleh publik. Ketiga, pada aspek profesionalisme institusi Polri. Belakangan, polisi tidak profesional karena telah menjadi alat politik. “Kekerasan yang dilakukan oleh Polri tadi, karena Polri masih tetap dipersenjatai. Dengan demikian, rawan terjadi kekerasan yang dilakukan oleh Polisi terhadap warga atau misalkan kita menemukan Polisi tembak Polisi. Hal tersebut perlu didorong agar melahirkan polisi yang memanusiawi," pungkas Sasmito.
Editor: Nurul Adriyana Salbiah
Tag: #kontras #sesalkan #polri #kini #jadi #alat #mesin #politik #kekuasan